"Jadi pacarku!""Hah?""Atau bayar tiga juta, cash, sekarang!"Bagai disambar petir, jantung Reva berdetak tak terkendali. Bahunya memanas dengan kaki yang sudah mengakar di tempatnya berdiri."Tidak! Aku akan melunasinya!" Masih berusaha bernegosiasi, gadis dengan rambut dikuncir tinggi itu terlihat angkuh. Meski dalam hati kelimpungan sendiri. Bagaimana bisa, ia membayar tiga juta dalam waktu satu detik.Lingga berdiri dari tempatnya duduk, menatap Reva yang masih kuat dengan pendiriannya. Suara ketukan sepatu Lingga, terdengar memantul di seluruh ruang. Hingga seketika mengikis jarak keduanya.Embusan napas lelaki itu, mulai menyapu pori-pori kulit wajah. Jarum detik jam seolah berputar perlahan. Hingga kesadaran Reva berangsur kembali."Ba--ik, aku mau." Suara itu kentara menyembunyikan ketakutan. Bola mata yang sempat menatap Lingga dengan angkuh, seketika terpejam."Sepakat!" Lingga mengulurkan tangan, tersenyum penuh kemenangan.Reva tak menyambut baik, hanya menatap tangan Li
"Sayang, kenapa berdiri di situ?" Lingga sudah berdiri, menyambut kedatangan Reva yang masuk tanpa mengikuti aturan.Sementara gadis yang disambut malah menengok sekeliling, mencari tahu siapa yang dipanggil dengan sebutan sayang.Lingga lekas menutup pintu ruang kerja, menarik Reva ke dalam rengkuhan. Hanya bisa pasrah, ia menatap lengan kokoh itu dengan wajah cemberut."Dia yang aku ceritakan padamu," ucap Lingga bangga. Lelaki dengan jas rapi di depan sana terkejut mendapati Reva, ia hanya tersenyum canggung."Jadi, benar kalian cinta lama bersemi kembali?""Hah?" Dengan tampang bingung, Reva menatap Lingga penuh tanya."Aku tidak pernah bohong, Do," ucap Lingga dengan senyum kemenangan."Kenapa waktu itu, kamu tidak jujur saja, Rev?" Aldo masih tersenyum, meski terlihat ada kekecewaan dari sorot matanya.Reva yang mulai mengerti arah pembicaraan mereka, hanya mengikuti alur permainan Lingga."Dulu aku malu mengakuinya," ucap Reva disertai tawa yang terdengar dibuat-buat.Seingatny
Mendengar penuturan Lingga, Reva membeku di tempatnya berdiri. Sampai lelaki bermata tajam tersebut, harus menjemput di depan pintu.Seketika suasana menjadi hening, hingga gadis di sana bertanya dengan nada angkuh."Dia siapa?" ucapnya saat Lingga meletakkan kopi di atas meja. Lelaki itu dengan sigap menggantikan tugas Reva, memancing emosi gadis dengan dress merah tua."Tidak perlu canggung." Lingga berucap dengan datar. Sementara, ruangan ber-AC tersebut terasa menyesakkan bagi Reva, ia diapit dua sorot mata yang sama-sama memuakan."Jadi, dia ...?!" Isyarat mata gadis yang duduk di hadapan kursi kerja Lingga terlihat sombong, meski begitu, ia terlihat cantik dengan gincu berwarna pink alami.Reva yang merasa tak nyaman di tengah keduanya, teringat pada kopi yang ia buat. Sementara tamu Lingga mulai meraih cangkir di hadapan."Eh, jangan diminum?" Reva berusaha mencegah dengan menahan tangan.Namun, siapa sangka cairan hitam tersebut berpindah membasahi seragam Reva. Gadis dengan s
Sebuah kamar bernuansa abu-abu terpampang saat Lingga membuka pintu, tubuh kecil Reva diseret lantas dijatuhkan dengan kasar hingga rambutnya menutup sebagian wajah."Jangan mendekat!" Sorot mata Reva terlihat menahan amarah, melirik sekitar ia mencoba mencari sesuatu sebagai senjata. Tangannya meraih-raih apa saja yang bisa ditemukan, sayangnya nihil ia tak mendapati apa pun.Sementara ucapannya hanya sebuah angin lalu di telinga Lingga. Lelaki tersebut terus mendekat meski Reva kian menghindar.Hingga akhirnya, Lingga berhasil menindih tubuh kecil Reva dengan kasar, membuka satu persatu kancingnya secara perlahan, memperlihatkan warna dalaman yang dikenakan gadis tersebut.Reva menjerit histeris, berusaha memberontak, tapi tenaganya terlalu lemah. Terlebih satu tangan Lingga menekan kedua tangannya yang di tarik ke atas kepala."Laki-laki sialan!" Merasa terpojok, Reva meludah tepat mengenai wajah Lingga. Mendapat perlakuan demikian, pergerakan lelaki tersebut semakin beringas bagai
Di tempat kerja, seorang gadis tiba-tiba menerobos masuk. Sepasang mata terlihat penuh kilatan emosi menatap wajah datar Lingga."Apa karena gadis kampungan itu!" teriak gadis berambut sebahu dengan wajah cantik meski tanpa riasan."Apa maksudmu?" Lingga masih tetap tenang, menatap layar laptop yang menyala, tak terusik meski wanita di depannya saat ini sudah maju mendekat."Karena dia, kamu mengakhiri hubungan kita?""Jangan membawa orang lain, Tyas! Hubungan kita sudah berakhir ada ataupun tidak ada dia!"Senyum kesal tersungging, hatinya kian tercabik-cabik, serasa dibuang dan dicampakkan dengan kejam. Mendengar penjelasan mantan kekasih yang masih sangat ia cintai, jelas memang ada orang lain di antara keduanya."Tidak! Kamu tidak akan bisa bersama siapa pun!" Tyas menggebrak meja, menatap nyalang ke arah laptop yang masih setia menjadi perhatian Lingga."Aku di sini brengsek!" Tyas meraih benda kotak persegi tersebut, nyaris melayangkan ke lantai.Namun, Lingga berhasil menghentik
"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna."Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah
"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya