Setelah diberi waktu berpikir selama sepekan, aku terpaksa setuju. Bukan tanpa alasan, tetapi kemarin salah satu pegawai bank lewat di depan rumah dan tidak sengaja bertemu dengan Ibu. Kami kembali diberi peringatan, memalukan karena ditonton banyak tetangga. Apakah di dunia ini tidak ada rasa kasihan sedikit pun?
Selain itu, orang-orang tempat Ibu mengutang pun datang dengan dalih tersebar sebuah kabar bahwa aku akan menikah dengan orang kaya. Entah siapa yang menjadi dalang di balik semuanya. Sungguh, aku berharap ada portal yang membawaku menuju dunia lain di mana orang-orang begitu baik tanpa saling menjatuhkan.
"Nak Jes sudah di depan."
Aku menghela napas berat, menatap sekilas pada wanita paruh baya itu. Keriput menghiasi wajahnya yang lesu dan sedikit pucat. Jika bukan karena ingin meringankan beban Ibu, maka aku pasti menolak bertemu dengan siapa pun. Di satu sisi, terbesit keinginan mengakhiri hidup dengan harapan mereka mengikhlaskan utang itu karena kasihan, di sisi lain, takut menghadapi kematian.
Air mata berbaris di pipi, terasa hangat. Perlahan, tangan ini menyeka sebelum mengulas senyum dan melangkah panjang menuju ruang tamu. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan dikenalkan pada lelaki bernama Mas Al itu meskipun belum tahu dia akan setuju untuk menikah lagi atau tidak.
Bagaimana jika iya? Bukankah lelaki, terutama ketika merasa mapan, sangat mudah terpikat pada wanita lain? Mereka belum memiliki anak, tidak menutup kemungkinan itu alasan dari suaminya saja agar bisa menikahi seseorang dari masa lalu. Ah, bukankah pikiran ini melayang terlalu jauh? Bahkan kami belum mengenal satu sama lain dan aku sudah sibuk dengan banyak prasangka.
"Kita berangkat sekarang? Kebetulan Mas Al ada di rumah dan tadi aku beralasan ada urusan sebentar. Dia pasti lagi nunggu." Kak Jes menjelaskan.
"Tapi aku takut, Kak."
"Takut kenapa?" tanya Kak Jes meledakkan tawa, "Mas Al gak pernah makan orang. Pokoknya kamu santai aja, ya."
Sekali lagi, aku menatap Ibu yang tersenyum tipis. Ada kesedihan terpancar di kedua matanya, tetapi seolah-olah menyerah kepada takdir. Satu jam yang lalu, aku mengintip ke kamar Ibu dan melihatnya menangis di atas sajadah lusuh, memohon agar Tuhan memberi kami jalan keluar dari setiap masalah yang ada. Untuk itu, aku berusaha menguatkan diri sendiri dan mencoba yakin bahwa setelah hujan, ada pelangi.
Dua jam telah berlalu, sekarang aku duduk di ruang tamu yang begitu luas dengan beberapa hiasan sederhana, tetapi terlihat mewah dan elegan. Pada dinding sebelah kanan ada dua bingkai foto—sepasang suami istri—terlihat bahagia dengan senyum alami.
"Mas, kamu mau bahagiain aku, kan?" Suara Kak Jes memecah lamunan. Tidak lama setelah itu, dia keluar sambil menggandeng tangan suaminya.
Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, kulit putih, rahang tegas, dan memiliki tatapan tajam. Aku diam-diam menggigit bibir karena merasa gugup. Bagaimana jika menikah nanti, dia melakukan kekerasan padaku?
"Bahagiain kamu nggak harus nikah lagi. Aku udah bahagia kayak gini meskipun tanpa anak. Lagi pula bisa aja aku yang bermasalah." Lelaki itu menolak tegas.
"Mas, kamu gak bermasalah, makanya aku berusaha. Sekarang kamu kenalan dulu sama Sonia, baru bisa kamu putusin," balas Kak Jes lagi, "itu kalau kamu beneran cinta sama aku!"
"Cinta? Kamu meragukan cinta aku, Sayang?"
"Iya, aku mau kita punya anak. Kamu nggak mungkin lupa sama aturan yang dibuat keluarga kamu, kan? Emang mau kita berakhir di kontrakan sepetak? Nggak sayang sama aku? Janjimu mau buat aku bahagia selamanya, Mas." Kali ini intonasi suaranya menurun, aku bisa melihat dia menundukkan kepala dalam seolah-olah menyembunyikan kesedihan. Ah, rasanya tidak nyaman berada di sini dan menjadi sebab mereka beradu mulut.
"Tapi aku nggak mungkin menduakanmu. Wanita mana yang mau berbagi cinta, Sayang? Aku tahu semua berat kamu lalui. Kamu terpaksa mencari perempuan untuk aku, kan?"
Kak Jes kembali menatap suaminya, kemudian menarik tangan kekar itu dan menuntunnya menuju kursi di mana aku berada. Jantung berdegup tidak normal, berbagai prasangka bersarang dalam jiwa. Sungguh, diri ini takut apabila mendapat bentakan dan hinaan dari seseorang.
Lelaki itu memalingkan wajah ketika aku menyapa dengan sopan. Angkuh sekali seolah-olah aku memang tidak layak dipandang. Rahangnya mengetat sempurna, marah? Namun, Kak Jes mengusap punggung tangan lelaki itu seraya menampilkan gigi yang berderet rapi.
"Kamu cinta sama aku, kamu sayang sama aku. Jadi, kamu harus mau nerima kehadiran Sonia. Dia perempuan baik-baik dan nggak mungkin merebut kamu dariku."
"Sonia mungkin perempuan baik-baik, tetapi aku nggak bisa nerima dia apa pun alasannya. Aku cuma mau menikah sama kamu dan itu janji sejak kita masih pacaran. Aku gak mungkin—"
"Dengar, Mas!" Kak Jes memotong pembicaraan suaminya. "Aku selalu ingat janji itu, tapi aku melakukan ini demi kebaikan kita bersama. Kita saling menguntungkan dan Sonia pun sebenarnya berat. Dia harus bayar utang bank yang ditinggal ... nanti aku ceritain. Intinya, kamu harus mau nikah sama dia biar kita segera punya anak."
"Tidak!"
"Mas, kamu itu beneran sayang sama aku nggak, sih?"
"Kak Jes, maaf kalau kehadiranku merusak kebah—"
"Aku yang membawamu ke sini!" bantah Kak Jes dengan tegas. Aku hanya bisa mengangguk samar karena tidak lagi berani membuka suara. Biarlah, aku mengikuti alur yang mereka inginkan saja.
Beberapa saat hening, Kak Jes kembali membujuk suaminya. Dia mengatakan bahwa Mas Al bisa menjatuhkan talak begitu anak dilahirkan. Jujur, hati merasakan perih luar biasa. Bagaimana aku bisa berakhir seperti ini, Tuhan? Menikah hanya untuk melahirkan anak, kemudian menjadi seorang janda.
Di masa yang akan datang, adakah yang bisa menerima keadaanku? Mungkin sebagian bear mengira aku adalah perusak rumah tangga lalu dicerai karena istri sah masih sangat dicintai. Berat, tetapi saat mencoba mencari jalan lain, buntu.
"Kalau Mas mau, minggu depan kalian bisa menikah. Sederhana saja acaranya," kata Kak Jes lagi.
Minggu depan? Oh, Tuhan, kenapa cepat sekali? Andai saja dibolehkan, aku ingin menjadi babu seumur hidup saja di sini asal bisa mendapat uang untuk melunasi utang bank. Namun, Kak Jes tentu menolak karena kami harus saling membantu.
"Apa harus menikah lagi? Kamu telat haid, kan? Bisa aja lagi hamil. Besok pagi test pack. Aku khawatir nikah, tahu-tahu kamu udah mengandung aja."
"Mas, aku haid sekarang, pagi tadi keluarnya. Jadi, nggak mungkin malah hamil." Kak Jes mengecup pipi lelaki itu singkat. "Sekarang kenalan sama Sonia. Dia baik, kok, Mas."
Lelaki itu menghela napas berat lalu beralih menatapku dan bertanya, "Kamu tidak punya rencana untuk menyukai saya, kan?"
Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te