Sabar ya Dewi T.T Boleh kan minta dukungan untuk Dewi? Makasih Kakak-kakak Love sekebon Bu Astuti
“Mama sengaja minta aku pulang bukan? Mama tahu aku ada di apartemen bersama Dewi?” protes Denver sesampainya di kediaman Bradley.Dia memandang sengit mamanya yang sedang duduk santai sembari meneguk secangkir teh. Sedangkan Oma Nayla duduk di depannya sembari memilah sesuatu. Denver tidak tahu apa itu karena terlihat seperti kertas biasa.“Duduklah!” titah Dwyne dengan intonasi tidak terbantahkan, tetapi Denver menolak.Pria itu bahkan hendak berjalan kembali menuju pintu utama rumah besar ini.“Kalau tidak ada yang penting. Aku akan kembali ke apartemen. Menemani Dewi dan Dirga,” tegas Denver masih menggenggam erat kunci mobilnya.Tiba-tiba Dwyne terkekeh, nada suaranya terdengar seperti ejekan yang menusuk telinga Denver.“Ternyata perempuan itu membawa pengaruh buruk bagimu. Ingatlah Denver, Mama tidak segan mengambil Dirga secara paksa kalau kamu membangkang!”Darah Denver mendidih. Dia memutar tubuh dengan gerakan kasar, mata karamelnya memancarkan api kemarahan yang membara. R
Dewi membelalak, jari-jarinya gemetar saat melihat layar ponselnya—panggilan itu sudah tersambung lebih dari satu menit! Dadanya langsung terasa sesak. Itu artinya …."Kenapa diam?" Suara berat itu terdengar dari speaker, ada nada yang lebih dingin dari biasanya.Dewi menelan ludah, buru-buru melangkah menjauh dari Darius sebelum menjawab, "Ya, Dokter ….""Apa yang kamu lakukan bersama Darius? Kamu ada di mana sekarang?" cecar pria itu, "biar Ruslan jemput kamu."“Sebaiknya … aku ceritakan nanti saja, Dokter. Tidak perlu dijemput, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan penuh ketegasan, “sudah dulu, ya, Dokter.”Dewi buru-buru menuju halte bus. Sial, sudah lebih dari 15 menit tidak ada kendaraan yang lewat. Dia berdecak sebal, teringat bahwa susu Dirga habis.Satu pesan singkat masuk. [Katakan padaku, kamu di mana?]Dewi menghela napas panjang lantas mengetik balasan. [Mau beli susu.][Oke, hati-hati. Jangan lupa hubungi aku
Saat Dewi hampir tersungkur ke atas kerasnya aspal, dia merasakan pergelangan tangannya ditarik dengan kuat. Jantung gadis itu mencelos dengan napas tercekat. Tubuhnya terayun, terhuyung ke belakang, dan jatuh ke dalam kehangatan yang begitu familiar.Bahkan kedua tangannya refleks bertumpu pada dada bidang seseorang.Suara riuh di sekitar mereka terdengar samar di telinga, tetapi yang paling jelas adalah detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang. Perlahan, Dewi membuka mata dan mendapati mata karamel itu menatapnya tajam."Dokter Denver…," gumamnya, nyaris tak terdengar.Dewi berada di antara perasaan lega dan kikuk saat ini. Sebagian pengunjung mall bersorak melihat aksi heroik Denver, tetapi ada juga yang menatapnya dengan pandangan tidak suka dari pintu masuk.Tanpa banyak kata, Denver menariknya ke dalam mobil. Pria itu sigap memeriksa tanda-tanda syok di wajah Dewi, lalu meraih sebotol air mineral dan menyodorkannya."Minumlah," kata pria itu tegas.Dewi mengangguk, lalu men
“Selamat, Dokter Denver. Semoga kali ini kamu menjadi dokter yang lebih baik lagi,” ucap Dewi dengan senyum mengembang dengan jemari menggenggam erat ponsel.“Makasih ... bukankah aku keren? Apa kamu bangga memiliki calon suami sepertiku?” goda pria itu.Meskipun hanya berbicara melalui telepon, Dewi tetap merasakan kehangatan itu. Denver selalu membuatnya nyaman.Setelah beberapa hari menanti, hasil beasiswa akhirnya keluar. Dewi dinyatakan lulus dan harus segera mengurus administrasi kampus. Sementara itu, Denver sibuk menghadiri seminar kedokteran serta menerima penghargaan sebagai dokter terbaik berkat partisipasinya menjadi relawan.“Umm ... Dirgantara pasti bangga punya Papa yang hebat,” sahut Dewi, memilih menyebut nama putranya daripada langsung memuji Denver.Seketika gelak tawa renyah terdengar dari telepon. Rupanya, Denver sangat terhibur dengan ucapan itu.“Tentu saja dia bangga. Aku ini papanya, dan kamu harus memujiku secara langsung. Pulang jam berapa? Aku jemput,” ujar
Ketegangan itu menular pada Dewi. Dia menatap Dirga sekilas, lalu menghampiri Astuti di samping pintu."S—siapa yang datang, Bu?" tanyanya dengan suara pelan dan nyaris bergetar.Astuti menelan ludah, matanya terpaku pada layar interkom."I—itu, Wi," tunjuknya, suara Astuti terdengar ragu. "Kenapa momennya tidak pas, ya?" gumamnya pada diri sendiri.Dewi mengalihkan pandangan ke layar interkom, dan seketika napasnya tercekat. Dada yang sejak tadi terasa sesak kini makin menghimpit. Jemari ramping gadis itu refleks mencengkeram kuat kemeja putihnya.Andai bisa, Dewi ingin menolak kedatangan wanita itu. Namun, naluri sebagai ibu tidak bisa mengizinkan dirinya melakukan hal itu. Dengan napas tertahan, dia mengangguk."Kamu serius, Wi? Kalau … Nyonya itu cari keributan bagaimana?" bisik Astuti hati-hati, takut didengar oleh Darius yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan kening mengerut."Biarkan saja Bu Dwyne ketemu
Dewi merasakan seluruh darahnya mengalir dingin. Pandangan gadis itu sedikit kabur, dan untuk sesaat kakinya seperti kehilangan daya. Dirga. Anak yang baru beberapa jam lalu diambil darinya, kini berada dalam pelukan wanita lain.Lebih menyakitkan lagi, Dwyne menatap sosok itu dengan senyum lembut, sesuatu yang bahkan tidak pernah Dewi dapatkan.'Kenapa wanita itu yang menggendong Dirga?'Pertanyaan itu menjerat benaknya, membentuk simpul kusut tidak terurai dalam hati. Apakah ini sebuah pertanda … bahwa dia dan Dirga suatu hari nanti benar-benar akan terpisah?Akan tetapi, seolah membaca isi pikirannya, Dewi tiba-tiba merasakan sentuhan hangat menjalar pada setiap sela jemari rampingnya. Dia menoleh dan menurunkan pandangan pada genggaman erat tangan Denver."Dokter Denver …," lirih Dewi dengan mata bergetar.Denver menatap intens ekspresi sendu Dewi. Kemudian, pria itu mengukir senyum pada bibirnya dan disusul dengan sentuhan
Denver melangkah mantap mendekati mobil hitam yang terparkir di area khusus itu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah di bawahnya ikut merespons gejolak di dadanya.Mata Denver menajam dan mengunci sosok di balik kaca mobil dengan tatapan penuh kewaspadaan. Perasaan pria itu campur aduk, beberapa asumsi berkelebat dalam benaknya, menciptakan badai yang sulit diredam.Kini, Denver telah berdiri tepat di samping mobil hitam itu. Dia mengetuk kaca jendela dengan ujung jarinya, lalu berdeham."Selamat malam, Om Danis," sapa Denver, terdengar dalam dan penuh ketegangan. "Bisa kita bicara berdua?"Pria paruh baya di dalam mobil mengangkat dagunya sedikit dan sorot matanya tajam juga sulit ditebak. Dengan anggukan pelan, Danis memberi isyarat agar Denver masuk.Keduanya duduk di dalam mobil, suasana terasa lebih dingin dari sekadar embusan AC. Tidak ada kata yang langsung terucap, hanya napas berat yang sesekali terdengar.Denver menatap lurus ke depan, lalu akhirnya membuka suara. "A
"Sial, aku tidak ingat tentang itu!" gerutu Denver.Dia menutup laptop dengan kasar. Pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan semalam dan jawaban Dewi yang membuat dada terasa sesak.‘Tapi … Dokter, a—aku tidak mau jadi istri simpanan dan … perceraianku dengan Mas Bima belum resmi.’Kata-kata itu terus terngiang di kepala dan menghantui pikiran Denver tanpa henti. Ditambah lagi, percakapannya dengan Danis semalam membuat kegelisahan makin menjadi. Jemari pria itu mengetuk meja dengan ritme cepat, menunjukkan keresahan yang tidak bisa dia sembunyikan.Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya."Dokter, boleh saya masuk?" tanya seorang wanita terdengar dari balik pintu."Ya, silakan."Saat pintu terbuka, seorang perawat masuk, membawa kabar tentang pasien yang ingin konsultasi bayi tabung. Denver mengangguk, lalu mempersilakan pasien masuk. Namun, matanya membulat seketika setelah melihat siapa yang berdiri di depannya.Dia pasangan Carissa yang baru!Pria itu duduk santai di kursi,
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.