Berhutang pada Lingga Bagaskara, teman semasa SMA sekaligus bos di tempat kerjanya adalah musibah bagi Revalina Arestya. Siapa sangka, lelaki tampan yang memiliki sikap angkuh dan tegas itu enggan menerima pembayaran hutang dengan cara apa pun, kecuali menjadikan Reva kekasihnya. Berada di persimpangan jalan, membuat Reva tak punya pilihan selain menerima. Sampai akhirnya, hubungan tersebut membuat keduanya saling terlibat pada permasalahan masing-masing. Bisakah Reva terbebas dari hubungan penuh obsesi, atau malah terjebak perasaannya sendiri?
Lihat lebih banyak"Jadi pacarku!"
"Hah?""Atau bayar tiga juta, cash, sekarang!"Bagai disambar petir, jantung Reva berdetak tak terkendali. Bahunya memanas dengan kaki yang sudah mengakar di tempatnya berdiri."Tidak! Aku akan melunasinya!" Masih berusaha bernegosiasi, gadis dengan rambut dikuncir tinggi itu terlihat angkuh. Meski dalam hati kelimpungan sendiri. Bagaimana bisa, ia membayar tiga juta dalam waktu satu detik.Lingga berdiri dari tempatnya duduk, menatap Reva yang masih kuat dengan pendiriannya. Suara ketukan sepatu Lingga, terdengar memantul di seluruh ruang. Hingga seketika mengikis jarak keduanya.Embusan napas lelaki itu, mulai menyapu pori-pori kulit wajah. Jarum detik jam seolah berputar perlahan. Hingga kesadaran Reva berangsur kembali."Ba--ik, aku mau." Suara itu kentara menyembunyikan ketakutan. Bola mata yang sempat menatap Lingga dengan angkuh, seketika terpejam."Sepakat!" Lingga mengulurkan tangan, tersenyum penuh kemenangan.Reva tak menyambut baik, hanya menatap tangan Lingga dengan wajah penuh kekesalan."Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?"Seketika Reva tersadar, gadis tersebut lekas berlalu dengan bibir mengerucut.Membuka pintu bercat coklat tua yang terbuat dari kayu jati, ia melangkah ke ruang produksi, melewati lorong-lorong yang menyambungkannya ke beberapa bagian.Hingga langkahnya terhenti pada ruangan dengan pintu kaca.Suara bising serta lalu lalang karyawan yang sibuk dengan adonan roti di tangan terpampang.Gadis manis berlesung pipi yang berdiri di ujung ruangan, tersenyum."Gimana?" tanya Adisti. Dia sibuk memasukkan terigu, menepuk tangannya di atas apron hitam yang dipakai setelah seragam kerja."Tidak diterima lagi," jawab Reva malas. Kedua sahabat itu terlibat saling pandang, kemudian kembali sibuk setelah mendengar dehaman Bu Rahma.Jam kerja usai tepat pukul setengah delapan malam, para pekerja sibuk mengemasi bagian masing-masing, membereskan tumpahan terigu dan mencuci perkakas yang tadi digunakan."Reva, dipanggil Pak Lingga!" teriak salah satu karyawan di bagian kasir. Seketika itu, Reva menghela napas kesal."Aku tidak bisa hidup tenang rasanya," keluhnya pada Adisti."Udah, bagianmu aku beresin. Kamu cepetan temuin Pak Lingga.""Terima kasih ya, Dis." Reva mencubit pipi sahabatnya itu dengan gemas. Rasanya enggan, setelah melihat jam dinding yang menunjuk di angka setengah delapan malam.Meski sudah berlatih untuk bersikap tenang, tetap saja Reva tidak bisa. Mengingat kejadian terakhir saat Lingga hampir menyentuh bibir. Gadis itu lekas menggelengkan kepala, mengusir pikiran kotor yang tiba-tiba terlintas.Baru saja ia hendak mengetuk pintu, wajah Lingga sudah terpampang nyata. Menatap dengan ekspresi datar."Bapak manggil saya?" Reva berusaha tetap terlihat baik-baik saja di tengah hatinya yang mulai waspada."Kamu lupa status baru kita?" Tatapan itu terasa dingin."Hah?" Masih berusaha memahami maksud Lingga, gadis itu menggaruk rambutnya yang lepek. Seharian tadi, ia menggunakan penutup kepala selama proses produksi."Jangan menatapku seperti itu," ucap Lingga kesal."Sepertinya, kamu pura-pura lupa. Aku akan mengingatkannya untukmu."Menggigit bibir, Reva akhirnya berucap."Apa yang kamu mau?""Masuk ke ruanganku," ucap Lingga. Lelaki itu membuka pintu sedikit lebih lebar, agar Reva lebih leluasa masuk.Ruangan bersuhu dingin itu tak mampu membuat Reva tenang, perasaannya terus ingin mengelak.Namun, ia tak memiliki kekuatan apa-apa selain mengikuti.Mengekori Lingga, Reva tetap berdiri mematung di dekat kursi tamu. Sementara Lingga sudah duduk manis di atas sofa."Kamu lebih suka berdiri?" Satu alisnya terangkat, mengisyaratkan pegawainya untuk duduk."Ini sudah jam pulang, aku tidak punya banyak waktu." Lebih tepatnya, Reva enggan berlama-lama di dekat lelaki itu."Sepertinya, kamu lebih sibuk dari pada aku." Tatapan Lingga seakan menghunus jantung, hanya sedikit gerakan dan lelaki itu kembali mengikis jarak.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Lingga, lelaki tersebut berdecak kesal. Sementara Reva dengan sadar mengeluarkan umpatan."Sialan! Kamu pikir aku wanita seperti apa?"Lingga terkekeh, matanya terpejam merasakan rasa asin yang berasal dari sudut bibir."Kamu kira, kesepakatan kita sudah selesai?" Lingga mengusap bekas tamparan yang terasa perih."Sebagai hukumannya, kamu pulang bersamaku malam ini!" Lingga beranjak, menggenggam tangan Reva dengan kuat. Sementara Reva, berusaha memberontak sekuat tenaga."Lepas! Aku tidak mau! Dasar otak mesum!""Apa kamu bilang?" Meski sudah merasa kesal tak terkira, nada suara Lingga masih dalam taraf tenang."Otak mesum!"Lingga menatap Reva dengan wajah sinis, kembali mendekat seolah memancing gadis itu untuk memukulnya lagi.Benar saja, tangan Reva sudah kembali hendak melayangkan tamparan pada Lingga. Sayang, lelaki itu lebih sigap menahan, mencengkeram pergelangan tangan Reva dan mendekatkan wajahnya pada gadis tersebut.Mata tajam bak pedang itu menatap lekat, sekujur tubuh Reva tiba-tiba mematung tak bisa bergerak. Satu kecupan bibir mendarat dengan lembut."Satu tingkah bar-bar, satu kecupan," ucap Lingga tanpa dosa. Bagai tersihir, Reva hanya bisa mematung. Benar-benar syok dengan apa yang barusan terjadi."Sial ...." Ucapan itu terhenti, saat wajah Lingga kembali mendekat."Maaf, apa yang mau kamu bicarakan?" Reva menghela napas, mengatur irama jantung yang luar biasa kencang."Karena statusmu sudah berganti menjadi kekasihku, kamu tahu apa yang harus dilakukan?"Merasa terlalu membuang waktu, Reva menggeleng."Langsung pada intinya," jawabnya singkat."Setiap pagi, buatkan aku kopi dan ....""Ada Mbak Wati," sela gadis berseragam merah bata itu."Jangan membantah!" Lingga mulai terpancing emosi. Seketika membuat Reva terdiam kembali."Buatkan aku sarapan, apa saja asal dari tanganmu. Besok ada tamu, bersikaplah selayaknya orang berpacaran pada umumnya. Kamu mengerti?"Reva hanya mengangguk, meski hatinya mulai gundah dengan aturan yang diajukan Lingga."Sekarang silakan pulang."Percakapan itu terhenti, setelah Reva menyetujui apa yang diperintahkan oleh Lingga.***"Reva, dipanggil Pak Lingga," ucap Adisti salah satu teman dekat Reva di ruang produksi. Reva yang sedang sibuk hendak membuat adonan roti, dengan terpaksa menyuruh Tama menggantikan pekerjaannya.Menghela napas, gadis itu berusaha menetralkan detak jantung yang kian tak terkendali."Mau bertemu pacar, kok seperti mau berperang?" gumamnya tak tenang. Berjalan menyusuri lorong panjang, membuat Reva menyapa saat berpapasan dengan beberapa karyawan lain.Hingga tiba-tiba, bayangan Lingga yang dengan tidak sopan mencuri ciuman pertamanya berkelebat.Rasa ingin mengumpat, tapi pintu ruangan kerja Lingga sudah terpampang di depan sana.Tangan itu gemetar karena menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul, sengaja pagi ini ia tak menepati janji yang sudah disepakati semalam.Sengaja menyepelekan, membuat Lingga kesal dan melepasnya begitu saja. Meskipun hanya sekedar harapan tanpa kepastian."Bapak panggil saya?" Reva memang lupa dengan ucapan Lingga, tentang tamu yang akan datang, masih bersikap formal layaknya atasan dan bawahan.Lingga terlihat berbicara dengan seseorang sebelum akhirnya beralih menatap ke arahnya."Reva?" Lelaki yang semula duduk membelakanginya segera berdiri, sepasang mata itu sama terkejutnya dengan Reva yang mematung di ambang pintu.Setelah pertemuan empat mata kemarin, malam ini Reva menjadi semakin pendiam. Ia duduk seorang diri di sebuah kafe yang disinari cahaya lampu, berbentuk lampion kecil di beberapa sudut.Ia termenung menatap spageti dengan saus kesukaannya yang belum tersentuh.Reva sangat mengerti dengan alasan Bu Ratri, beliau hanya ingin melindungi Lingga dari keluarga bermasalah sepertinya.Ia kembali marah pada dirinya. Mengapa tidak dapat melunasi hutang selain dengan cara pernikahan.Dia benar-benar terjebak pada dua sisi."Mengapa aku harus terluka sejauh ini untukmu ayah? Kenapa aku dilahirkan hanya untuk menjadi mesin uangmu?" Air mata Reva meleleh, meski tak ada isakan keluar dari bibir merahnya.Seorang lelaki tiba-tiba duduk di hadapannya, rambut hitam itu tampak berantakan, meski begitu, menambah kesan maskulin."Kenapa di sini?" tanyanya penuh empati. Ia membawa secangkir kopi yang entah ia dapat dari mana."Aldo?" Mata Reva membulat. "Bagaimana kamu tahu aku di sini?"Lelaki yang bernam
Mentari bersinar melalui sela-sela jendela kaca, memancarkan cahaya emas yang menghangatkan kulit.Aroma manis kue dari pemanggang menguar di udara, sementara suara pengaduk adonan terdengar bising, menjelaskan betapa sibuknya ruangan itu."Jangan melamun, Rev." Adisti mengetuk meja kerja Reva. Membuyarkan lamunan gadis berkulit bersih itu.Reva tersenyum lelah, menggosok pundak yang terasa pegal. "Hai, Dis. Aku capek banget. Adonan donat ini bikin aku pegal."Adisti tertawa renyah."Udah, aku bantuin aja. Kamu istirahat dulu," ucap gadis berlesung pipi.Lingga tiba-tiba saja muncul dari balik pintu ruang produksi, tubuh tinggi dengan wajah tegasnya sedikit menggetarkan hati Reva."Reva, aku butuh bicara denganmu." Tatapan itu terlihat mengintimidasi.Wajah Reva seketika berubah, dengan terpaksa ia mengekor pada langkah kaki Lingga. Meninggalkan tatapan penuh tanya pada rekan kerjanya.Gadis berusia dua puluh lima tahun itu melihat punggung kokoh yang tertutup kemeja putih tulang, kedu
Reva mencengkram lengan Lingga kuat, keraguan masih terukir di wajahanya saat Lingga mengarahkan langkah ke rumah mungil itu."Kenapa kamu tidak antusias?" Lingga bertanya, heran.Reva terdiam sejenak, tidak merasakan rindu pada bangunan masa kecilnya.Seorang gadis belia keluar dari rumah, tersenyum ceria. "Kakak, apa kabar?" Ia memeluk Reva hangat.Gadis itu mundur selangkah, melihat dengan rasa ingin tahu. "Pacar Kakak?" Matanya melirik sekilas ke arah Lingga.Lingga menatap sekeliling ruangan, bangunan tua dengan dominasi warna putih dan coklat terlihat terawat dengan baik.Dua cangkir teh hangat disajikan, masih terlihat mengepulkan uap panas. Aroma teh yang harum menguar memenuhi indra penciuman."Silakan diminum, Nak," kata lelaki tua itu dengan senyum hangat."Terima kasih," jawab Lingga, ia meraih cangkir perlahan. Matanya menatap lurus, seolah menelisik jiwa ayah Reva di depannya saat ini."Saya hendak melamar Reva." Lingga menyatakan maksudnya dengan tenang, tangannya melet
Reva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad
"Aldo, aku peringatkan padamu. Jangan dekati kekasihku."Reva menatap tajam ke arah Lingga. Betapa pintarnya lelaki tersebut berkata-kata. Seolah begitu memujanya, tapi sedetik kemudian menyia-nyiakan.Tanpa sepatah kata mutiara yang ditujukan pada Reva, Lingga mengalihkan pandangan ke arahnya."Turun!" Suara Lingga naik beberapa oktaf. Hingga Reva mulai terhipnotis untuk mengikuti, wajah Lingga memang biasa seram, tapi kali ini rasanya lebih seram beberapa kali lipat.Reva tak menjawab, langkahnya perlahan mendekat hingga sesuatu seperti menahan langkah. Aldo menahan pergelangan tangannya, Lingga bersedekap mengeraskan rahang seolah sedang menahan rasa ingin memukul Aldo."Aku masih berusaha sabar," ujar Lingga yang diiringi dengan tarikan kuat pada lengan Reva.Kini posisi Reva berada di antara Lingga dan Aldo, tatapan tajam yang saling menghunus melewati Reva."Hentikan!" Reva mengentakkan tangannya, entah mimpi apa ia jadi diperebutkan seperti ini."Aldo, aku minta maaf," ucap Rev
Reva mengusap-usap buku yang sudah usang, ingatannya tertarik ke puluhan tahun yang lalu. Saat ia masih duduk dibangku sekolah dasar, buku resep yang menjadi bonus majalah langganan tetangganya selalu dibersihkan saat hendak mendekati lebaran. Ia menjadi salah satu pesuruh yang diberi upah.Namun, sesuatu terjatuh saat ia mengusap-usap debu yang menempel di antara lembarannya.Sebuah foto usang yang memperlihatkah wajah anak lelaki dengan seorang gadis kecil di sebelahnya.Tiba-tiba saja, jantungnya berdetak tak karuan, ia mengingat lelaki seusianya duduk di akar pohon besar di antara jajaran pohon, memegang sebuah buku di tangan. Lelaki tersebut sempat bertemu pandang dengannya saat ia hendak masuk ke rumah sang Nenek."Mengapa, ada foto anak lelaki itu?" Terlihat tampan meski tak menampilkan senyuman. Reva kembali memasukkan foto yang ditemukan secara asal.Ia lekas keluar sebelum ada yang iseng, mengunci pintunya dari luar.***Sebuah buku diletakkan di atas meja dengan asal, Reva
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen