Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, Heru membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci lantas masuk ke dalamnya. Pemandangan pertama yang di lihat Heru adalah putra bungsunya, Erik sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di meja ruang tamu dengan sibuk. Dengan langkah yang gontai, Heru berjalan mendekat ke arah Erik lantas mendudukan bokongnya di sofa ruang tamu.
"Ayah mau Erik buatin teh hangat?" tawar Erik, Heru tersenyum manis ke arah putranya lantas menggeleng. "Lanjutkan belajarmu, Ayah bisa panggil Ibumu untuk membuatkan Ayah teh." jawab Heru sembari memijit lengan kanannya dengan menggunakan tangan kirinya. Erik mengangguk dan kembali sibuk mengerjakan PR sekolahnya.
"SAYANG! BUATKAN AKU TEH!" teriak Heru dengan keras untuk memberi tahu Norma yang berada di dalam rumah.
"IYA!" Norma yang mendengar teriakan suaminya lantas bangkit dari duduknya, ia sedang mencuci pakaian dengan manual di belakang rumah. Dengan cepat Norma meninggalkan cuciannya lantas berjalan masuk ke dalam dapur dan membuatkan teh hangat untuk suami tercintanya. Hanya butuh waktu 5 menit saja, teh hangat buatan Nirma sudah siap, wanita berusia 42 tahun itu dengan hati-hati berjalan ke arah ruang tamu untuk memberikan teh hangat buatannya pada Heru suaminya.
"Teh nya udah jadi, di minum." ucap Norma dengan lembut sembari menyodorkan teh hangat di hadapan suaminya. Dengan hati-hati Heru menerima secangkir teh hangat itu, tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih pada Norma yang sudah membuatkan dirinya teh hangat kesukaannya. Dengan pelan Heru menyeruput teh hangat tersebut, belum ada lima detik, teh yang berada di dalam mulutnya itu semburkan ke udara, membuat Norma berdecak sebal karena cipratan teh itu mengenai daster bunga-bunga yang ia kenakan.
"Kenapa hambar?" tanya Heru sembari punggung tangannya mengelap ujung bibirnya yang basah karena air teh.
"Gula habis!" balas Norma dengan ketus lantas melenggang pergi dari hadapan sang suami. Baru lima langkah Norma beranjak, pintu rumahnya di dobrak oleh seseorang hingga rusak, membuat Heru, Norma dan Erik terkejut bukan main. Heru yang awalnya duduk kini bangkit dari duduknya lantas berjalan mendekat ke arah pintu, melihat siapa orang yang berani mendobrak kasar pintu rumahnya.
Heru mematung di tempat saat melihat lima orang pia berbadan kekar di ambang pintu, salah satunya adalah bos dari empat pria berbadan kekar itu. Heru sudah tahu siapa mereka, mereka adalah Revan beserta anak buahnya.
Revan Antonio, Mafia garang paling di takuti, terkenal sangat licik dan juga kejam. Ia tidak segan membunuh siapapun yang tidak bisa menbayar semua hutang mereka padanya. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang rela memberikan anak atau istri untuk di jual pada pria tersebut. Revan tidak membutuhkan mereka, mereka akan di jual kembali dalam perdagangan manusia di luar negeri. Selain bisnis mengenai hutang piutang, ia juga berbisnis dalam hal keamanan, semua barang haram dan ilegal di bawah kuasanya bisa lolos begitu saja.
Heru meminjam uang pada Revan setahun yang lalu sebanyak 100 juta, dan selama satu tahun ia belum melunasinya, Heru sekarang merasa sangat tidak nyaman, ia merasakan bahaya akan menimpanya sebentar lagi.
"Tuan Revan, silahkan masuk." ucap Norma dengan sangat lembut, sama seperti Heru, Norma juga sudah mengetahui siapa mereka semua.
"Tidak perlu repot-repot, aku hanya ingin kau membayar hutangmu sekarang, dan jangan lupakan bunganya. Jika di jumlahkan semua menjadi 800 juta." jelas Revan dengan suara dingin dan wajah datarnya, menambah kesan menyeramkan pada sesosok Revan.
"Maaf Tuan, tapi saya belum bisa melunasinya sekarang. Tapi saya janji bakal melunasinya dengan segera. Beri kami waktu beberapa Minggu tuan." balas Heru sembari menundukan kepalanya, tak berani menatap Revan yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam.
"Hajar dia!" perintah Revan pada para anak buahnya yang beranggotakan empat orang. Empat body guard itu lantas berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung memukuli Heru dengan membabi buta. Suara tangisan Norma dan Erik terdengar menggema di rumah sederhana itu, mereka tak bisa melakukan apa pun saat melihat Heru terkapar di lantai dan masih di pukuli empat orang itu secara bergantian. Sedangkan Revan, ia berjalan masuk ke dalam rumah, mengamati setiap inci dari ruang tamu yang sempit, hingga akhirnya langkahnya terhenti saat melihat sebuah foto keluarga Heru terpasang di dinding. Revan tersenyum miring, merasa sangat iri dengan keluarga Heru yang serba kekuarangan namun keluarga mereka masih tetap bersama dan nampak sangat bahagia.
"Keluarga yang harmonis." komentar Revan pada sebuah foto berbingkai tersebut. Netra Revan menatap ke arah foto seorang gadis manis yang sedang tersenyum di foto, seorang gadis dengan rambut panjang yang menjuntai dan juga senyuman yang sangat manis, cantik. Entah dengan sengaja atau tidak, Revan menarik ke dua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sangat manis saat melihat foto Lala di sana.
"Hentikan!" ucap Revan pada ke empat body guardnya yang sedang sibuk memukuli Heru tanpa ampun. Ke-empat body guard itu lantas menghentikan pukulan mereka, dan berdiri tegap menghadap ke arah Revan. Kondisi Heru sangatlah mengenaskan, sudut bibirnya robek, pelipisnya berdarah, hidung mengeluarkan darah dan seluruh wajahnya bonyok.
"Siapa dia?" tanya Revan pada Norma yang sibuk menangis sembari memeluk Erik. Norma mengikuti arah telunjuk Revan yang menyentuh kaca bingkai foto keluarga mereka, lebih tepatnya lagi, Revan menunjuk ke arah foto Lala yang tengah tersenyum manis di foto itu.
"Dia putri kami, namanya Latania Wijaya, sapaannya Lala." jawab Norma di sela-sela isakan tangisnya. Revan kembali menarik ke dua ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang sangat manis dan juga menawan. Ia lantas berjalan mendekat ke arah Heru yang terduduk di lantai sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Kita buat kesepakatan!" Revan berjongkok di depan Heru lantas meraih dagu Heru dengan kasar dengan menggunakan jari telunjuknya agar pria berusia 48 tahun itu menatap ke arahnya.
"Hutangmu akan lunas jika Kau memberikan putrimu padaku. Kau hanya cukup, memberikan restu padaku untuk menikahi putrimu, setelah itu, semua hutangmu akan lunas. Bahkan aku akan memberikan uang yang banyak untukmu. Bagaimana? Kau setuju?" sebuah senyuman licik tercetak jelas di bibir tebal Revan, air mata Heru mengalir dengan derasnya.
"Tidak! Saya mohon, jangan bawa-bawa putri saya Tuan, saya mohon." Heru dengan susah payahnya mengucapkan sederetan kalimat itu, mengingat bahwa sudut bibirnya robek dan mengeluarkan banyak darah. Rahang Revan mengeras, ia sangat tidak suka dan membenci sebuah penolakan. Revan dengan kencang mencekik leher Heru dengan sangat kejam, membuat Heru kesulitan bernafas, Norma dan Erik semakin mengencangkan suara tangisannya.
"Nikahkan aku dengan putrimu atau aku akan membunuhmu sekarang juga?!" ancam Revan dengan menekan setiap kata yang ia ucapkan. Norma melepaskan pelukannya pada tubuh Erik lantas meraih lengan Revan lalu ia memeluk lengan kekar itu dengan sangat erat.
"Saya mohon Tuan, jangan bunuh suami saya, kami bakal nikahkan anda dengan putri kami. Kami janji." ucap Norma sembari terisak, ia tidak akan rela jika suaminya meninggal di tangan seorang mafia, bukan maksud Norma menggunakan Lala untuk menebus hutang mereka, sebenarnya Norma juga tidak rela jika Lala menikah dengan bos mafia kejam itu, namun ia tak punya pilihan lain. Revan melepaskan cekikannya di leher Heru, dengan cepat Norma memeluk suaminya dengan sangat erat sembari mengelus kepala suaminya dengan lembut, di susul Erik juga yang ikut memeluk ayahnya. Revan bangkit dari jongkoknya dengan senyuman merekah, entah kenapa saat ini ia sangat senang saat mendengar Norma akan merestui hubungannya dengan gadis bernama Lala itu, karena sejujurnya Revan juga belum pernah bertemu langsung dengan Lala, tapi entah kenapa hatinya dengan cepat memilih Lala sebagai pemiliknya, apa ini Cinta? Atau hanya sebuah ambisi?
"Aku akan kembali ke sini besok, persiapkan putrimu untukku, Aku akan membawanya ke istanaku besok. Dan aku berjanji, akan segera menikahinya." jelas Revan, Norma lantas mengangguk patuh. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Revan bersama ke empat body guardnya itu meninggalkan rumah sempit sewaan Heru tersebut. Dan sebelum Revan benar-benar meninggalkan rumah itu, ia juga sempat memperingatkan mereka agar tidak membohongi atau mengingkari janji mereka, karna kalau sampai itu terjadi, Revan berjanji akan membunuh seluruh anggota keluarga mereka dengan tangannya sendiri.
Revan berlari tergesa-gesa di sebuah lorong rumah sakit, rambutnya naik turun akibat derap langkahnya yang yang kencang. Bulir bulir keringat membasahi area keningnya. Revan sekarang sudah jauh lebih dewasa, menjadi ayah dari seorang putri yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usia Becca saat ini sudah menginjak sepuluh tahun, dan hari ini Revan akan kedatangan anggota keluarga baru, Lala saat ini sedang berada di rumah sakit untuk melahirkan buah cintanya dengan Revan yang kedua.Revan menghentikan langkahnya saat ia melihat putrinya, Becca sedang duduk di sebuah kursi samping pintu sebuah kamar. Di sana juga ada Erik dan Norma yang sedang menunggu. Sedangkan Heru sedang mengurus pabrik makanan ringan yang di rintis Revan dengannya. Pabrik yang awalnya rumahan dan kecil, sekarang sudah berubah menjadi pabrik besar dengan mesin mesin canggih yang memproses pembuatan makanan ringan. Bisa di bilang sekarang Revan mendapatkan kesuksesannya kembali. Keluarga mereka juga t
Tangan Revan terulur menghapus air mata Lala yang terus mengalir dengan derasnya. Putri kecilnya juga ikut menangis saat melihat Lala menangis."Ssstt.... Kan buat putri kecil kita juga menangis." ujar Revan dan Lala langsung menghentikan tangisnya lalu menimang bayi kecilnya."Siapa namanya?" tanya Lala dan Revan menggaruk kepalanya yang tiba tiba terasa gatal. Ia tahu pasti bahwa Lala akan memukulnya lagi jika dia beri tahu bahwa putri mereka belum ia beri nama."Siapa namanya?" Lala mengulangi pertanyaannya sembari menatap Revan."Dia belum kuberi nama," jawab Revan.Lala memukuli kepala Revan dengan membabi buta, matanya menatap tajam ke arah sang suami yang sedang mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat pukulannya."Dasar ayah tidak waras!" maki Lala dan Revan memasang jengkelnya."Apa? Mau marah?" ujar Lala sembari memberi tatapan devil pada sang suami."Aku menunggumu sadar, Kalo aku kasih nama terus kamunya gak suka gimana? Kamu marah sama aku." tutur Revan dan Lala
Revan berjalan santai di lorong rumah sakit, dalam gendongannya saat ini ada bayi kecilnya, kaki-kaki mungil bayi itu terus saja bergerak ke udara dalam gendongan Revan. Tangan mungil bayi itu terus saja memukul mukul rahang Revan dengan keras. Senyum bayi itu terus mengembang saat melihat sang ayah terkekeh akibat perbuatannya. Tangan kanan Revan menenteng sebuah tas bayi dengan isi perlengkapan milik putri lucunya.Usia bayi mungil Revan saat ini sudah berusia 2 bulan, berarti sudah 2 bulan juga Lala terbaring koma. Selama 2 bulan itu juga Revan selalu menjaga putri kecilnya yang hingga saat ini ia belum beri nama.Semua anggota keluarga terus memaksa Revan agar memberi nama bayi itu, namun Revan selalu menolaknya, ia akan memberi nama putri kecilnya saat Lala sudah sadar. Revan sangat yakin bahwa Lala akan sadar dari koma, ia benar benar sangat yakin dengan hal itu.Dan mengenai Jacob, Jessica dan si penghianat Max, mereka ada dalam pengawasan Endy. Endy mengurung ke tiga oran
Jari jari Revan bergerak secara perlahan, mata yang menutup selama satu minggu kini sudah mulai terbuka, Revan mengerjap ngerjapkan matanya berkali kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.Aroma obat obatnya menyeruak indra penciumannya, orang yang pertama Revan lihat adalah Endy-sang ayah."Syukurlah kau sudah sadar," ucap Endy sembari tersenyum manis ke arah Revan.Pandangan Revan mengedar ke penjuru ruangan yang ia yakini sebagai rumah sakit, ia mencari-cari sesosok yang sudah membuatnya jatuh hati sekaligus jatuh cinta."Di mana Lala?" tanya Revan terdengar seperti sebuah bisikan karena dia benar benar masih lemas. Namun begitu, Endy masih bisa mendengarnya."Lala di rawat di ruangan lain," jelas Endy dan membuat mata Revan melebar."Lala terluka?" tanya Revan dengan ekspresi yang sangat khawatir dan juga cemas."Setelah kamu di tusuk oleh Jacob, Jessica menikam perut Lala," jelas Endy yang membuat Revan mengepalkan tangannya dengan rapat, rahangny
Bulan demi bulan di lewati oleh Lala dan juga Revan, kehidupan rumah tangga mereka selama 8 bulan ini sangat baik, tak ada pengganggu atau masalah besar yang mereka hadapi selama 8 bulan terakhir ini setelah kejadian penyerangan waktu itu. Hanya terkadang ada saja masalah kecil yang mereka hadapi, namun mereka masih bisa menyelesaikannya.Usia kandungan Lala sudah memasuki usia 8 bulan, perut rata Lala kini sudah membesar, emosinya juga kadang meledak dan sang suami Revan lah yang menjadi sasaran amukannya.Sekarang Lala sedang berada di balkon kamarnya sendirian, menikmati semilir angin yang menerpa kulit wajahnya, sangat sejuk. Tak lupa Lala juga mengelus perutnya yang membesar karena ada dua jabang bayi yang ada di dalam.Sikap pengecut Lala yang tak berani mengungkapkan perasaan cintanya pada Revan masih membuat Revan berfikir bahwa Lala belum mencintainya. Namun di hati Lala, nama Revan sudah terukir sangat indah di hatinya.Mata Lala memincing saat ia melihat ada seseorang y
Jari-jemari Revan bergerak sedikit demi sedikit, Max yang tengah berdiri di samping ranjang tempat di mana Revan berbaring langsung bergerak mendekat dan melihat bagaimana kondisi sang majikan. Perlahan ke dua mata Revan terbuka, baru saja ia membuka matanya sebentar, ia kembali menutupnya kembali saat cahaya lampu kamar rumah sakit menyambutnya dengan silau. Al hasil ia harus mengerjakan ke dua matanya beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya lampu yang masuk ke dalam retina matanya."Tuan sudah sadar? Aku akan panggilkan dokter." Ucap Max lalu hendak bergegas keluar dari kamar, namun belum sempat Max melangkah, lengannya sudah di tahan oleh Revan lalu memberikan sebuah isyarat agar ia tidak perlu memanggilkan dokter dengan cara menggelengkan kepalanya pelan."Di mana Lala?" Tanya Revan dengan lemah saat teringat pada sang istri, terakhir kali ia melihat Lala wanita yang sangat amat ia cintai tersebut dalam kondisi pendarahan. Mungkin itu efek karena ia jatuh saat menggendong Lala