“Om … apa aku salah jika menceraikan Dania?” tanya Darius.Pertanyaan itu membuat Danis menghentikan gerakannya. Mata pria paruh baya itu menyipit, napasnya melambat seiring ekspresi serius yang kini menghiasi wajahnya. Dia berdeham pelan, lalu mengusap dada yang mendadak terasa sesak.“Darius … cinta memang penting dalam pernikahan, tapi yang lebih penting lagi adalah tanggung jawab, Nak,” ujar Danis, membetulkan posisi duduknya.Angin senja berembus dingin, membawa keheningan yang menggantung di antara mereka.“Tapi … Om tidak akan melarang. Itu hidupmu, bukan hidupku. Hanya saja, apa pun alasanmu, hadapilah dengan kepala dingin. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari,” lanjutnya sambil menepuk pundak Darius.Darius menunduk, pikirannya berkecamuk. Namun, ketika Danis hendak bangkit, suara Darius kembali terdengar.“Kenapa Om tidak bertanya alasannya? Bagaimana kalau itu karena ada wanita lain?”Danis membeku. Tatapannya berubah tajam, dia menilai kebenaran di balik kata-kata
Refleks, Darius mendekat. Matanya menelusuri lekuk tubuh berisi Maharani , jujur saja, menarik minatnya. Gaun tidur satin itu melekat sempurna pada tubuh wanita itu, membentuk siluet yang sulit diabaikan. Maharani bahkan belum menyadari bahwa jarak di antara mereka makin menipis.Darius terpaku ketika wanita itu mengibaskan rambut, membuat aroma sampo yang segar menyergap indra penciumannya. Sesuatu dalam dirinya langsung memberontak, ingin terlepaskan.Hingga saat Maharani berbalik, dia tersentak kaget dan hampir menjatuhkan botol minum dalam genggamannya."Botolku!" pekiknya.Sigap, Darius menangkap botol itu, tetapi akibatnya, jarak mereka tambah dekat. Maharani yang menunduk untuk mengambil botol tak sengaja menabrak bahu kokoh Darius."Eh ... umm, maaf, Dok," ucap wanita itu terbata, buru-buru mengambil botol dari tangan pria itu. Namun, saat dia hendak pergi, Darius menahan pergelangan tangannya.Maharani menatap ke bawah, pada genggaman tangan itu, lalu perlahan mendongak. Waja
"Kita mau ke mana, Dok?" tanya Maharani, menatap Darius dengan wajah penuh kebingungan."Nanti juga kamu tahu," sahut pria itu datar, tangannya tetap fokus menggenggam setir. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, seakan perasaan Maharani tak layak mendapatkan kepastian.Maharani menelan saliva, lalu mengangguk kecil. Dia mengalihkan pandangan ke depan, berharap jalanan bisa mengalihkan ketegangannya. Namun, sia-sia. Justru keinginannya untuk bertanya semakin besar.Sepanjang perjalanan, Maharani berusaha menahan diri. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap layar ponsel, bertukar pesan dengan Astuti dan Dewi. Namun, lamunannya buyar ketika menyadari mobil memasuki basement dan akhirnya berhenti.Dia mengenali tempat ini. Sebuah mal."Kenapa ke sini, Dok? Mau beli sesuatu?" tanyanya ragu, suara lirihnya nyaris tertelan suara mesin mobil yang baru dimatikan.Darius tidak menjawab. Pria itu langsung turun dan berjalan lebih dulu. Tidak ada usaha membukakan pintu, bahkan sekadar men
“Tapi aku—”Ucapan Maharani terpotong ketika Dania menyela dengan nada sinis, “Tidak ada tapi. Cepat masuk! Kalau sampai kamu keguguran, aku juga yang repot!”Maharani menghela napas panjang, menatap Dania dengan ragu, lalu akhirnya naik ke mobil merah itu. Namun, belum sempat mengenakan sabuk pengaman, mobil sudah melaju dengan kencang, membuat tubuhnya terdorong ke belakang.“Hati-hati, Dokter Dania!” seru Maharani, tangannya berpegangan pada dashboard, matanya tajam menatap wanita di sampingnya.“Jangan banyak omong!” bentak Dania. Senyum miring tersungging di wajah wanita itu, kilatan tajam di matanya makin menusuk. “Sudah kubilang, jangan berani jadi pelakor. Kamu pikir bisa merebut Darius dariku?”Maharani bergidik. Ada sesuatu yang membuatnya makin gelisah. Dia menelan ludah, tangannya secara refleks memeluk perut, seolah melindungi bayi yang tengah dikandungnya.Dania melirik sekilas dan tertawa kecil, tetapi tawanya dingin dan tanpa emosi. Mendadak, dia menginjak rem dengan k
“Rani! Astaga, kamu ke mana saja? Aku mencarimu!”Dewi hampir menerobos masuk ke rumah Maharani begitu pintu dibuka oleh pengasuh. Napasnya masih terengah-engah setelah tergesa dari rumah sakit. Manik hitamnya langsung menangkap sosok Maharani yang berdiri di ambang pintu dengan wajah sembab dan tubuh sedikit gemetar.Tanpa pikir panjang, Dewi meraih wanita itu ke dalam pelukan. Maharani tidak menolak, tubuhnya justru melemas, seolah kehadiran Dewi telah ditunggunya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Dewi seraya mengusap punggung Maharani. “Kenapa mendadak menghilang? Darius panik cari kamu, tahu tidak?”Maharani masih diam. Napas wanita itu tersengal, sementara pikirannya berkecamuk. Hati ibu hamil itu menghangat mendengar Darius mencarinya. Akan tetapi, di saat yang sama, bayangan Dania dan ucapannya yang tajam kembali menghantam pikirannya, mengingatkan betapa berbahaya situasi sekarang.‘Kamu itu cuma penyumbang sel telur, jangan berani mengkhianati kesepakatan kita.’Maharani menggig
