Dengan gerakan yang kasar, Alexander mencoba melepaskan pakaian Sarah, memperlihatkan hasratnya yang ganas dan tidak terkendali. Sarah, terdampar di bawah kekuasaannya yang tak terbendung, merasakan ketakutan dan keputusasaan melanda dirinya.
"Sayang kau merawatnya dengan bagus, tapi kenapa ukuran berbeda dari pertama kali aku melihatnya." ucap Alexander terpesona melihat benda yang menonjol didepannya.
"Aku tidak bisa... aku tidak bisa melawan..." batin Sarah dengan penuh kesedihan.
Dengan hati yang berat, Sarah merasa terhimpit oleh kekuatan Alexander yang melampaui batas-batas keinginannya. Dia merasa dirinya tidak memiliki kendali atas nasibnya sendiri, terjebak dalam genggaman hasrat yang ganas dan tidak terkendali dari pria itu.
***
Keesokan paginya, Alexander terbangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa pusing dan berat. Dalam keadaan setengah sadar, ia menggeliat dan membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut saat menyadari bahwa wanita yang tidur di sampingnya bukanlah kekasihnya, melainkan seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.
"Apa yang terjadi semalam?" Ucap Alexander seraya memegang kepalanya yang terasa pusing.Dia meraba-raba ingatannya yang buram, mencoba menyusun kembali potongan-potongan memori yang samar-samar. Namun, semakin banyak dia mencoba, semakin jelas terasa bahwa dia telah terlibat dalam sesuatu yang salah dan memalukan."Siapa... siapa wanita ini, kenapa? Kenapa bisa berada di kamarku?"batin Alexander.Dia menatap wanita yang masih tertidur dengan tatapan campuran antara kebingungan dan penyesalan yang mendalam. Ia meraih ponselnya melihat pesan singkat yang dikirim kan oleh Daniel asistennya bahwa kamarnya berada di nomer 305.Dengan gemetar, Alexander menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terbuka, seraya mencoba memahami situasi yang kacau di sekelilingnya. Saat ia memperhatikan lebih dekat, ia melihat bahwa baik dirinya maupun wanita itu telanjang, dan noda darah mengejutkan tersebar di sekitar tempat tidur mereka.Alexander merasa seperti sebuah palu besar telah menghantamnya, dan rasa panik merayapi dirinya saat kesadaran akan apa yang telah dilakukannya mulai meresap. Terisak, dia menyadari bahwa dia telah melakukan hubungan intim dengan wanita itu, dan kenyataan bahwa wanita itu masih perawan membuatnya merasa terguncang secara emosional."Oh Tuhan, aku... apa yang telah aku lakukan?" Ucap Alexander.Dia merasa seperti dunianya runtuh di sekelilingnya, dan rasa bersalah yang mendalam melanda dirinya. Bagaimana dia bisa melakukan sesuatu yang begitu keji dan merusak pada wanita yang sama sekali tidak bersalah?Dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikirannya, Alexander segera mengenakan pakaiannya dengan cemas. Hatinya terasa berat saat ia melihat wanita itu masih tertidur, tidak menyadari segala yang telah terjadi.Alexander mengambil selembar cek kosong yang sudah ditandatangani olehnya sebelumnya, lalu menuliskan sebuah pesan singkat pada selembar kertas kecil."Mungkin ini satu-satunya cara untuk mengatasi kesalahan yang telah kubuat." ucap Alexander.Alexander bergegas pergi meninggalkan wanita yang ia tiduri tertidur pulas di tempat tidur.Di lobi hotel, Alexander keluar dari lift dengan langkah yang berat, terhimpit oleh rasa bersalah yang membayangi pikirannya. Dia melihat hampir asisten nya Daniel yang sudah menunggu dengan raut wajah cemas."Tuan muda semalam anda dimana?, bukan kah harus nya anda berada di kamar anda ?." Tanya Daniel panik."Umm,, siap kan mobil kepala ku pusing, aku ingin pulang. " Perintah Alexander menutupi apa yang terjadi.Daniel mengangguk iya, ia segera pergi dan menyiapkan mobilnya. Deniel melihat raut wajah tuan nya seperti terjadi sesuatu yang Daniel sendiri tak tahu apa itu, Daniel tidak ingin bertanya lebih jauh karena pasti nya tuan nya sendiri yang akan memberitahu jika terjadi sesuatu kepada tuan nya."Maaf, Tuan muda, apakah ada sesuatu yang menganggu pikiran anda?" Tanya Daniel yang sejak tadi memperhatikan keadaan tuan nya."Tidak ada, semalam kau di mana?."Daniel meminta maaf kepada Alexander karena semalam ia harus pergi ke toilet saat kembali ke acara pesta ia tidak melihat tuan nya lagi, bahkan Daniel memeriksa kamar yang telah ia pesan untuk tuannya namun tuan nya tak ada disana."Umm, apa yang harus kulakukan? Siapa wanita tersebut." Batin Alexander yang terus menerus memikirkan kejadian semalam."Tuan muda, maaf jika aku lancang apakah anda semalam telah memesan kamar lain?" Tanya Daniel yang benar-benar penasaran apa yang sedang dipikirkan tuan nya tersebut.Alexander hanya terdiam, ia mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Alexander tidak ingin jika asisten pribadinya Daniel mengetahui apa yang terjadi semalam.Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te