"Dania!" panggil Darius dengan suara menggelegar.
Mata Darius menyorot tajam dan langkahnya lebar memasuki rumah. Embusan napasnya agak memburu, amarah yang sudah dia tekan sejak kemarin kini nyaris meluap.
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyambutnya—seperti biasa. Darius menggeram, kedua tangannya mengepal kuat. Seorang asisten rumah tangga yang tengah menyapu ruang tengah langsung menoleh dengan wajah tegang.
"Bu Dania masih tidur, Pak," ucapnya pelan.
Darius mendengkus kesal. Tanpa menunggu lebih lama, dia melangkah cepat menuju kamar utama. Begitu membuka pintu, dia menemukan Dania masih terbuai dalam mimpinya, berselimut tebal dengan wajah tenang. Seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya.
Akan tetapi, Darius tidak akan membiarkannya begitu saja.
Tanpa ragu, dia merenggut selimut yang menutupi tubuh sang istri. Dania mengerjap kaget, lalu menatapnya dengan kesal.
"Darius, apa-apaan ini?!" bentak wani
Suasana ruangan menegang. Dewi menegang, tangannya hendak mencengkeram pergelangan Dania, siap menyeret wanita itu keluar. Namun, suara lembut dan tegas terdengar di belakangnya."Jangan, Wi. Biarkan … dia masuk."Mata Dewi melebar. Dia menoleh cepat ke arah Maharani, berharap dia hanya salah dengar. Namun, yang dilihatnya justru raut wajah tenang Maharani, seakan kehadiran Dania bukanlah ancaman."Apa maksudmu?" tanya Dewi, suaranya serak, "kenapa kamu biarkan dia bertamu?"Maharani tidak langsung menjawab. dia menghela napas dan melirik Dania, yang kini memasang senyum penuh kemenangan. "Dia sudah di sini. Mengusirnya hanya akan membuat suasana makin buruk."Dewi mengatupkan rahang, jelas tak setuju. Namun, Maharani sudah melangkah ke arah ruang tamu.. Dengan anggun, dia menunjuk sofa yang berada di sudut ruangan. "Silakan duduk, Dokter Dania."Dania tersenyum puas dan melangkah santai ke sofa, lalu duduk dengan penu
Dewi menatap Maharani lekat-lekat, mencari sesuatu di balik ekspresi sahabatnya itu. "Kamu suka Darius, kan?" tanyanya pelan. Maharani tertegun. Jemari ibu hamil itu meremas ujung baju, lalu dengan cepat menggeleng. "Ti—tidak," jawabnya, "aku … tidak suka." Dewi tidak langsung merespons. Istri Arkatama Denver itu hanya menatap lebih dalam, membaca isyarat tak terucapkan. "Umm … bagus kalau begitu," kata Dewi. Dia menggenggam tangan Maharani. "Jangan sampai seperti aku dulu, sakit hati melihat Dokter Denver dan Bu Carissa." Maharani tidak menjawab. Ucapan itu membuatnya mendadak nyeri pada dada. Kata-kata itu terngiang di kepalanya bahkan setelah Dewi pergi. Malamnya, Maharani berbaring di kasur. Bukan tidur, melainkan menatap langit-langit, rasanya hampa. Benaknya teringak bagaimana Darius mencuri kecupan darinya, tetapi hari ini semua seolah tidak berarti. "Aku tidak boleh merebut suami orang," gumamnya pelan, berusaha yakin atas pilihannya. "Ini semua hanya perasaan sesaat
"Jangan mengusirku, Rani. Aku menginginkanmu."Maharani tersenyum pahit. Menginginkan apa? Dirinya? Tubuhnya? Atau anak yang tengah dia kandung? Rasa sesak menghimpit dadanya. Hampir saja dia terlena oleh kehangatan pria itu, tetapi kesadarannya kembali. Darius bukan miliknya, dan dia tak seharusnya membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam.“Seharusny, Dokter menemui Dokter Dania," lirih Maharani, bergetar, tetapi mencoba dengan ketegasan.Darius tidak menjawab, tatapan tajamnya tidak lepas dari wajah Maharani. Tanpa aba-aba, dia kembali mendekat, menekan tubuh Maharani ke dinding, dan meraih wajahnya untuk mencium bibir itu dengan lebih dalam, lebih menuntut.Pria itu makin menahannya dalam jeratan yang lebih erat. Bibir Darius melumat, mencuri oksigen dari paru-paru Maharani, membuat Maharani hampir kehilangan kendali.Ibu hamil itu berusaha melawan, kedua tangannya menekan dada bidang Darius, tetapi tenaga Darius masih jauh lebih kuat."Lepaskan aku, Darius!" Maharani memukul dada bi
“Sialan!” Darius meraba dadanya yang terasa sesak. Napas pria itu agak berat, seperti ada sesuatu yang menghimpit tulang dada tanpa alasan jelas. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Bodoh, pikirnya. Dia tertawa hambar, menyadari betapa mudah dirinya terpengaruh oleh satu wanita. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah menuju poli jantung. Setelah pemeriksaan lengkap, Dokter James duduk di seberangnya, menatap Darius dengan tenang. “Apa yang Anda rasakan?” tanya dokter itu. “Sesak … seperti terhimpit. Kadang juga berdebar.” Dokter James mengangguk, lalu membaca hasil pemeriksaan. “Ini bukan gejala penyakit jantung, Dokter Darius. Saya rasa, ini lebih ke stres atau faktor emosional.” Darius diam. Stres? Emosi? Dia tertawa dalam hati. Jadi, hanya karena seorang pemandangan tadi tubuhnya bereaksi sejauh ini? Keluar dari poli jantung, dia mengeluarkan ponsel. Jemarinya melayang di atas layar, menekan nama yang terlalu sering ada dalam pikirannya. Sebuah pesan hampir t
Maharani berdiri tegak di tengah kolam, matanya bertemu langsung dengan tatapan tajam Darius. Meskipun dadanya berdegup kencang, dia tidak menunjukkan kepanikan. Dengan ekspresi datar, dia mengangguk."Ya, dia tunangan aku," ucapnya tenang.Darius menyipitkan mata. Bibir pria itu melengkung sinis. "Tunangamu?" Dia terkekeh kecil. "Sejak kapan tunanganmu seorang sopir taksi online?"Napas Maharani menjadi cepat, tetapi dia berusaha tetap santai. Wanita itu mengangkat bahu, dan menyahut, "Memangnya kenapa?"Darius terdiam sesaat, lalu mendengkus. "Kamu pikir aku bodoh, Rani? Jangan buat cerita yang tidak masuk akal."Maharani tetap bergeming, kali ini napasnya mulai terasa berat. "Untuk apa aku bohong? Lagipula, dari mana Dokter tahu aku bareng dia di rumah sakit?"Darius tersenyum miring."Aku selalu tahu gerak-gerikmu, Rani," ucap pria itu dengan intonasi dalam dan menekan, membuat bulu kuduk Maharani meremang.Ibu hamil itu melangkah mundur sedikit, menciptakan jarak. Namun, Darius me
Napas Maharani terengah ketika Darius melepaskan bibirnya. Dia menggigit bibirnya yang kini terasa panas dan agak membengkak. Jantung wanita itu berdegup tidak karuan saat kulitnya kembali bersentuhan dengan Darius.“Ahh,” lenguhnya.Sentuhan itu asing, belum pernah dirasakannya hingga sedewasa ini. Dia tidak polos, dia tahu bahwa yang dilakukan Darius ini akan membawanya terbang mengarungi luasnya langit. Tubuhnya pun seolah memiliki pikiran sendiri, merespons setiap gerakan pria itu dengan gemetar yang halus.“Dokter … Darius … ahh, ja—jangan ….” Suaranya bergetar, tetapi tangannya tetap mencengkeram lengan pria itu, seolah-olah meminta lebih meski bibirnya mengatakan sebaliknya.Darius tidak menjawab. Bibir pria itu sudah bergerak turun, menyapu lembut leher Maharani dengan kecupan yang menghanyutkan. Embusan napas sang dokter terasa hangat, mengalir di kulit ibu hamil bagai bara api yang menyala pelan, membakar setiap inci tubuhnya.Bahkan lidah pria itu menelusuri area sensitif di
Darius melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah tegang. Hasratnya masih menggelora, tertahan, membuat emosinya tak menentu. Namun, senyum sumringah Dania menyambutnya seolah tidak ada yang terjadi."Sayang, kamu pulang juga!" Dania melangkah cepat, memeluk pria itu dengan erat. Tapi saat wajahnya menyentuh dada Darius, dia mengernyit. "Hmm ... aroma ini ...." Dia menarik diri, menatap suaminya dengan mata menyipit. "Kamu bau jalang!"Darius terperanjat dan rahangnya mengeras. "Apa maksudmu?"Dania menyilangkan tangan di dada. "Jangan pura-pura, Darius. Aku tahu bau ini milik siapa."Darius hendak membalas, ingin membela diri, tetapi suara kecil mengalihkan perhatian mereka."Om!" Dirga berlari menghampiri, tangan kecilnya terulur. Darius merentangkan tangan dan segera menggendongnya. Anak itu terkikik, lalu wajahnya berbinar."Om Dalius, nih, lama banget pulangnya. Aku ‘kan kangen!"Darius tersenyum, mencium pipi tembam
Darius berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di depan rumah Maharani. Perasaannya tidak enak sejak tadi, dan sekarang firasat itu makin kuat. Saat dia mengintip ke dalam, jantungnya langsung berdegup kencang.Maharani dan Bibi duduk di kursi belakang dengan tangan dan kaki terikat. Mulut bibi dilakban, sementara Maharani tampak ketakutan, air matanya mengalir deras.Tanpa pikir panjang, Darius membuka pintu mobil dengan kasar. Pria bertopeng yang duduk di kursi depan menoleh kaget."Sialan!" Pria itu berusaha mengambil sesuatu dari sakunya, tetapi Darius lebih cepat. Satu pukulan keras mendarat di wajah pria itu, membuatnya terhuyung ke belakang.Pria bertopeng itu tidak tinggal diam. Dia balas menyerang dengan tinju, tetapi Darius menangkisnya dengan lengan."Hei! Ada apa?!"Suara teriakan dari dalam rumah membuat Darius menoleh sekilas. Seorang pria lain berlari keluar dengan panik. Mata Darius langsung tertuju pada benda di tangan pria itu—sebilah pisau."Lepasin dia atau gue
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut.“Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh.“Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu.Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?”Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.”Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan di b
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?”Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka.“Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.”Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung.Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash selalu se
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, sebaikn
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah."Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru.Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak.“Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis.Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa.Di sanalah bencana pertama dimulai.“Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga.“Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.”Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya.Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil.Sesampainya di rumah, Dirga duduk lemas di meja
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.