Udara pagi masih dingin, dan tubuh Darius sedikit lelah setelah hampir dua minggu terakhir lebih sering bermalam di rumah Maharani. Dia tahu seharusnya tidak terus-terusan seperti ini, tetapi setiap kali dia pulang, ada rasa khawatir yang mengusik. Dia tidak bisa mengabaikan Maharani, apalagi dalam kondisinya sekarang.Akan tetapi, makin lama, dia sadar bahwa dirinya tak bisa jauh dari wanita itu.Pikiran Darius masih tertuju pada Maharani ketika dia membuka pintu rumahnya dengan langkah malas.Pria itu langsung disambut tatapan sinis Dania yang baru saja bangun. Wanita itu duduk di sofa dengan rambut sedikit berantakan, tetapi sorot matanya tajam.“Kamu pulang juga akhirnya.” Nada bicaranya penuh sindiran. “Kenapa nggak sekalian saja menetap di sana? Sepertinya lebih nyaman, bukan?”Darius menghela napas, memilih untuk tidak menanggapi. Dia melangkah melewati istrinya itu, ingin langsung ke kamar. Namun, Dania tidak tinggal diam.“Kenapa diam?” Dania menyeringai. “Kau tahu, Darius? D
Pagi ini, Maharani terbangun oleh suara yang tidak asing di telinganya. Kelopak mata wanita itu mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan sinar mentari yang masuk melalui celah tirai kamar rawat.Aroma nasi tim ayam yang hangat menyelinap ke hidungnya, membangkitkan sedikit selera makan yang akhir-akhir ini berkurang."Tante Lani!" Suara ceria itu membuat Maharani menoleh.Dirga berdiri di sisi ranjang dengan senyum lebar, membawa nampan berisi semangkuk nasi tim ayam yang masih mengepul.Maharani tersenyum lemah. "Dirga ... pagi sekali kamu datang.""Iya dong! Aku sama Mama masak pagi-pagi buat Tante Lani dan adik bayi," kata bocah itu bangga, "aku yang bantu aduk nasinya, lho!"Maharani menatap anak itu dengan perasaan hangat. "Benarkah? Wah, Tante jadi tambah lapar."Dirga mengangguk penuh semangat. "Tante halus makan, ya, bial adik bayi sehat! Kalau nggak, aku nanti sedih ...." Wajahnya berubah sendu.Semalam, saat mengetahui Maharani masuk rumah sakit, Dirga merengek pada Dewi ing
Ruang IGD dipenuhi suara dengung alat medis dan langkah para perawat yang sibuk lalu-lalang. Di sudut ruangan, dua pria duduk berseberangan, sama-sama babak belur, sama-sama diam dengan bara api di mata mereka.Darius yang wajahnya lebam dan berdarah sedang mendapat jahitan dari perawat, sementara Denver masih membiarkan luka di keningnya mengucurkan darah.“Seharusnya kamu tidak perlu ikut campur, Dokter Denve!” dengkus Darius.“Harus!” tegas Denver, “hamil bukan tugas wanita, tapi pria juga bertanggung jawab, Darius!”Tatapan mereka saling bertautan, seolah masih ingin melanjutkan perkelahian yang terhenti. Darius mencengkeram erat seprai ranjangnya, rahangnya mengeras setiap kali melihat wajah Denver. Sama halnya dengan Denver hanya mendengkus pelan, sorot matanya penuh ejekan.Pintu IGD mendadak terbuka. Dewi bergegas masuk dan langsung terpaku melihat keadaan sang suami. Mata perempuan itu membulat, napasnya tertahan beberapa detik, lalu menyembur, "Sayang! Apa yang kamu lakukan?!
“Benarkah Dokter? Kalau begitu … apa ini?” Maharani meraih ponsel dan menggeser layar. Sebelum menunjukkan pada Darius, dia menarik napas panjang lebih dulu. Darius memicingkan mata, menatap layar ponsel Maharani dengan rahang mengeras. Deretan panggilan keluar, serta pesan masuk yang ditunjukkan wanita itu jelas bukan darinya. Dia tahu pasti. Bahkan Darius sadar 100% ponselnya tak pernah mengirim pesan semacam itu, tak ada satu pun panggilan masuk dari Maharani yang diterima. Namun, menanyakan lebih jauh hanya akan memicu perdebatan yang tidak perlu. Dia menarik napas, menekan amarahnya. "Maaf," ucapnya singkat, "aku hanya banyak pikiran karena pekerjaan." Maharani menatap Darius cukup lama sebelum tersenyum kecut. Refleks wanita itu menyentuh perutnya. Bahkan demi jabanh bayi dalam rahimnya pun, Darius enggan meluangkan waktu. Miris. “Rani—” “Tidak apa, Dok. Untung saja di RS ada Dokter Denver, kalau tidak, pasti kamu kehilangan anak ini,” sarkas ibu hamil itu, tangannya merem
"Dania!" panggil Darius dengan suara menggelegar.Mata Darius menyorot tajam dan langkahnya lebar memasuki rumah. Embusan napasnya agak memburu, amarah yang sudah dia tekan sejak kemarin kini nyaris meluap.Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyambutnya—seperti biasa. Darius menggeram, kedua tangannya mengepal kuat. Seorang asisten rumah tangga yang tengah menyapu ruang tengah langsung menoleh dengan wajah tegang."Bu Dania masih tidur, Pak," ucapnya pelan.Darius mendengkus kesal. Tanpa menunggu lebih lama, dia melangkah cepat menuju kamar utama. Begitu membuka pintu, dia menemukan Dania masih terbuai dalam mimpinya, berselimut tebal dengan wajah tenang. Seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya.Akan tetapi, Darius tidak akan membiarkannya begitu saja.Tanpa ragu, dia merenggut selimut yang menutupi tubuh sang istri. Dania mengerjap kaget, lalu menatapnya dengan kesal."Darius, apa-apaan ini?!" bentak wani
Suasana ruangan menegang. Dewi menegang, tangannya hendak mencengkeram pergelangan Dania, siap menyeret wanita itu keluar. Namun, suara lembut dan tegas terdengar di belakangnya."Jangan, Wi. Biarkan … dia masuk."Mata Dewi melebar. Dia menoleh cepat ke arah Maharani, berharap dia hanya salah dengar. Namun, yang dilihatnya justru raut wajah tenang Maharani, seakan kehadiran Dania bukanlah ancaman."Apa maksudmu?" tanya Dewi, suaranya serak, "kenapa kamu biarkan dia bertamu?"Maharani tidak langsung menjawab. dia menghela napas dan melirik Dania, yang kini memasang senyum penuh kemenangan. "Dia sudah di sini. Mengusirnya hanya akan membuat suasana makin buruk."Dewi mengatupkan rahang, jelas tak setuju. Namun, Maharani sudah melangkah ke arah ruang tamu.. Dengan anggun, dia menunjuk sofa yang berada di sudut ruangan. "Silakan duduk, Dokter Dania."Dania tersenyum puas dan melangkah santai ke sofa, lalu duduk dengan penu
Dewi menatap Maharani lekat-lekat, mencari sesuatu di balik ekspresi sahabatnya itu. "Kamu suka Darius, kan?" tanyanya pelan. Maharani tertegun. Jemari ibu hamil itu meremas ujung baju, lalu dengan cepat menggeleng. "Ti—tidak," jawabnya, "aku … tidak suka." Dewi tidak langsung merespons. Istri Arkatama Denver itu hanya menatap lebih dalam, membaca isyarat tak terucapkan. "Umm … bagus kalau begitu," kata Dewi. Dia menggenggam tangan Maharani. "Jangan sampai seperti aku dulu, sakit hati melihat Dokter Denver dan Bu Carissa." Maharani tidak menjawab. Ucapan itu membuatnya mendadak nyeri pada dada. Kata-kata itu terngiang di kepalanya bahkan setelah Dewi pergi. Malamnya, Maharani berbaring di kasur. Bukan tidur, melainkan menatap langit-langit, rasanya hampa. Benaknya teringak bagaimana Darius mencuri kecupan darinya, tetapi hari ini semua seolah tidak berarti. "Aku tidak boleh merebut suami orang," gumamnya pelan, berusaha yakin atas pilihannya. "Ini semua hanya perasaan sesaat
"Jangan mengusirku, Rani. Aku menginginkanmu."Maharani tersenyum pahit. Menginginkan apa? Dirinya? Tubuhnya? Atau anak yang tengah dia kandung? Rasa sesak menghimpit dadanya. Hampir saja dia terlena oleh kehangatan pria itu, tetapi kesadarannya kembali. Darius bukan miliknya, dan dia tak seharusnya membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam.“Seharusny, Dokter menemui Dokter Dania," lirih Maharani, bergetar, tetapi mencoba dengan ketegasan.Darius tidak menjawab, tatapan tajamnya tidak lepas dari wajah Maharani. Tanpa aba-aba, dia kembali mendekat, menekan tubuh Maharani ke dinding, dan meraih wajahnya untuk mencium bibir itu dengan lebih dalam, lebih menuntut.Pria itu makin menahannya dalam jeratan yang lebih erat. Bibir Darius melumat, mencuri oksigen dari paru-paru Maharani, membuat Maharani hampir kehilangan kendali.Ibu hamil itu berusaha melawan, kedua tangannya menekan dada bidang Darius, tetapi tenaga Darius masih jauh lebih kuat."Lepaskan aku, Darius!" Maharani memukul dada bi
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.