"Kalian boleh bubar sekarang!" lanjut wanita itu lagi dengan tatapan tajam mematikan.
Aku dan Ibu hanya saling pandang, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah siapa dia, kami tidak tahu, bahkan ini kali pertama kami bertemu. Namun, benarkah dia ingin melunasi utang yang jumlahnya banyak itu? Jika melihat dari penampilan, memang berkelas dan pasti bergelimang harta. Satu hal yang aku khawatirkan adalah tujuan wanita itu ingin membantu. Bukankah di dunia ini sifatnya adalah memberi dan menerima? Tentu ada maksud lain di balik semua kebaikannya, terutama karena masih asing. Setelah tukang gosip tadi pergi, wanita itu meminta izin untuk bicara di dalam rumah. Ibu mengangguk, kami pun melangkah masuk. Di ruang tamu yang tidak begitu luas semakin menambah sesak di dada karena seribu tanya berusaha menemukan jawabnya. Dia ... cantik. "Maaf, Bu, Sonia. Aku datang tiba-tiba begini," kata perempuan itu dengan senyum manisnya, tidak seperti tadi, "namaku Jesica. Aku sebenarnya sudah sepekan ini memantau kalian dan tahu kalau ...." "Iya, Bu. Kami punya utang seperti yang Bu Jesica ketahui." Aku melanjutkan kalimat yang seolah-olah sengaja digantung itu. "Tidak usah manggil begitu, panggil Kak Jes aja. Umur aku masih 42 tahun, kok." "Kalau boleh tahu, kenapa Nak Jes memantau kami? Ada yang bisa kami bantu?" Akhirnya, Ibu melontarkan pertanyaan itu. Kak Jes mengangguk, tetapi senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya seketika memudar dan digantikan oleh tatapan sendu. Entahlah, tetapi aku merasa bahwa binar luka terpancar dari sana. Adakah dia menyimpan kesedihan, padahal hidup serba cukup? Tas yang dia bawa saja mungkin berkisar puluhan juta, lantas apa yang menjadi ujiannya? "Kamu punya pacar, Sonia?" Pertanyaan itu hampir saja berhasil membuatku meledakkan tawa. Jangankan pacar, teman saja tidak punya. Siapa yang mau dekat denganku yang miskin dan tidak punya pekerjaan ini? Sambil berusaha menjaga raut wajah, aku pun menjawab, "Tidak, Kak. Aku belum pernah pacaran." "Kamu itu cantik, seperti terawat." Dia memuji. "Kedatanganku ke sini adalah untuk meminta tolong sama kamu, Sonia. Mungkin langsung saja aku jelasin karena aku gak punya banyak waktu. Aku sudah menikah selama lima tahun lebih, tetapi belum pernah dikaruniai anak, sementara suamiku dituntut untuk memiliki anak laki-laki jika ingin mendapat warisan. Jika tahun depan tidak juga ada keturunan, maka kami pasti dibuang dari keluarga." "Maksud Nak Jes apa, ya? Ibu belum mengerti." Ibu menyela. Sama, aku pun masih sulit menangkap maksud dari wanita itu. Kak Jes akhirnya menjelaskan bahwa dia sudah melakukan program hamil berulang kali hingga pemeriksaan kandungan, tetapi belum juga dikaruniai seorang anak. Dulu, dia adalah gadis biasa yang menikah dengan kekasihnya—anak orang kaya. Sejak awal hubungan mereka tidak mendapat restu hingga pada akhirnya dituntut untuk melahirkan seorang putra. Dia memiliki adik ipar perempuan yang akan menikah tahun depan, apabila melahirkan anak lelaki, maka perusahaan akan jatuh padanya. Rupanya, Kak Jes tidak bisa menerima karena khawatir suaminya banyak pikiran. Oleh karena itu, dia berusaha untuk menemukan jalan keluar dan katanya pernah tidak sengaja melihat tulisan yang ada di depan rumah. Setelah ditelusuri, Kak Jes pun berinisiatif untuk melibatkan aku dalam masalahnya. Namun, menjadi rahim pengganti? "Iya, kamu hanya harus melahirkan anak dari suamiku, Sonia. Aku janji akan melunasi utangmu hari ini juga serta memberi jaminan untuk masa depanmu. Jadi, kamu nggak usah lagi nyari kerjaan yang hasilnya bisa dibilang nggak seberapa." Aku menatap Ibu yang mengerutkan kening. Tentu saja beliau tidak setuju. Lagi pula, aku menolak untuk mengandung tanpa ikatan pernikahan. Mau ditaruh di mana muka ini nanti? Tentu Ibu pun akan merasa malu melihat anaknya melahirkan meskipun tahu benih itu berasal dari mana. Ah, kacau. "Tolong kami, Sonia. Banyak perempuan di luar sana, tetapi aku tidak bisa percaya gitu aja. Aku khawatir dia justru menjadi duri dalam rumah tangga kami. Aku dengar dari salah satu tetanggamu kalau kamu itu gadis baik-baik. Jadi, aku harap kamu bisa bantu aku." Kak Jes mengatup kedua tangan di depan dada, kedua matanya makin menyiratkan kesedihan. Dia pasti takut dibuang dari keluarga karena tahu betapa sulitnya menemukan pekerjaan. Setelah lama hidup dalam gelimang harta, tentu akan merasa hancur apabila seharian tidak memegang uang. Aku tidak tahu banyak karena kami pun baru bertemu. Entah bagaimana perangai suami dan keluarganya. "Rahim pengganti itu tidak dibenarkan. Ibu tidak bisa mengizinkan Sonia melakukannya. Apa Nak Jes tidak punya keluarga lain?" "Aku ini dulunya yatim piatu, Bu. Untuk itu hubungan kami ditentang keluarga suami." Kak Jes menunduk dalam, sekilas. Sekarang dia kembali membalas tatapan Ibu. "Kalau misal Sonia tidak diizinkan menyewakan rahim, gimana kalau dia menikah sama suami aku, Bu?" "Menikah? Jadi istri kedua?" Aku terkejut bukan main. Sungguh, aku tidak pernah berharap menikah dengan lelaki yang sudah memiliki pasangan. Bukankah lebih baik sendiri seumur hidup daripada menjadi orang ketiga? "Jangan khawatir, Sonia. Ini keinginanku dan semoga Mas Al setuju." "Tapi aku nggak mungkin nikah sama orang yang nggak aku cintai, Kak." "Itu bukan masalah, Sonia. Asal kamu mau bantu aku, melahirkan anak untuk kami, nggak harus cinta. Ibarat cukup melakukan tugasmu aja, aku pastikan kamu bahagia dan hidup tenang. Suatu hari nanti, Mas Al bisa menceraikan kamu agar kamu menikah dengan lelaki yang—" "Tidak, Kak. Aku nggak mau. Ini terlalu berat." Suasana tiba-tiba hening. Ketika Kak Jes meminta saran dari Ibu, beliau hanya diam. Mungkin merasa dilema. Di satu sisi, kami punya utang yang harus segera dilunasi, di sisi lain pun sulit mengikhlaskan anaknya terpaksa menikah dengan lelaki asing, bahkan kami belum tahu rupa dan wataknya. Aku sendiri lebih ingin dianggap babu daripada harus disebut sebagai perempuan kedua. Menikah dengan lelaki yang disebut Mas Al oleh istrinya tentu menjadi buah bibir bagi para tetangga. Bukan hanya sebulan, mungkin seumur hidup akan selalu diungkit. Entahlah, semua menjadi terasa berat ketika teringat pada adik yang ingin berdiri di pintu kesuksesan. "Kalau kamu setuju, semua akan aku urus, Sonia. Aku juga akan mengenalkanmu pada Mas Al. Bukan hanya demi aku, tapi ibu dan adikmu juga, Sonia. Keputusan ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan bagaimana nasibmu ke depannya." Kak Jes kembali mencoba merayuku. "Bu ...?" Aku menatap dalam pada Ibu, berusaha meminta jawaban. "Ibu menolak kalau menjadi rahim pengganti, tapi kalau kalian menikah, Ibu setuju dengan catatan kamu mau. Ibu tidak akan memaksa, pun tidak akan melarangmu, Nak. Keputusan ada di tanganmu dan semoga tidak ada penyesalan."Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te