Share

BAB 2 MENJELASKAN

"Tidak, apakah Julian melakukan ini padaku?" Ia menggeleng kuat, tidak mungkin Julian menjebaknya naik ke atas ranjang dengan cara yang keji.

"Aku tidak akan memaafkan pria itu, bagaimana bisa dia menjebakku seperti ini," geramnya, tubuhnya rasanya remuk, kepalanya pusing dan dia sudah tidak ada harganya sekarang.

Suara langkah kaki membuatnya waspada. Elea beringsut, menutup diri dengan selimut dan akan menyemburkan lava nya.

Akan tetapi, ia tertegun saat mencium wangi yang sama saat malam tadi, wangi yang memabukkan, matanya menangkap ujung sepatu hitam mengkilat sudah berada di ujung ranjang.

"Bangunlah, dan bersihkan dirimu," suara bariton yang tidak di kenalnya, Elea mengangkat wajah dan baru bisa melihat dengan jelas siapa pria yang semalam bersamanya, pria dengan wangi memabukkan.

"Kamu siapa? Kenapa aku berada disini?" Masih mengeratkan selimutnya, ia tampak ragu ingin berteriak karena tatapan intimidasi pria itu membuatnya tidak berkutik.

Aldrich menyeringai, "Kita bisa bicarakan ini nanti, sekarang bangun dan bersihkan dirimu!"

"Tidak, aku ingin tahu sekarang juga, kenapa aku disini, kamu menjebakku? Siapa kamu sebenarnya?" ucapnya terbata dengan mata berembun.

"Menjebak? aku? haruskan kita lihat bersama siapa yang patut di katakan menjebak? Kamu nona."

"Tidaaaak, kamu berbohong!"

Aldrich hanya menatapnya datar, kemudian kembali berucap, "Bersihkan dirimu, kenakan pakaian itu dan kita sarapan bersama," ucapnya setelah melempar tote bag di ujung ranjang, kemudian berbalik keluar dari kamar.

Elea tertegun beberapa saat, benarkah dia yang dikatakan pria itu? Oh betapa malunya dia kalau itu benar-benar terjadi.

"Kenapa Julian tidak mencariku, apakah dia tidak tahu aku hilang, atau dia merencanakan ini, dia menjualku?" Semakin kuat Elea menggeleng. Tidak mungkin Julian tidak mencarinya, bisa jadi kekasihnya itu memang mencarinya dan tidak menemukannya.

"Dimana ponselku?"

Eleanora berdecak saat mengingat bahwa ponselnya mungkin saja tertinggal di club saat menunggu Julian.

Tidak menunggu lama, Elea turun dari ranjang dengan sangat perlahan, bagian intinya masih sangat sakit dan perih, "El, kau sangat bodoh!"

Dengan susah payah, akhirnya Elea sampai di kamar mandi besar dan mewah tentunya.

"Kamar mandi ini terlalu besar, aku harus melangkah lagi untuk sampai ke shower," keluhnya, bagian bawahnya sangat sakit, wajahnya mendadak memerah, "Pria datar itu menyiksaku," ratapnya lagi.

Perasaannya bercampur aduk, antara malu dan juga marah, andai saja, pria datar itu menolaknya, semuanya tidak akan terjadi. Ya, jika memang dialah yang mendatangi pria itu lebih dulu.

Sementara Eleanora menyalahkan diri dengan keadaan sambil membersihkan diri di kamar mandi, Aldrich masuk kembali ke dalam kamar, tatapannya jatuh pada noda merah di atas seprai.

Menghela napas pelan, ia berjalan ke arah nakas dan mengambil barang miliknya yang tertinggal, setelahnya barulah ia menelepon pihak hotel untuk membersihkan kamarnya sebelum Elea keluar dari kamar mandi.

"Ini dokumen yang Tuan Aldrich minta, silahkan diperiksa dulu," Jack menyerahkan dokumen berwarna hijau diatas meja.

Aldrich meraih dan membacanya dengan seksama. "Kamu sudah membereskan semuanya?" tanya Aldrich menutup dokumennya.

"Sudah Tuan, semua aman."

Aldrich hanya memasang wajah datar seperti biasa, mengetuk-ngetuk lengan sofa seperti memikirkan sesuatu.

"Kamu kerjakan pekerjaan kita yang lain, yang disini biar aku yang mengurus sisanya," ucapnya tenang dan tetap berkarisma.

Bersamaan dengan itu, pelayan pihak hotel datang, dua diantara mereka bertugas membersihkan kamar, sementara yang lain bertugas menghidangkan makanan diatas meja.

Beberapa menit kemudian Jack dan juga pelayan sudah keluar bersamaan. Memberikan waktu untuk tuan dan nona muda mereka yang datang tiba-tiba.

Aldrich merasakan seseorang melangkah ke arahnya, bahkan wangi harum sampo yang Elea gunakan sangat tercium saking wanginya.

"Duduklah, kita sarapan bersama."

Elea berjalan pelan dan duduk dihadapan Aldrich dengan kepala masih menunduk, membayangkan dia yang mendatangi pria itu, wajahnya langsung memerah karena malu dan juga marah.

"Aku ingin minta maaf karena masuk kamarmu, tapi kamu juga bersalah karena memanfaatkan keadaanku," ucapnya tidak berani mengangkat wajah, Elea melanjutkan, "Aku di jebak, dan harusnya kamu, menghindar atau menjauhkan diri," protesnya membela diri dengan meremas jarinya sendiri.

"Sudah?"

"Belum. Aku ingin protes--," ucapannya terpotong begitu saja, suara bariton dan menggairahkan di depannya ini benar-benar membuatnya mati kutu.

"Nona, boleh kita sarapan dulu?"

Elea mengangguk, dia dengan ragu mengambil sendok dan mulai memakan sarapannya. Enak, tentu saja, sejak semalam dia belum mengisi apapun dalam perutnya selain minuman yang katanya dipesan oleh Julian--kekasihnya.

______

"Apa? 2 tahun?" Elea menggeleng cepat, setelah sarapan bersama, dia diminta Rich menandatangani sebuah kertas dengan begitu banyak poin di sana.

"Kamu tidak ada alasan untuk menolak." tegasnya seolah inilah pilihan terakhir Elea.

Aldrich sudah menyodorkan pulpen hitam di atas meja, dengan melipat tangan ke dada, masih menunggu Elea menandatangani kertas perjanjian mereka.

"Kamu ingin menjebakku ya? Bagaimana bisa kamu memintaku menandagani perjanjian yang kamu buat sendiri?" tolaknya menyodorkan kembali kertas ke arah Aldrich.

Aldrich memicingkan mata, "Menjebak? Dibagian mana kamu menganggap aku menjebakmu, Nona Eleanora?" Aldrich menekan dan mengeja nama Eleanora dengan pelan dan tegas.

"Bagaimana kamu tahu namaku?" terkejutnya langsung mundur karena takut.

"Bukan hal yang sulit untukku. Kamu mendekat maka datamu bersamaku," ucapnya masih dengan wajah datar.

"Sekarang tanda tangani, dan kamu ikut denganku pulang."

Elea meremas gaun berwarna lavender yang Aldrich belikan untuknya, apa yang akan dia lakukan sekarang? Kalau menolak bukti video dari cctv akan tersebar. Tapi kalau menyetujui apakah ini akan baik-baik saja?

"Kamu ada waktu setengah jam untuk berpikir. Tapi, aku berharap kamu menandatangani dan menyetujui semuanya."

Aldrich berdiri, tidak menoleh sama sekali pada Elea yang masih menimbang keputusan apa yang akan diambilnya.

Aldrich keluar meninggalkan hotel dengan langkah tegap dan wajah dinginnya.

"Oh, apa yang harus aku lakukan sekarang? Dia menjebakku, ya dia menjebakku," Elea mondar mandir dengan langkah pelan, dia masih tidak nyaman dengan dirinya, ingin kabur tetapi pintu terkunci.

Tidak lama setelah itu, Elea yang masih bimbang dengan keputusannya mendengar suara pintu terbuka. Ia yang tadi duduk langsung berdiri.

"Aku--,"

"Kamu sudah mengambil keputusan Elea?" Menelan ludah susah payah, Elea memberanikan diri untuk berbicara.

"Sebenarnya aku masih tidak mengerti," ucapnya, lalu melanjutkan, "Baiklah, aku mengakui aku bersalah karena masuk ke kamarmu, sebenarnya kita sama-sama rugi, tapi ... bolehkah tidak ada pernikahan? Aku berjanji akan melupakan malam itu," ucapnya memelas, sebenarnya tidak terima mengakui dirinya bersalah, karena dia dijebak.

"Bagaimana kalau kamu hamil? Semalam kamu terlalu terburu memaksaku," wajah Elea kembali memerah bak tomat rebus.

"Aku bisa meminum pil pencegah kehamilan setelah ini, jadi kamu tenang saja, aku tidak akan membuatmu dirugikan."

Brak!

Meja di geprak kuat hingga pulpen hitam diatas meja jatuh dan berguling jauh.

Jantung Elea berdegup cepat, apalagi saat wajah tampan di depannya mengetat dengan mata memerah, "Coba katakan sekali lagi?"

"Ma-maafkan aku," Elea menunduk takut, tangannya sudah basah karena keringat dingin. Pria ini tidak disangkanya akan seberbahaya itu.

"Jangan berani melakukannya, Elea," ucapnya datar, ia melanjutkan, "Jangan lakukan hal yang membuatmu menyesal," ujarnya lagi.

"Tapi, aku tidak ingin menikah, semalam anggap saja itu kecelakaan yang tidak bisa dihindari!" Serunya dengan memelas.

"Kamu tidak ada pilihan lain, atau kamu ingin rekaman cctv kita tersebar?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status