Share

Berburu Petunjuk

Aidan menepikan mobil di depan sebuah toko senjata dengan desain bagian depan yang terlihat unik. Kaca dan pintu dikelilingi frame ukiran suku kuno yang langka. Pasalnya, banyak bangunan di Nusantara City yang berkonsep futuristik.

"Cari apa, Mas?" Pria botak bermata sipit yang mengenakan singlet putih bertanya pada Aidan dari balik meja kasir. Kacamata yang dikenakannya terlihat melorot dari hidung kecilnya. Sehingga, rasanya kacamata itu tidak ada fungsinya sama sekali membantu penglihatannya.

Aidan merogoh mantel untuk mengambil ponsel. Kemudian menunjukkan sebuah foto pada si pria botak. Sementara Nara masih berkeliling ruangan toko melihat-lihat senjata-senjata tajam yang semuanya terlihat antik. Desainnya kuno. Beberapa di antaranya bahkan sepertinya tidak diproduksi lagi.

"Belati tiga mata pisau. Hmmm ...." Si pria mengelus dagu. "Ini barang langka desain abad pertengahan. Aku cuma punya dua, tapi sudah laku semua. Tidak ada yang memproduksi lagi karena kurang diminati," terangnya.

"Apa Bapak masih ingat pembelinya? Dua orang itu?" tanya Aidan.

"Ya, masih lah. Tapi, ngomong-ngomong, buat apa Mas-nya tahu siapa yang beli?" Si penjual menatap Aidan penuh selidik.

Aidan meraih kartu identitas dari balik mantelnya dan memperlihatkannya pada pria itu. "BIN. Untuk keperluan investigasi."

"Oh, iya, iya, maaf, Mas." Dia menyatukan kedua tangan sambil mengangguk-angguk kecil. Tentu dia tidak bisa menghalangi seorang anggota Badan Investigasi Negara melakukan tugasnya. Dia menarik laci di meja kasir dan mengambil sebuah buku catatan. Beberapa saat Aidan menunggu pria itu memeriksa bukunya. Matanya naik turun membaca deretan nama di atas kertas.

"Mark Webber, orang Amerika. Yang satunya ... Pranata Yuwana, alamatnya di ...." Dia menyebutkan sebuah alamat yang masih berada di Nusantara City.

"Okay, terima kasih, Pak ...."

"A Chee."

"Terima kasih, Pak A Chee," ucap Aidan setelah merekam alamat yang disebutkan pria itu ke dalam otaknya. "Nara, ayo!" Dia memberi isyarat dengan menggerakkan dagu pada gadis yang masih asyik menelusuri rak-rak penuh senjata tajam, untuk mengikutinya keluar toko.

"Mas, sepertinya ... tidak ada gunanya fokus pada senjata itu," ucap Nara saat keduanya sudah berada di dalam mobil.

"Aku yang memutuskan kita akan fokus ke mana, okay?" tegas Aidan. Gadis ini benar-benar bebal. Rasanya sudah berkali-kali dia memperingatkan Nara untuk tidak mengutarakan pendapatnya yang hanya berdasarkan firasat tanpa dasar.

Nara terdiam. Dia tidak berani membantah perkataan bos keras kepalanya itu. Kalau begini untuk apa dia melibatkannya dalam investigasi ini. Aah---dia lupa. Aidan terikat perintah atasannya.

"Kita ke Sesame Street. Menemui seseorang bernama Pranata Yuwana."

Nara menurut saja apa kata pria angkuh di sampingnya itu. Meskipun, firasatnya mengatakan bahwa senjata yang sedang dicari oleh Aidan tidak ada hubungannya dengan Arina Wijanarko.

Sesame Street adalah sebuah perumahan menengah ke atas yang berada di pinggiran Nusantara City. Lokasinya cukup indah karena dekat dengan sungai terpanjang di propinsi Baharu---Sungai Baputi. Sungai berbatu dengan airnya yang bening. Selain itu, padang rumput yang membentang di sekitar sungai menambah sedap dipandang mata.

Saat masuk ke dalam perumahan, Aidan sempat bertanya pada satpam yang berjaga, di mana rumah seorang pria bernama Pranata Yuwana. Dan sang satpam menunjukkan sebuah rumah paling ujung yang tidak terlalu besar, namun memiliki halaman yang luas. Rumah yang terlihat tidak terlalu terurus jika dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lady Magnifica
Authornya pinter, cerdas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status