Setelah menenangkan Maharani, Darius membawa wanita itu ke kamarnya. Di atas ranjang yang sama keduanya saling berbaring.Maharani telah terlelap lebih awal. Di sisinya, Darius duduk bersandar di kepala ranjang, matanya tak lepas dari wanita itu.Setiap kali napas Maharani terdengar sedikit berat, dia segera mencondongkan tubuh, memastikan tidak ada yang salah.Darius menghela napas, jemarinya terulur, menyentuh dahi Maharani. Tidak panas. Dia mengangguk kecil, lega.Maharani menggeliat lagi, tangannya tiba-tiba meraih jemari Darius dan menggenggamnya erat. Bibirnya bergerak pelan, seperti menggumamkan sesuatu dalam tidur.Darius tersenyum kecil. “Aku di sini,” bisiknya, meskipun dia tahu Maharani tidak mendengar.Setelah beberapa saat, dia makin mengantuk. Tubuhnya ikut terlelap di sisi Maharani, membiarkan jemari wanita itu tetap melingkari tangannya.Pagi datang perlahan. Cahaya matahari mengintip dari celah tirai, menerpa wajah Maharani yang masih terlelap. Darius sudah bangun leb
Udara pagi masih dingin, dan tubuh Darius sedikit lelah setelah hampir dua minggu terakhir lebih sering bermalam di rumah Maharani. Dia tahu seharusnya tidak terus-terusan seperti ini, tetapi setiap kali dia pulang, ada rasa khawatir yang mengusik. Dia tidak bisa mengabaikan Maharani, apalagi dalam kondisinya sekarang.Akan tetapi, makin lama, dia sadar bahwa dirinya tak bisa jauh dari wanita itu.Pikiran Darius masih tertuju pada Maharani ketika dia membuka pintu rumahnya dengan langkah malas.Pria itu langsung disambut tatapan sinis Dania yang baru saja bangun. Wanita itu duduk di sofa dengan rambut sedikit berantakan, tetapi sorot matanya tajam.“Kamu pulang juga akhirnya.” Nada bicaranya penuh sindiran. “Kenapa nggak sekalian saja menetap di sana? Sepertinya lebih nyaman, bukan?”Darius menghela napas, memilih untuk tidak menanggapi. Dia melangkah melewati istrinya itu, ingin langsung ke kamar. Namun, Dania tidak tinggal diam.“Kenapa diam?” Dania menyeringai. “Kau tahu, Darius? D
Pagi ini, Maharani terbangun oleh suara yang tidak asing di telinganya. Kelopak mata wanita itu mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan sinar mentari yang masuk melalui celah tirai kamar rawat.Aroma nasi tim ayam yang hangat menyelinap ke hidungnya, membangkitkan sedikit selera makan yang akhir-akhir ini berkurang."Tante Lani!" Suara ceria itu membuat Maharani menoleh.Dirga berdiri di sisi ranjang dengan senyum lebar, membawa nampan berisi semangkuk nasi tim ayam yang masih mengepul.Maharani tersenyum lemah. "Dirga ... pagi sekali kamu datang.""Iya dong! Aku sama Mama masak pagi-pagi buat Tante Lani dan adik bayi," kata bocah itu bangga, "aku yang bantu aduk nasinya, lho!"Maharani menatap anak itu dengan perasaan hangat. "Benarkah? Wah, Tante jadi tambah lapar."Dirga mengangguk penuh semangat. "Tante halus makan, ya, bial adik bayi sehat! Kalau nggak, aku nanti sedih ...." Wajahnya berubah sendu.Semalam, saat mengetahui Maharani masuk rumah sakit, Dirga merengek pada Dewi ing
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut.“Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh.“Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu.Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?”Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.”Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan di b
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?”Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka.“Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.”Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung.Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash selalu se
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, sebaikn
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah."Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru.Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak.“Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis.Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa.Di sanalah bencana pertama dimulai.“Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga.“Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.”Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya.Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil.Sesampainya di rumah, Dirga duduk lemas di meja
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.