ログインFahmi segera berjalan kembali ke dalam rumah, ditemani Rina. Ia tahu ini adalah momen krusial untuk menjual alasannya.“Tante, maaf mengganggu. Saya tahu ini sangat mendadak,” kata Fahmi, berdiri di hadapan Bu Ratih yang masih bersandar di sofa, “Saya harus segera menyelesaikan babak terakhir buku saya. Saya kebetulan bertemu seorang juru kunci yang menjaga tempat keramat tapak kaki di batu bersejarah di desa sebelah. Dia adalah kunci informasi penting, dan dia hanya bisa bertemu subuh besok. Saya tidak bisa pulang ke Jakarta karena waktu tempuh yang lama, dan di daerah ini, sepertinya tidak ada hotel yang layak.”Bu Ratih menatap Fahmi dengan alis terangkat. “Oh, begitu. Sampai harus bertemu pagi-pagi, ya, Nak?” Ia melirik Rina, seolah meminta penjelasan.Rina maju sedikit. “Iya, Ma. Dia kan penulis, kalau sudah ketemu sumber langka, memang harus dikejar. Dia juga bilang kelelahan, Ma. Tidak mungkin dia tidur di mobil.”“Aku janji tidak akan mengganggu. Aku hanya butuh tempat sunyi u
Mobil hitam Fahmi melaju perlahan keluar dari rumah sakit, membawa Bu Ratih, Mbak Sumi, Rina, dan janji terlarang di dalamnya. Rina duduk di kursi penumpang depan.“Mama nggak pusing, Ma? Pelan-pelan saja, Mi,” pinta Rina, sesekali menoleh ke belakang.“Tidak usah khawatir, Tante Ratih,” sahut Fahmi singkat. Ia fokus pada jalanan. “Saya akan hati-hati.”Bu Ratih tersenyum. “Terima kasih banyak, Nak Fahmi. Maaf sudah merepotkan.”“Saya hanya kebetulan sedang mencari inspirasi di Bogor, Tante,” jawab Fahmi, menggunakan alasan penulisnya dengan nada formal. “Sekalian mampir.”Selama perjalanan, interaksi Fahmi dan Rina terbatas pada kode mata dan sentuhan singkat saat Fahmi harus mengambil arah dari ponsel Rina. Fahmi mencatat setiap detail rute. Ia tahu, area Bogor tempat tinggal Bu Ratih ini jauh dari keramaian kota, yang berarti minim hotel yang memadai.Setelah lama berkendara, mobil itu akhirnya memasuki lingkungan perumahan yang tenang dan agak terpencil. Rumah Bu Ratih ternyata lu
Fahmi tidak bisa merajut alasan. Semua alasan yang sudah tertata di dalam kepalanya mendadak terasa konyol dan tidak penting.“Aku … aku ke mari karena ingin bertemu denganmu, Rin,” jawab Fahmi jujur, mengakui perasaannya tanpa tedeng aling-aling. “Aku tahu kamar Mama kamu sudah kosong, jadi aku menelepon kamu untuk memastikan. Aku panik kamu sudah kembali ke Jakarta.”Rina mendesah. Ia menatap Fahmi dengan tatapan yang mengingatkannya pada janji mereka. “Bukannya kita sudah janji, ya, untuk sementara jangan ketemu dulu? Sampai suasana tenang? Kita nyaris ketahuan Aqila tadi malam, Mi!”“Aku tahu, dan aku minta maaf soal itu,” Fahmi meraih tangan Rina, tetapi Rina menariknya menjauh. “Tapi, Rin, dengerin aku. Aqila sudah pergi. Dia sekarang sudah di jalan menuju Cianjur lalu pasti menyusul ke tempat di mana keluarga besarnya membawa Kekey holiday. Dia akan lama di sana. Ervan juga sudah pulang duluan ke Jakarta. Aku tahu itu.”Rina terkejut. Matanya membola. “Kamu … kamu tahu Ervan su
Fahmi menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang membelah kepadatan lalu lintas pagi kota Bogor. Pikirannya dipenuhi satu nama: Rina. Percakapan Claudia dengan Ervan tadi, yang ia dengar tanpa sengaja, menjadi informasi vital yang mengubah rencananya. Rina sendirian di Bogor. Ini adalah celah kesempatan yang besar.Ia tidak peduli lagi dengan Aqila untuk sesaat. Fokusnya kini adalah mencari Rina, mengajaknya bicara, dan menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada bayangan Ervan yang mengintai.Setibanya di rumah sakit, Fahmi memarkir mobilnya asal-asalan dan langsung bergegas masuk. Ia bergerak cepat menuju area rawat inap VIP. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena takut. Takut Rina sudah pergi.“Kamar VIP Bu Ratih,” ucap Fahmi terengah-engah pada perawat yang ditemuinya di lorong.Perawat itu menunjuk ke salah satu kamar di ujung lorong. Fahmi langsung berlari.Sesampainya di depan pintu kamar tersebut, Fahmi menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pin
“Membantu? Membantu apa? Membuat anak kita lupa siapa orang tuanya yang sebenarnya? Kita yang wajib mendidik dan menemani tumbuh kembang Kekey. Orang tuamu sebagai Nenek Kakek boleh main bareng sama cucunya. Tapi nggak menguasai begini!” Fahmi berjalan mendekat, menatap Aqila dengan mata memerah. “Kamu sudah tahu aku nggak suka dengan campur tangan ini, tapi kamu selalu diam! Kamu selalu membiarkan mereka, seolah-olah kamu nggak percaya aku bisa jadi Ayah yang baik! Aku muak dengan semua ini!”Aqila terdiam. Biasanya, ia akan langsung terpancing dan melawan, berteriak bahwa Fahmi tidak punya hak mengatur ibunya. Namun, entah kenapa, firasat dan kata hatinya malam itu memperingatkannya. Kata-kata Fahmi tadi malam terngiang jelas di benaknya, ‘Sisa satu talak lagi yang aku punya untukmu … Aqila.’Ia tidak boleh mengambil risiko. Ia tidak boleh kehilangan Fahmi sekarang. Apa lagi kata-kata Mina yang memberitahunya kalau ada wanita bersama Fahmi!Aqila memilih mengalah. Ia menarik nafas p
“Kamu sudah sarapan, Rin?” tanya Ervan saat mereka bersiap berangkat ke rumah sakit. Ia memegang tangan Rina sejenak, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.Rina menarik tangannya perlahan. “Sudah tadi di kamar. Ayo, kita cepat ke rumah sakit. Lebih cepat Mama pulang, lebih cepat kita bisa kembali ke Jakarta.”Ervan mengangguk, menyembunyikan kekecewaannya karena Rina menolak sentuhannya.Sesampainya di rumah sakit, semua berkas kepulangan Bu Ratih sudah selesai disiapkan. Bu Ratih sudah duduk di kursi roda, wajahnya terlihat jauh lebih segar. Rina sudah membayangkan ibunya akan beristirahat di rumah mereka di Jakarta, di bawah pengawasan dokter pribadi.“Mama sudah siap ke Jakarta, kan?” tanya Rina, tangannya memegang bahu sang ibu.Bu Ratih tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Mama tidak mau ke Jakarta dulu.”Rina dan Ervan saling pandang, terkejut.“Kenapa, Ma?” tanya Rina.“Mama mau di rumah saja. Di sini, di Bogor. Ada Mbak Sumi yang nemenin Mama. Mama belum kuat ka







