LOGINCerita banyak mengandung adegan dewasa (21+). Harap bijak dalam memilih bacaan! Aku Erika Setyani Atmaja, mahasiswi jurusan bisnis semester akhir yang tidak lulus-lulus. Itu sebabnya Papa terus menekan dan mengancamku agar lulus tahun ini. Aku melakukan segala cara untuk mendekati Pak Dosenku yang killer agar bisa lulus dengan mulus. "Dit... Bantuin gue, dong. Apa yang harus gue lakuin biar Pak Jefri cepat ACC skripsi gue." "Tidur aja sama dia!" Namun di tengah jalan, aku justru terjebak dalam hubungan yang tak seharusnya dan jatuh cinta padanya yang sangat kubenci. Bagaimana akhirnya dengan skripsiku? Akankah perasaan cintaku ini terbalas?
View More"Ini naskah skripsi saya, Pak. Semuanya sudah direvisi," ucapku dengan suara bergetar yang sulit disembunyikan.
Aku berdiri di dekat Pak Jefri sambil menundukkan kepala. Jemariku saling meremas di belakang punggung. Keringat dingin merayap di sekujur tubuh, meski ruangan dingin dari embusan AC itu terasa menusuk.
Aku merasakan suasana yang mencekam di kantor Pak Jefri siang itu. Wajar saja. Ini sudah kali ke lima aku menulis revisi yang berujung penolakan. Setiap kali skripsi itu kembali, selalu ada coretan —menandakan kegagalanku yang tak ada habisnya.
Rasanya bukan lagi revisi, melainkan sebuah siksaan tanpa akhir. Tak salah jika aku memanggilnya 'dosen killer'. Aku merasa dia punya dendam pribadi padaku, seolah ia selalu mencari celah untuk mempersulit skripsiku.
Benar saja, hari ini pun sama. Aku melirik Pak Jefri yang hanya membalik-balik kertas itu tanpa membacanya. Wajahku cemberut, dalam batinku bergumam, 'Sialan nih dosen! Dia bahkan nggak ngehargai kerja kerasku.'
Secepat kilat, ia mencoret beberapa halaman. Aku spontan mendongak, mataku membelalak lebar diikuti dengan mulutku yang menganga .
"Pak... jangan dong, Pak. Saya sudah susah payah merevisi ini. Masak di coret lagi sih, Pak..." Aku berseru, berusaha merebut dokumen tugas akhir itu.
Namun, ia menarik tangannya dengan cepat—membuatku tak bisa menjangkaunya.
"Skripsi apa yang kamu buat ini?!" Nadanya bukan lagi sekadar marah, melainkan sebuah ledakan. Suaranya menggelegar di ruang kantor yang sunyi, membuatku berjengit.
"Semuanya salah!" Ia terus mencoret tiap halaman di udara, seolah ingin merobeknya.
Aku merasa kesal dan tak menyerah. Aku terus melompat-lompat, berusaha menggapai skripsi itu. Kakiku tanpa sengaja tertekuk hingga tubuhku limbung dan terjatuh dalam pangkuannya.
Mata kami bertemu. Ada getaran aneh di dadaku. Tubuhku terasa menghangat, seolah ada api yang tiba-tiba menyala. Bibir Pak Jefri tiba-tiba melumat bibirku dengan brutal dan tanpa sadar, aku membalasnya.
Tanpa sedikitpun rasa sungkan, aku menjulurkan lidahku, mengundang Pak Jefri untuk menelusuri lebih dalam.
Ciumannya semakin ganas. Ia mulai menelusuri leherku, meninggalkan jejak kemerahan di sana.
"Aahh..." Sebuah desahan samar lolos dari bibirku.
Selama ini, tak ada pria yang menyentuhku. Namun hari ini, seorang dosen killer yang kubenci justru memulai semuanya. Ia meruntuhkan segala pertahananku yang selama ini anti sentuhan fisik.
Tangan Pak Jefri semakin berani. Ia tak puas hanya dengan bagian atas. Ia mulai menjelajahi dadaku, perlahan menarik tali tanktop-ku sambil terus mencumbu.
Puting payudaraku yang sudah tegang mencuat ke permukaan saat ia melorotkan tanktop itu, beserta bra yang menempel.
Dengan penuh gairah, ia mengisap ujung berwarna merah muda itu, sesekali menari liar menggunakan ujung lidahnya.
"Mmhhh... Pak..."
Mulutku tak bisa diam, apa lagi saat jari-jarinya mulai menjelajahi daerah pahaku yang terasa basah.
Aku bisa mendengar embusan napas Pak Jefri yang memburu. Tak kusangka, dosen yang kuanggap buas dalam merevisi skripsi ternyata lebih buas dari bayanganku.
Ia mengangkat tubuhku yang kecil—mendudukkanku di atas meja kerjanya. Rok mini yang kupakai memudahkannya menjangkau area paling sensitif.
Pak Jefri menurunkan celana dalamku, lalu membuka lebar pahaku yang terasa gemetar. Tangannya menarik tuas kursi putar yang didudukinya hingga merendah, membuat lidahnya dengan mudah menjangkau lipatan terdalamku.
"Aahhh... Pak..."
Aku mendesah kenikmatan. Tanganku meremas rambut Pak Jefri yang sedang bekerja keras. Bokongku terus bergerak, mencari sensasi terdalam dalam permainan lidahnya.
Hingga tanpa terasa, genggaman tanganku pada rambutnya tergelincir. Tubuhku terasa melayang—bukan karena kenikmatan—melainkan jatuh dari ketinggian.
Bruak!
Aku terbangun. Tubuhku terguling dari kasur, lalu mendarat di lantai yang dingin. Napasku terengah, mataku menyapu ke segala arah sambil bergumam, "Di mana ini?"
Keningku berkerut saat melihat kertas skripsi berserakan di mana-mana. Laptopku masih menyala, dan buku-buku tercecer di segala tempat. Melihat kekacauan yang terjadi aku baru sadar—ini apartemen kontrakanku, bukan kantor Pak Jefri.
"Sialan! Ternyata aku hanya mimpi."
Beberapa jam lalu, aku sibuk menyelesaikan revisi sambil mengumpat. Saking kesalnya dengan Pak Jefri, aku sampai ketiduran dan bermimpi aneh di siang bolong.
Aku meraba selangkanganku yang terasa basah. Dan... Benar saja. Cairan bening seperti lem masih terperangkap dalam celana dalamku.
"Begok! Bisa-bisanya aku mimpi basah sama dosen killer itu," rutukku pada diri sendiri.
Cling!
Suara notifikasi ponsel yang tergeletak di kasur tedengar. Aku mengabaikannya dan masih bersandar lemas di sisi ranjang.
Dadaku terasa sesak karena mimpi barusan. Selain jijik, aku merasa kesal dan tak terima. Aku yang selama ini tak pernah tersentuh pria, justru disentuh pertama kali oleh orang yang aku benci—meski itu hanya dalam mimpi.
Tak pernah sedikitpun aku membayangkan disentuh olehnya, bahkan melihat wajahnya saja membuatku naik darah. Heran saja, kok bisa ia menjadi dosen idaman para mahasiswi. Padahal wajahnya sangat kaku dan minim emosi. Sikapnya dingin mengalahkan kutub Utara.
Meskipun, ya... Dia memang ganteng, sih.
Ddrrzzztttt!
Suara dering ponselku disertai dengan getaran memecah keheningan.
"Siapa sih?"
Dengan gerakan lemas, tanganku meraba-raba kasur, berusaha meraih ponsel itu dari lantai.
"Pak Jefri?!"
Mataku seketika membelalak melihat namanya terpampang jelas di layar. Aku segera menekan tombol hijau, lalu bergegas menjawab.
"Halo, Pak..."
Mendadak aku berubah total. Berbicara dengan selembut mungkin, seolah tak pernah ada rasa kesal sedikitpun.
"Kalau kamu tidak mau menyelesaikan skripsi bilang saja! Saya tidak mau capek-capek menunggu kamu di kampus!" Suara Pak Jefri terdengar seperti sedang menahan amarah.
"A-apa? Bapak nunggu saya?!" Mataku melotot karena kaget. Tubuhku membeku, seolah paru-paruku berhenti bernapas.
"Kamu tidak baca pesan? Saya sudah mengirim pesan beberapa kali, Erika!"
Seketika, jantungku seperti mau melompat dari tempatnya. Jemariku bergerak cepat, buru-buru mengecek layar ponsel.
Dan... Benar saja. Pak Jefri mengirimku pesan sejak pukul dua belas siang, memintaku datang untuk bimbingan skripsi pukul tiga sore.
Dan sekarang?
Aku melirik jam weker di rak belajar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat. Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit, menempelkan kembali ponsel itu di telinga sambil melangkah kebingungan.
"Iya, Pak. Saya akan segera datang!" jawabku dengan suara serak, lalu mematikan ponsel.
Aku panik, berlari ke sana kemari mencari celana panjang dan kemeja.
"Ke mana, sih? Padahal tadi kan di sini."
Seolah menghilang ditelan bumi. Khas sekali, barang yang paling dibutuhkan selalu lenyap saat genting. Padahal aku yakin betul celana itu tadi pagi tergeletak di kasur.
Kontrakan apartemenku ini tidak besar. Hanya ada satu kasur, rak yang jadi satu sama meja belajar, satu sofa panjang dan lemari berkabinet. Harusnya celana itu tidak lari kemana-mana.
Aku berlari ke segala tempat, membuka semua kabinet lemari. Kosong. Tak ada celana yang tersisa. Aku terduduk lemas di lantai. Berteriak sambil menjambak rambutku sendiri.
"Aarrrgghh.... Kenapa bajuku kotor semua?!"
Pak Jefri kembali melumat bibirku dengan brutal. Ia menunjukkan dominasinya, seolah ingin membuktikan ucapannya barusan.Meski aku terus memberontak, ia tak peduli. Dan justru semakin buas melumat bibirku.Lalu tiba-tiba... suara ketukan pintu terdengar.Tok! Tok! Tok!Pak Jefri seketika menghentikan ciumannya. Kami sama-sama menoleh ke arah pintu dengan napas memburu."Erika... Apa Ello di dalam?"Itu suara Dita. Apa dia tahu aku sedang bersama tunangannya sekarang?Aku bergegas mendorong tubuh pak Jefri. Namun tepat saat aku ingin melompat turun dari westafel, ia kembali mendekapku, lalu melanjutkan ciumannya dengan semakin brutal.Aku memukul dadanya, lalu berusaha keras mendorong tubuhnya agar berhenti menciumku. "Apa Bapak gila?! Di luar ada tunangan Bapak!" bentakku dengan suara kecil.Tok! Tok!"Erika... Gue tahu Lo di dalem. Tadi gue liat Lo masuk ke toilet ini," ucap Dita dari balik pintu.Aku terdiam sambil menatap ke arah pintu. Dita melihatku masuk, itu berarti... dia juga
Aku tidak percaya Roy akan senekat ini. Ini benar-benar kejutan. Mungkin juga ini adalah alasan Roy memaksaku datang ke vestival. Aku tidak menyangka dia akan menembakku di depan orang banyak.Aku bagai mendapatkan kartu AS. Tadinya aku hanya ingin membuat Dita dan pak Jefri cemburu, dengan sedikit aksiku yang berada di atas panggung. Tak disangka aku malah mendapat jackpot.Jawaban yang akan aku beri pada Roy, tentu bisa membanting Dita dan pak Jefri sekaligus. Jadi... tentu saja aku akan mengambil kesempatan ini untuk membalas mereka.Aku berjalan menghampiri Roy, lalu mengambil bunga mawar di tangannya. "Ya... Aku mau," jawabku singkat.Roy seketika merangkulku dengan wajah yang berseri.Hal itu memancing penonton di bawah panggung, mereka sontak berseru dengan riang. "Hhhuuu..." sambil berteriak. "Cium! Cium!"Aku menoleh pada penonton dengan mata membulat. Keinginan mereka ini memang luar biasa. Tapi... aku juga tidak pernah berharap akan melakukan apa yang mereka minta di depan
Aku seketika terkekeh melihat ekspresi Dita. Dia tampak syok dengan wajah yang tegang, begitu juga dengan pak Jefri."Ello pikir... Pak Jefri bakal suka sama gue?" ucapku sambil melirik Dita dengan raut wajah dingin. Dita menatap pak Jefri—meneliti ekspresinya yang datar dan tegang, lalu kembali menatapku dengan kelopak mata yang sedikit turun. "Iya... Nggak mungkin, sih..." sahut Dita sambil tersenyum meremehkan. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menjadi ceria seolah sengaja ingin menghinaku.Aku terkekeh kecil sambil melirik pak Jefri yang masih menatapku dengan raut wajah datar. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Mungkinkah dia membenarkan perkataan Dita, atau... Dia punya perasaan lain padaku. Aku akan segera mengetahuinya setelah melakukan hal ini."Kalau gitu gue akan tunjukin... Cowok mana yang berani nembak gue..." ucapku dengan percaya diri sambil tersenyum dingin pada mereka berdua.Kemudian, aku segera balik badan untuk turun menuju lapangan tempat diselengg
Aku terus berusaha melepaskan diri dari rengkuhan si dosen killer ini. "Mmmhhh..." teriakku di tengah ciumannya yang buas. Aku berusaha memberi tahunya jika Dita sudah mendekat. Namun ia tetap tak bergeming dan masih terus melanjutkan dominasinya dengan melumat habis bibirku."Iya, Pak... Baik... akan saya kerjakan." Samar-samar suara Dita yang masih menelpon terdengar.Aku memukul-mukul dada pak Jefri agar dia segera menghentikan ciumannya. Tapi, itu tidak berhasil. Ia terus melumat bibirku seperti kucing kelaparan.Sementara di depan pintu kaca, aku sudah melihat Dita berdiri sambil menempelkan ponsel di telinganya. Ia masih menghadap ke luar dan terlihat sibuk bicara.Aku sudah melakukan segala hal untuk melepaskan diri dari pak Jefri. Namun, itu tidak berhasil. 'Dasar brengsek! Bisa-bisanya dia melakukan ini padaku, sementara tunangannya sedang berdiri di depan pintu,' batinku.Beberapa saat kemudian, Dita menurunkan ponselnya. Aku kembali memukul dan mendorong tubuh pak Jefri ag
Dita melepas pelukanku, lalu menatap dengan kelopak mata yang turun. "Erika... Lo gak marah kan sama gue?"Marah? Apa sekarang dia sudah tau kesalahannya. Jangan-jangan... Dita sudah tahu aku menyukai pak Jefri dan pernah tidur dengannya."Marah? Marah kenapa?" ucapku balik bertanya. Aku melirik pak Jefri yang masih duduk di sofa. Ia sedang menatapku dengan raut wajah yang tampak tenang, seolah tak ada apapun yang perlu dikhawatirkan."Selama ini... Pak Jefri sudah mempersulit skripsi Lo." Dita mengusap lenganku seolah ikut merasakan penderitaan yang kurasakan. "Ello pasti kecewa sama gue, karena nggak bisa ngerayu pak Jefri buat cepat lulusin Lo."Setelah sempat terdiam sesaat, aku akhirnya terkekeh karena merasa lucu dengan sikapnya. Aku pikir... Dita sudah mulai bisa menebak apa yang aku lakukan sama pak Jefri di belakangnya. Aku pikir... Dia sudah tahu hubungan kami, tapi tetap melanjutkan pertunangannya. Ternyata aku terlalu geer. Dita tidak sepeka itu padaku. Atau memang... Di
Keesokan harinya saat vestival kampus berlangsung. Aku sengaja keluar lebih awal dari rumah agar tidak bertemu Dita. Aku juga sengaja tak memberinya kabar karena masih malas untuk bicara dengannya.Aku memilih pergi ke toko buku yang ada di mall dekat kampus, untuk mengisi waktu. Acara vestival akan dimulai pukul 8 malam, sementara aku sudah keluar dari rumah sekitar jam 6 sore. Aku pergi berjalan-jalan sendiri ke mall untuk mengembalikan suasana hati yang buruk, sekaligus untuk mengecek apakah buku hasil karyaku masih terpajang di rak toko atau tidak.Aku sudah lama tidak menerbitkan buku. Terakhir kali aku menerbitkan buku mungkin enam bulan lalu. Saat ini aku hanya fokus menulis novel daring, itupun jarang update karena sibuk dengan skripsi dan masalah percintaanku dengan pak Jefri."Wahh... Bukuku masih terpajang di sini," gumamku dengan bangga.Senang rasanya bisa melihat buku yang aku tulis masih menjadi penghuni rak best saler. Ini adalah salah satu mood booster bagiku.Selama
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments