Aduh, jangan pergi Wi T.T Untuk hari ini sudah 4 Bab ya kakak-kakak, semoga sehat slalu dan dilancarkan rezekinya. Sampai jumpa besok ^^
Mengawasi jalannya operasi Danis, ditambah dengan berbagai tugas manajemen lainnya, membuat Denver tidak diam di satu tempat sepanjang hari.Bahkan setelah operasi transplantasi selesai, dia masih memastikan semuanya berjalan lancar dan memerintahkan Dwyne serta Oma Nayla untuk pulang lebih dulu. Namun, dia sendiri tetap berjaga di rumah sakit hingga Danis siuman.Saat sedang berbincang dengan Dokter James, ponsel di saku jas putihnya bergetar terus-menerus. Awalnya Denver mengabaikan, tetapi bunyi itu terus mengusik. Dengan gerakan cepat, dia merogoh saku dan melihat nama Oma Nayla di layar.“Ya, Oma?” sapa Denver, sementara mata karamelnya tetap tertuju pada layar tablet yang menampilkan rekam medis Danis.“Denver! Ya ampun, istri dan anakmu hilang!” Suara Oma Nayla terdengar kacau dengan napas tersengal-sengal.Jantung Denver seketika mencelos. Pikiran pria itu mendadak kosong, tetapi refleksnya langsung menajam. Jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat, sementara pandangannya me
Berbeda dengan Denver yang sibuk mencari Dewi, wanita itu justru duduk di dalam kamar tamu rumah Maharani. Dia memeluk lutut, dengan mata yang sembab menatap langit pekat tanpa bintang.Dingin malam menggigit kulit putih Dewi, tetapi hatinya lebih beku daripada udara yang berembus di wajahnya."Ternyata benar, Rani," lirih Dewi dengan suara serak karena terlalu banyak menangis. "Orang yang paling dekat dengan kita bisa menyakiti kita sedalam ini."Maharani menghela napas, lalu mendekat, merangkul Dewi dengan lembut. "Aku enggak bisa bilang aku ngerti masalahmu. Tapi kalau kamu butuh tempat bersembunyi sementara, kamu tahu rumahku selalu terbuka buatmu."Dewi tersenyum tipis, meskipun air mata masih menetes. "Makasih, ya, Rani. Maaf kalau aku merepotkan."Tadinya Dewi berniat menyewa hotel atau kontrakan kecil, tetapi dia sadar bahwa Denver pasti akan melacaknya lewat kartu ATM yang diberikannya. Sebab dia tidak memiliki ung cash dalam jumlah besar.
Dewi merapatkan cardigannya saat angin siang ini menerpa kuat kulitnya. Dia melangkah cepat, lalu berlari ke arah halte bus. Namun, suara itu terus mengejarnya—suara yang begitu dikenal.Jika saja dia bisa memilih, dia ingin menutup telinga dan pura-pura tidak mendengar. "Dewi, ayolah! Kamu boleh marah padaku, tapi kasihan Om Danis yang terus mencarimu. Papamu itu masih dalam proses penyembuhan, Wi!" Suara tegas itu berasal dari Darius, penuh desakan yang membuat Dewi makin muak. Tanpa menoleh sedikit pun, Dewi terus berjalan, menekan emosi yang mendidih di dada dan kepalanya. Mobil putih di sampingnya masih terus mengikuti. Lalu, terdengar suara langkah kaki yang lebih cepat. "Dewi, kami punya alasan untuk merahasiakan ini dari kamu," ujar Darius, suara pria itu lebih lembut kali ini, mencoba membujuknya. Dewi berhenti mendadak, jantung berdegup lebih kencang. Dia berbalik, lantas menatap Darius dengan mata yang sudah memerah. "Dokter Darius, tolong jangan ganggu aku! Atau a
Teriakan Dewi membangunkan pemilik rumah dan penghuni lainnya. Semua orang keluar, menatap bingung pada Denver yang tergeletak di semak-semak dengan wajah menahan sakit."Pelan-pelan, Mon ange," bisik Denver, mengerang saat nyeri menjalar dari punggung hingga kakinya.Dewi menatap pria itu dengan campuran kesal dan cemas. Tangannya mengepal. Dia tahu Denver bukan pria ceroboh. Jelas sekali suaminya ini memang sengaja memanjat untuk masuk ke kamarnya. Bahkan terdapat tangga besi di dekat Denver terjatuh. Sungguh keterlaluan!Akan tetapi, melihat bagaimana tubuh tinggi besar itu tergeletak dengan ekspresi kesakitan, sesuatu dalam diri Dewi mencelos. Dengan gerakan enggan, Dewi berjongkok dan mulai mengopres punggung pria itu menggunakan es batu."Sebaiknya temui Dokter Ket," ucap Dewi ketus, menekan kantong es lebih keras dari seharusnya.Denver mengerang, lalu menyeringai kecil. "Pakai es batu juga cukup. Tolong bantu aku, Sayang."Alih-alih menuruti, Dewi merogoh saku jaket Denver, me
