Reva pulang ke rumahnya dengan perasaan bingung dan terluka. Dia tidak tahu harus berpikir apa tentang Lingga dan Tyas.Dia merasa bahwa Lingga telah menyembunyikan sesuatu yang penting dari dirinya.Dia melempar tasnya ke sofa dan jatuh terduduk di sana, membiarkan kepala tertunduk di antara kedua lutut. Air mata mulai mengalir dari mata, membasahi wajah yang pucat akibat berita tak terduga.Bagaimana bisa Lingga menyembunyikan sesuatu yang sebegitu penting dari dirinya? Apa Lingga mempermainkannya? Apakah dia masih mencintai Tyas?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Reva, membuatnya merasa semakin bingung dan terluka.Keesokan harinya, Reva masih belum bisa menghilangkan perasaan sedih dan kecewa dari hatinya.Dia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya di toko roti, tapi pikirannya terus kembali ke Lingga dan Tyas.Tiba-tiba, pintu ruang produksi terbuka dan Lingga masuk ke dalam. Dia terlihat serius dan khawatir, membuat Reva merasa bahwa dia pasti datang untuk menjel
Reva dan Lingga memasuki butik mewah yang terletak di pusat kota, bangunan itu dikelilingi jendela besar yang membiaskan cahaya matahari. Interiornya terlihat elegan dengan dekorasi klasik modern.Reva terpikat dengan jajaran baju pengantin yang terpampang nyata. Sentuhan jemarinya merasakan kelembutan kain itu.Lingga mengamati wajah cantik Reva dengan senyum tipis, matanya menyipit terlihat tampan.Seorang pegawai toko, dengan name tag Rina menyambut."Selamat datang Tuan dan Nyonya, ada yang bisa dibantu?" tanya pegawai itu sopan.Pria itu tersenyum dan mengambil tangan Reva. "Kami sedang mencari baju pengantin untuknya," kata Lingga."Kebetulan, kami memiliki koleksi baju pengantin terbaru dari desainer terkenal. Mari saya tunjukkan."Dengan gerakan anggun, Rina memperlihatkan deretan gaun yang dimaksud. Lampu kristal di atas mereka, tergantung memancarkan cahaya lembut, membuat gaun-gaun tersebut berkilau seperti permata."Apakah Anda memiliki preferensi tertentu?" tanya Rina mem
Setelah pertemuan empat mata kemarin, malam ini Reva menjadi semakin pendiam. Ia duduk seorang diri di sebuah kafe yang disinari cahaya lampu, berbentuk lampion kecil di beberapa sudut.Ia termenung menatap spageti dengan saus kesukaannya yang belum tersentuh.Reva sangat mengerti dengan alasan Bu Ratri, beliau hanya ingin melindungi Lingga dari keluarga bermasalah sepertinya.Ia kembali marah pada dirinya. Mengapa tidak dapat melunasi hutang selain dengan cara pernikahan.Dia benar-benar terjebak pada dua sisi."Mengapa aku harus terluka sejauh ini untukmu ayah? Kenapa aku dilahirkan hanya untuk menjadi mesin uangmu?" Air mata Reva meleleh, meski tak ada isakan keluar dari bibir merahnya.Seorang lelaki tiba-tiba duduk di hadapannya, rambut hitam itu tampak berantakan, meski begitu, menambah kesan maskulin."Kenapa di sini?" tanyanya penuh empati. Ia membawa secangkir kopi yang entah ia dapat dari mana."Aldo?" Mata Reva membulat. "Bagaimana kamu tahu aku di sini?"Lelaki yang bernam
Mentari bersinar melalui sela-sela jendela kaca, memancarkan cahaya emas yang menghangatkan kulit.Aroma manis kue dari pemanggang menguar di udara, sementara suara pengaduk adonan terdengar bising, menjelaskan betapa sibuknya ruangan itu."Jangan melamun, Rev." Adisti mengetuk meja kerja Reva. Membuyarkan lamunan gadis berkulit bersih itu.Reva tersenyum lelah, menggosok pundak yang terasa pegal. "Hai, Dis. Aku capek banget. Adonan donat ini bikin aku pegal."Adisti tertawa renyah."Udah, aku bantuin aja. Kamu istirahat dulu," ucap gadis berlesung pipi.Lingga tiba-tiba saja muncul dari balik pintu ruang produksi, tubuh tinggi dengan wajah tegasnya sedikit menggetarkan hati Reva."Reva, aku butuh bicara denganmu." Tatapan itu terlihat mengintimidasi.Wajah Reva seketika berubah, dengan terpaksa ia mengekor pada langkah kaki Lingga. Meninggalkan tatapan penuh tanya pada rekan kerjanya.Gadis berusia dua puluh lima tahun itu melihat punggung kokoh yang tertutup kemeja putih tulang, kedu
Reva mencengkram lengan Lingga kuat, keraguan masih terukir di wajahanya saat Lingga mengarahkan langkah ke rumah mungil itu."Kenapa kamu tidak antusias?" Lingga bertanya, heran.Reva terdiam sejenak, tidak merasakan rindu pada bangunan masa kecilnya.Seorang gadis belia keluar dari rumah, tersenyum ceria. "Kakak, apa kabar?" Ia memeluk Reva hangat.Gadis itu mundur selangkah, melihat dengan rasa ingin tahu. "Pacar Kakak?" Matanya melirik sekilas ke arah Lingga.Lingga menatap sekeliling ruangan, bangunan tua dengan dominasi warna putih dan coklat terlihat terawat dengan baik.Dua cangkir teh hangat disajikan, masih terlihat mengepulkan uap panas. Aroma teh yang harum menguar memenuhi indra penciuman."Silakan diminum, Nak," kata lelaki tua itu dengan senyum hangat."Terima kasih," jawab Lingga, ia meraih cangkir perlahan. Matanya menatap lurus, seolah menelisik jiwa ayah Reva di depannya saat ini."Saya hendak melamar Reva." Lingga menyatakan maksudnya dengan tenang, tangannya melet
Reva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad