Bima menegakkan tubuhnya di balik pintu rumah kontrakan. Sudah beberapa jam dia berdiri di sana. Hingga hari berubah gelap dan gerimis berjatuhan membuat pria itu makin waspada. Bahkan keringat dingin mulai membasahi pelipis Bima. “Sialan Ruslan!” geram Bima, “Dia pasti melapor ke Dokter itu!” Dia mengintip dari celah tirai, memastikan siapa yang ada di sekitar rumah. Namun, tidak ada orang di luar sana, hanya bayangan samar pepohonan yang bergoyang diterpa angin. “Aku harus pergi,” gumam Bima sembari meraih ransel kecil di sudut ruangan. Isi ransel itu tidak banyak—hanya ada beberapa lembar uang, kartu identitas palsu, dan sebuah pistol kecil yang dia beli dari pasar gelap. Bima mendengar deru mesin mobil dan motor mendekat dan berhenti entah di mana. Dia meraih senjata, memeriksa pelurunya dengan tangan sedikit gemetar. Suara langkah kaki beberapa orang di luar makin mendekat. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” berang Bima dengan mata liar. Bima melirik ke arah j
Saat ini cahaya lampu yang menggantung di langit-langit ruang interogasi memberikan suasana mencekam. Denver menatap tajam pada Bima yang duduk di kursi, kedua tangan pria itu terborgol di belakang. Dua orang petugas pun berdiri mengawasi. Napas Denver terdengar kasar, bukan karena kelelahan, melainkan emosi yang mendidih sejak Bima membuka mulutnya tadi. “Aku tanya sekali lagi,” tegas Denver dengan suara serak dan menggema. “Di mana Dewi?!” Bima mendongak pelan dan sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Mata pria itu penuh dengan tantangan, seakan sedang menikmati setiap detik kekesalan Denver. “Hah, Dewi?” ulang Bima dengan nada mengejek. “Sepertinya aku lupa membuangnya di mana.” “Jangan main-main denganku, Bima!” berang Denver, intonasinya benar-benar meninggi. Tangan Dokter tampan itu mengepal di atas meja logam hingga buku-buku jarinya memutih. Bima terkekeh pelan dan menyahut, “Kalau kamu lebih pintar, Denver, kamu pasti sudah tahu jawabannya. Tapi saya
“Bagaimana tidurmu, Dewi?” tanya Maharani pelan sambil mendekati ranjang tempat Dewi berbaring. Mata sipit Dewi membuka perlahan. Sinar matahari yang menembus tirai jendela klinik dan menerangi ruangan kecil itu memberi efek silau. Dia menarik napas panjang, lalu mencoba tersenyum tipis. “Sedikit … lebih baik. Tapi aku masih pusing.” “Syukurlah, Wi. Kondisimu kemarin benar-benar mengkhawatirkan,” celoteh Maharani sambil menarik kursi dan duduk di samping Dewi. “Dokter bilang tekanan darahmu sudah turun. Sekarang kamu hanya perlu istirahat total.” Dewi memalingkan wajah ke arah jendela, matanya menerawang. Perutnya yang membesar terasa lebih ringan dibandingkan kemarin, tetapi hatinya masih sesak dan perih. “Rani, aku … aku tidak tahu bagaimana cara membalas semua ini. Kamu sudah terlalu banyak bantu aku.” Maharani tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Balas? Dewi, aku tidak pernah minta balasan apa pun darimu. Ingat itu!” ucap Marahari yang diakhiri nada tegas. “Tapi aku
“Carissa!” Suara lantang menggema di dalam kamar besar itu, diikuti pintu yang terbuka tanpa permisi. Carissa yang sedang berdiri di depan meja rias sontak duduk dan tubuhnya menegang dengan wajahnya pucat. “N–Niang? Ada apa ini?” tanyanya dengan nada gemetar sambil berusaha tetap tenang. Wanita tua itu masuk dengan langkah mantap, mata tajamnya mengawasi Carissa yang terlihat gelisah. “Apa yang kamu sembunyikan lagi? Kenapa kamu selalu bertingkah, hah?” geram Niang menggaung keras dan penuh tekanan. Carissa memanfaatkan kemampuannya beralting. Dia tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan kegugupan. “Aku enggak menyembunyikan apa-apa, Niang.” “Jangan bodohi aku!” hardik Niang, suaranya menggelegar, membuat Carissa mundur setengah langkah. “Apa ini berhubungan dengan Chico? Atau hal lain? Berapa banyak lagi rahasia yang kamu kubur?” “Niang, aku … enggak paham apa maksudmu,” elak Carissa dengan suara bergetar. Tangan wanita itu menggenggam pinggiran meja rias dan mulai berk
“Jadi, mediasi akan dilanjutkan minggu depan,” kata mediator dengan penuturan tenang dan tajam, pandangannya bergantian antara Denver dan Carissa yang duduk di ujung meja panjang. Denver bergeming. Rahang pria itu mengeras dan sorot mata cokelat karamelnya lurus ke depan. “Saya tetap pada pendirian. Bercerai dengan Carissa.” Sedangkan Carissa yang duduk di seberangnya mengepalkan tangan di pangkuan, tentu saja tatapan matanya memerah. “Kenapa,hah? Kenapa harus seperti ini? Aku enggak setuju!” Suaranya meninggi dan melengking. “Carissa, hubungan kita sudah selesai. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi,” balas Denver dengan nada dingin serta menatap sekilas, lalu kembali memalingkan wajah. Sudah sangat lelah dia dihadapkan ada akting wanita itu. Mediator menepuk meja kecil di hadapannya. “Baik, kita sudahi sesi ini. Saya harap ada perkembangan sebelum mediasi selanjutnya.” Carissa berdiri dengan tergesa, menabrak kursi hingga berbunyi keras. “Perkembangan? Apa yang haru
“Maharani, aku tidak punya waktu buat basa-basi!” Suara Denver terdengar tegas. Sudah lebih dari 15 menit dia berdiri di depan meja kasir restoran cukup besar itu. Mata cokelat karamelnya tajam mengintimidasi Maharani yang tampak gugup, tangan wanita itu sibuk menhitung uang dan menulis daftar belanjaan yang sama berulang-ulang. Ya, Denver turun tangan secara langsung menemui Maharani. Dia yakin Dewi dan wanita itu memiliki pertemanan yang erat. “Maaf, Dokter Denver, saya sibuk. Saya tidak bisa lama-lama ngobrol,” elak Maharani sambil berpaling dan berinteraksi dengan pegawai. Dia mencoba menghindari tatapan pria di depannya. “Berhenti pura-pura sibuk, Maharani!” geram Denver, “kamu tahu kenapa aku di sini?!” Maharani menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Dokter Denver, saya benar-benar tidak tahu di mana Dewi sekarang. Terakhir kali saya lihat dia, kondisinya memprihatinkan. Kandungannya lemah, dia juga … tidak punya uang.” Denver mengepalkan tangan di sisi
“Dewi, kamu yakin kuat jalan pagi ini?” Suara lembut seorang wanita paruh baya memecah kesunyian. Wanita paruh baya itu membawa baskom berisi cucian, lalu meletakkannya di dekat jemuran bambu di halaman kecil rumah. Dewi yang duduk di tangga kayu hanya tersenyum kecil. Dia bertutur lembut, “Aku harus kuat, Bu Astuti. Kalau tidak, gimana nanti aku bisa melahirkan? Semua butuh uang ‘kan?” Astuti mendekat, lantas menghapus keringat di dahi Dewi dengan ujung selendangnya. “Tapi jangan terlalu dipaksa. Kamu sudah bantu banyak di sini, Wi. Maharani bilang kamu harus banyak istirahat dan jangan stres.” “Kalau cuma bantu-bantu bersihin rumah atau antar obat ke warga, aku masih bisa, kok.” Dewi tersenyum merekah. Dia mencoba meyakinkan dan tangannya yang kurus menggenggam erat tangan keriput Astuti. Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, lalu duduk di sampingnya. “Kamu ini keras kepala sekali,” ucap Astuti sambil memukul pelan bahu Dewi. “Ibu tahu kamu ingin mandiri, tapi jangan sa
Beberapa menit sebelumnya Dewi memasuki rumah tua. Dia mengantar obat-obatan untuk pemilik rumah. Namun, dia tekejut ketika mendapati suara yang tidak asing memenuhi udara. Dia menoleh dan membelalak melihat sosok yang selalu diingatnya berjalan mendekat. Napas Dewi terhenti, dan tanpa sadar tangannya mencengkeram erat kusen pintu. Jantung gadis itu berdegup kencang tidak terkendali. ‘Kenapa dia ada di sini?’ pikirnya dengan panik. Dewi menaruh obat-obatan di atas meja dan berkata, “Bu, maaf. Saya taruh obatnya di atas meja.” “Iya, Nak. Tolong minta dokter di Posko Bantuan supaya cepat datang. Perutku sakit,” rintih seorang wanita dari kamar. Sadar tidak bisa menggunakan jalan depan. Dewi melirik pintu dapur. Sebelumnya dia mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Sosok Denver makin dekat dan kini berdiri di teras depan. Pria itu lebih tinggi dan tegas dari yang terakhir kali dia ingat. Wajah tampannya terlihat lelah, tetapi sorot matanya masih tajam. “Maafkan Mama, Sa
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, sebaikn
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah."Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru.Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak.“Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis.Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa.Di sanalah bencana pertama dimulai.“Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga.“Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.”Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya.Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil.Sesampainya di rumah, Dirga duduk lemas di meja
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.
Suara mesin monitor yang berdetik cepat memenuhi ruang rawat itu, membuat udara terasa berat. Denver berdiri di sisi ranjang, tidak bergerak sedikit pun, bahkan nyaris tidak berkedip. Jemari pria itu menggenggam erat tangan Dewi yang terasa dingin dan lemah."Mon ange ... bertahanlah ...," bisik Denver dengan suara serak. Dia sudah memberikan obat dengan dosis penuh pertimbangan, mengingat istrinya itu memiliki riwayat alergi obat.Sementara perawat sibuk mengecek alat bantu napas dan tekanan darah. Lalu dengan perlahan, jari-jari Dewi bergerak lemah.Denver menahan napas sejenak. "Sayang ...?"Kelopak mata Dewi bergetar, sebelum mengerjap dan terbuka. Pandangan wanita itu masih buram, tetapi dia bisa merasakan sentuhan hangat sang suami di tangannya."Sayang ... aku di sini," bisik Denver lagi, matanya berkaca-kaca menahan rasa haru.Dewi berusaha menggerakkan bibirnya. "A-anak kita ...?"Denver tersenyum kecil, dan jemarinya membelai pipi istri tercintanya dengan sangat lembut. "Mer
"Bagaimana keadaan Dewi, Darius?" tanya Dwyne, langsung meraih tangan rekan putranya itu dengan gemetaran.Sejak diberitahu bahwa kondisi Dewi memburuk dan harus segera dilarikan ke ruang operasi, Dwyne bersama Oma Nayla segera bergegas ke rumah sakit. Termasuk Danis yang saat ini sedang dalam perjalanan menuju ibu kota. Sementara itu, Dirga menunggu di rumah, ditemani pengasuh dan Valerie.Di sisi lain, Darius pun menjadi panik setelah mendengar jadwal operasi Dewi dimajukan satu jam. Pria itu baru saja selesai dengan praktiknya. Karena rasa sayang sebagai sepupu, dia langsung mencari tahu informasi tentang kondisi Dewi.Darius baru saja keluar dari ruang tindakan. Dia melihat langsung bagaimana Dewi terbaring di dalam sana."Darius, kenapa kamu diam saja?" ulang Dwyne cemas. Wanita itu mendengkus kecil dan melirik jam tangannya. "Ini sudah lebih dari satu jam, tapi belum ada informasi tentang Dewi. Dia baik-baik saja, bukan?" desaknya.Darius menghela napas. "Aku tidak punya wewenan