Denver mempercepat langkah, darahnya mendidih melihat pemandangan di depannya. Darius berjalan terlalu dekat dengan Dewi, bahunya kedua orang itu nyaris bersentuhan.Tanpa pikir panjang, dia berdiri tepat di hadapan mereka, menghalangi jalan. Rahang Denver mengatup dengan napas memburu, tetapi wajahnya tetap tersenyum."Dewi, kamu ke sini?" tanya Denver, dan suaranya terdengar lebih tajam daripada sebelumnya.Dewi menunduk sedikit karena menghindari tatapan manik elang itu."Mau lihat Ayah," jawab Dewi singkat. Dia selalu saja merasa terjebak di antara dua pria ini, dan yang paling dia inginkan saat ini hanyalah keluar dari situasi menyebalkan secepat mungkin.Dia juga tidak ingin bertemu Darius, tetapi tanpa sengaja keduanya berpapasang di depan pintu, sehingga memaksa Dewi berjalan bersama Darius. Denver melirik Darius sekilas, lalu langsung meraih pergelangan tangan istrinya. "Papamu ada di ruang VIP. Aku antar."Tanpa menunggu persetujuan, Denver menarik Dewi menjauh dari Darius
Dewi merasakan tubuhnya membentur lantai dingin, napasnya pun tercekat oleh kejutan tak terduga ini. Seketika para staf rumah sakit bergegas membantu Dewi berdiri dan membawanya ke sofa tunggu. Tangan wanita itu mencengkeram tas erat, matanya terpaku pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.“Dania?” gumam Dewi dengan napas tersengal.Tatapan Dania dingin dan tajam, tetapi ada yang berbeda kali ini. Tidak ada sindiran tajam atau provokasi. Hanya ada desahan pendek sebelum wanita itu berdecak dan kembali berlari menuju lift, meninggalkan Dewi dengan tanda tanya besar.Dewi memutuskan untuk pulang ke rumah Maharani, meninggalkan segala kegelisahan yang belum terjawab. Begitu tiba, dia langsung disambut suara ceria Dirga yang mengayunkan mainan kecilnya, menghasilkan bunyi nyaring mengisi ruangan.“Pa—pa. Ma—ma.”Bayi itu tergelak sambil merangkak mendekati Dewi, tangan kecilnya mencoba berpe
Di ruang ICU rumah sakit, Darius berdiri di samping Dania yang menangis tersedu, memeluk tubuh tidak berdaya sang ayah. Wajah wanita itu sembab, napasnya tersengal akibat histeris yang tidak kunjung reda. Sudah lebih dari dua minggu ini, Dania mengabaikan obatnya. Dia memilih larut dalam alkohol, membenamkan diri dalam kemarahan dan kekecewaan. “Dania, sebaiknya kita keluar sekarang. Papamu butuh ketenangan,” ujar Darius, mencoba meredakan situasi dengan menepuk pundaknya. Namun, tangan pria itu ditepis dengan kasar. “Pergi sana! Aku mau tetap di sini! Aku tidak akan ninggalin Papa!” bentak wanita itu tajam, matanya berkilat penuh kemarahan. “Ini semua salah kalian! Seandainya donor pertama diberikan ke Papa, jantungnya pasti cocok! Kalau sampai Papa kenapa-napa, aku tuntut rumah sakit ini! Dan kamu, terutama Dewi, akan membayarnya!” Darius mengepalkan tangan, mencoba menahan kesabaran. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Didit yang setengah sadar tiba-tiba mengangkat tangan denga
Pascaperdebatan tentang harta warisan Didit serta ancaman Darius, Dania lebih banyak berdiam diri di rumah.Akan tetapi, bukan berarti dia berubah menjadi lebih baik. Di balik itu, dia masih pergi ke kelab malam secara diam-diam, bertemu dengan rekan-rekannya, dan makin jauh dari dunia kedokteran Bahkan, dia memutuskan mundur dari profesi dokter tanpa sedikit pun penyesalan."Aku berangkat dulu," kata Darius sembari mengenakan kemeja navy-nya.Dania hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada pizza di pangkuannya. Bukannya membalas ucapan sang suami, dia justru menyandarkan tubuh ke kepala ranjang dan menggigit pizza dengan malas.Sebagai suami yang bertanggung jawab, Darius tetap menghampiri wanita itu, duduk di tepi ranjang, dan mencoba berbicara dengannya. "Sebaiknya kamu mulai merencanakan masa depanmu, Dania. Hidup ini tidak bisa terus jalan di tempat," ucap pria itu, mencoba bersikap lembut.Alih-alih tersentu
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.