Fahima bangun sebelum subuh dan melakukan rutinitas pagi dengan cekatan, ia memasak nasi dan membuatkan lauk-pauk serta sayur mayur untuk sarapan mereka bertiga. Membersihkan rumah dan menyiram tanaman yang ada di halaman depan dan belakang. Wanita itu mandi dan berganti pakaian. Ia sarapan lebih dulu karena harus bekerja. Hari ini ia mulai bekerja part time di hotel Paraday selama liburan sekolah.
Wanita yang baru saja menjadi Pegawai Negeri Sipil itu terlihat cantik dengan gamis merah muda dan hijab segiempat dengan warna senada. Dia menjemur pakaian di halaman belakang. Fahima melihat ibu yang sudah selesai mandi dan membantunya. Wanita paruh baya itu tersenyum memperhatikan putri cantiknya yang baru berusia dua puluh lima tahun itu.
“Kenapa, Ma?” tanya Fahima yang tersenyum lembut. Dia tidak terlalu putih, dengan kulit kuning langsat mendekati sawo matang, tetapi sangat bersih dan menawan. Kelembutan wanita itu tidak ada tandingannya sehingga membuatnya dengan mudah disukai anak-anak dan bahkan orang dewasa.
“Kamu mau kemana? Pagi-pagi sudah cantik?” tanya mama lembut.
“Aku akan bekerja paruh waktu di hotel Paraday,” jawab Fahima.
“Kenapa? Kamu bisa liburan di rumah saja. Apa tidak lelah?” Mama menatap Fahima. Gadis yang baru saja menyelesaikan kuliah di Universitas Terbuka dan langsung itu tes CPNS itu sangat beruntung karena lulus dengan nilai tertinggi.
“Ma, aku masih muda dan bersemangat.” Fahima tersenyum.
“Kapan kamu akan pergi ke Serang?” tanya mama.
“Bulan depan,” jawab Fahima.
“Karena itu, aku harus mempunyai uang simpanan untuk bisa meninggalkan mamak dan nenek di sini.” Fahima berbicara di dalam hatinya.
“Mama tidak usah kerja lagi. Temani nenek di rumah saja.” Fahima mengambis baskom dan membawa ke kamar mandi.
“Mama mau membantu kamu. Dari sekolah hingga saat ini terus bekerja untuk keluarga.” Mama melihat kepergian Fahima.
“Maafkan mama, Nak. Kamu terlahir yatim dan masih bersemangat untuk sekolah dengan beasiswa. Kuliah sambil kerja.” Sayana masuk ke rumah. Wanita itu melihat makanan yang sudah tertata rapi di atas meja.
“Semoga kamu bertemu dengan jodoh yang sangat mencintaimu dan memberikan kebahagiaan.” Mama tersenyum.
“Ma, aku pergi ke hotel dulu ya.” Fahima mengambil tas punggung hitam miliknya.
“Hati-hati ya.” Mama tersenyum melihat gadis muda itu mencium tangannya.
“Ya, assalamualaikum,” salam Fahima mengeluarkan motor matic warna merahnya.
Wanita cantik dan terlalu tersenyum itu mengendarai motornya menuju kawasan hotel Paraday yang tidak jauh dari rumahnya. Dia hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai lokasi. Zahra menyapa satpam yang sudah sangat mengenalinya karena sejak sekolah sudah berkerja di hotel itu.
“Pagi, Zahra.” Pak Satpam membuka pintu gerbang untuk Fahima.
“Terima kasih, Pak Ahmad.” Fahima tersenyum dan mengendarai motornya memasuki tempat parkir. Seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi dan kulit putih berdiri di depan wanita itu.
“Fahima, kamu sudah datang.” Leo yang sengaja nunggu wanita cantik itu.
‘Selamat pagi, Tuan Leo.” Fahima tersenyum.
“Apa yang Tuan lakukan sepagi ini?” tanya Fahima.
“Menunggu bidarari cantik turun dari metic.” Leo tersenyum.
“Wah, gombalnya makin hebat.” Fahima membuka helm.
“Apa kamu sudah sarapan?” tanya Leo.
“Sudah.” Fahima tersenyum cantik.
“Apa yang akan aku lakukan hari ini?” tanya Fahima.
“Kemarilah.” Leo menarik tali gamis Fahima.
“Eh.” Fahima mengikuti langkah kaki Leo.
“Kamu harus mengantarkan perlengkapan mandi ke kamar VIP, pria ini selalu menggantikan semua yang ia gunakan termasuk sepray, selimut dan handuk.” Leo tersenyum.
“Kenapa aku?” tanya Fahima.
“Tuan Muda ini terbiasa di bantu Mamanya, jadi ia tidak mau dilayani pria.” Leo tersenyum.
“Baiklah.” Fahima membawa semua perlengkapan dan berjalan menuju kamar VIP. Ia mengetuk pintu dan memberi salam.
“Selamat pagi, pelayanan kamar,” ucap Fahima pelan.
“Masuklah, Ma. Pintu tidak aku kunci,” ucap Michael yang berpikir itu adalah ibunya.
“Permisi.” Fahima membuka pintu lebar dan meletakkan perlengkapan yang ia bawa di atas meja dekat sofa. Ia berjalan ke kamar mandi dan kembali ke tempat tidur Michael.
“Arrrrg.” Fahima berteriak karena melihat tubuh telanjang dan seksi seorang pria berdiri di depannya.
“Hey, diam!” Michael menutup mulut Fahima, tanpa sengaja pria itu menyentuh guci yang tergeletak di atas meja hingga jatuh ke lantai dan pecah.
“Oh sial!” Michael terkejut. Fahima segera mendorong tubuh telanjang itu hingga jatuh ke tempat tidur dan membungkus sengan seprai.
“Apa yang kamu lakukan?” Michael menatap Fahima.
“Diam dan jangan bergerak!” perintah Fahima.
“Ya Allah, dosa apa ini?” Dengan cepat Fahima membersihkan pecahan guci dan Michael hanya memperhatikan wanita yang telah mengurungi dirinya di dalam selimut.
“Apa kamu sudah selesai?” tanya Michael, ia tersenyum melihat guru cantik di depannya.
“Ya, aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi.” Wanita itu memijit kepalanya.
“Aku benar-benar sial melihat pria telanjang.” Fahima keluar dari kamar. Ia kesulitan menghapus tubuh seksi yang tidak tertutup benang sehelai pun.
“Ya Allah, ampuni dosaku.” Fahima berjalan gontai.
Michael terdiam di dalam selimut, ia berusaha mengingat yang baru saja terjadi. Guci pernikahan telah pecah dan hanya ada satu wanita yang berada di dekatnya.
“Siapa nama wanita itu? Leo pasti tahu.” Michael tersenyum.
“Ah, aku merasa bersalah pada Mama, jika aku tidak bisa membawa pulang guci berarti harus menggantikan dengan calon istri.” Pria itu berusaha membuka selimut yang membungkus tubuhnya.
“Ah, apa mama akan sedih.” Michael duduk di tepi tempat tidur.
“Ckck.” Michael berdecih.
“Aku harus menghubungi semua manusia yang suka mengkoleksi barang antic.” Micahel berdiri.
“Dia adalah guru tetapi bagaimana bisa bekerja di hotel?” Dengan tubuh telanjang, Michael berjalan menuju kamar mandi. Dia membesihkan diri dengan cukup lama. Aromas maskulin menyegarkan memenuhi ruangan ketiak pria itu ke luar dari kamar mandi.
“Tuan, Anda mau sarapan dimana?” tanya Fendy yang langsung berdiri ketika melihat Michael berjalan menujunya. Pria putih dan tinggi itu hanya mengenakan handuk.
“Restauran dan panggilkan Leo untuk sarapan bersama.” Michael berjalan menuju lemari pakaian.
“Baik, Tuan.” Fendy ke luar dari kamar Micael. Selesai berpakaian dengan rapi dan besih, Micahel berjalan menuju retauran di tepi pantai. Pria itu bersiap untuk makan.
“Selamat pagi, Tuan Michael,” sapa Leo dengan senyuman.
“Duduklah!” perintah Michael pada Leo dan Fendy.
“Leo, siapa wanita yang masuk ke kamar ku pagi ini?” tanya Michael.
“Apa dia melakukan kesalahan?” Leo balik bertanya.
“Aku tidak suka pertanyaan dijawab dengan pertanyaan.” Michael menatap tajam pada Leo.
“Maafkan saya.” Leo meunduk.
“Siapa wanita itu?” Michael mengulangi pertanyaanya.
“Fahima, ia hanya bekerja part time dan bukan karyawan tetap hotel. Maafkan saya untuk kesalahan Fahima.” Leo berdiri dan menunduk.
“Aku mau kamu mempertemukan diriku dengan wanita itu,” ucap Michael.
“Apa?” Leo terkejut dan khawatir. Ia tidak tahu kesalahan apa yang telah dilakukan Fahima sehingga pria dingin itu mau bertemu dengan wanita yang ia sukai.
“Kenapa kamu harus terkejut?” Michael masih duduk tenang dan belum memulai sarapan begitu juga dengan Fendy yang hanya jadi pendengar.
“Silakan Anda sarapan, saya akan memanggil Fahima, permisi.” Leo mencari Fahima di dapur hotel.
“Fahima, nama yang kampungan.” Michael menikmati sarapannya.
“Kamu harus bertanggungjawab atas pecahnya guci, ah.” Michael melihat tangannya terkena pisau daging.
“Ada apa, Tuan?” Fendy khawatir.
“Apa mitos itu benar? Atau aku hanya melamun saja?” Michael mengambil tisu dan menekan goresan kecil di jarinya.
“Tak apa, hanya tergores.” Michael melanjutkan makannya.
“Ferdy, hubungi semua pengusaha yang memiliki koleksi guci yang sama dengan punyaku!” perintah Michael pada Fendy.
“Kenapa, Tuan? Apa guci Anda pecah?” tanya Fendy.
“Ya,” jawab Michael kesal.
“Bagaimana bisa?” Fendy menatap Michal.
“Apa aku sengaja memecahkannya?” Michael menatap tajam pada Fendy.
“Maaf, Tuan.” Fendy menunduk. Dia harus melaporkan kejadian itu pada Nyonya Li, tetapi Michael yang ingin mencari pengganti guci berarti, pria itu tidak ingin mamanya tahu. Asisten Michael terlihat bingung.
“Apa kamu tidak makan?” tanya Michael.
“Saya akan makan,” jawab Fendy.“Jangan pernah berpikir untuk memberitahu mama tentang guci yang pecah. Kamu harus mendapatkan penggantinya atau kesalahan ini akan menjadi tanggung jawab kamu,” tegas Michael.
“Apa?” tangan Fendy terasa gemetar dan tubuhnya lemar. Dia dalam dilema yang cukup berbahaya.
“Kita akan berada di Bangka sampai mendapatkan guci pengganti,” ucap Michael.
“Baik, Tuan.” Fendy sangat khawatir dengan nasibnya. Gaji yang mahal sangat sepadan dengan pekerjaan berat yang harus diselesaikan setiap harinya. Dia melirik Michael yang menikmati sarapan dengan elegan. Pria itu seakan tidak ada beban pikiran sama sekali.
Nyonya Li dan Tuan Hardianto tiba di apartemen milik Michael mereka melihat Jordan yang masih meringkuk di sofa ruang tamu dengan tubuh ditutupi selimut tebal.“Jordan, kenapa kamu bisa sakit? Kamu dan El selalu sehat.” Nyonya Li duduk di sofa dan mengusap kepala putra bungsunya.“Selamat pagi, Ma, Pa.” Fahima duduk di sofa tunggal jauh dari Jordan.“Dia sudah baikan.” Michael menatap Jordan.“Ma, bawa aku pulang,” ucap Jordan tidak ingin melihat Fahima.“Aku akan mengantarkan kamu ke bawah.” Michael membantu Jordan berdiri.“Papa saja. Kamu temani Fahima.” Tuan Hardianto mengambil Jordan dari Michael.“Baiklah.” Michael melihat pada Fahima yang hanya diam saja.“Terima kasih sudah merawat Jordan.” Mama Li memeluk Fahima.“Sama-sama, Ma. Kami hanya kebetulan saja,” ucap Fahima tersenyum.Nyonya Li dan Hardianto membawa Jordan pulang untuk di rawat di rumah oleh dokter keluarga mereka. Fahima dan Michael hanya mengantarkan sampai depan pintu lift saja. Pria itu menatap istrinya yang tam
Fahima bangun untuk melaksanakan salat tahajut. Gadis itu keluar kamar untuk memeriksa Michael dan Jordan. Hari sudah menujukkan pukul setengah empat pagi. Dia berjalan mendekati suaminya yang terlelap di sofa.“Ehggh.” Suara Jordan terdengar dari dalam kamar.“Ada apa dengannya?” Fahima melihat pintu kamar yang terbuka. Dia berjalan mendekat dan mengintip. Tubuh Jordan tampak gigil karena demam.“Apa dia sakit?” Fatimah segera masuk ke dalam kamar dan menyentuh dahi saudara iparnya yang basah keringat.“Dia benar-benar demam. Suhu tubuh yang panas, tetapi dia kedinginan.” Fahima segera membuang selimut tebal dari tubuh Jordan dan mengantikan dengan kain yang lebih tipis.“Dia kedinginan karena keringat yang terus keluar. Apa Jordan alergi obat?” Fahima beranjak dari kasur dan tangannya dipegang Jordan.“Kamu sakit. Bertahanlah.” Fahima melepaskan tangan Jordan. Dia membuka lemari dan mengambil handuk serta air hangat. Wanita itu kembali pada pria yang sudah tidak sadarkan diri.“Apa a
Fahima duduk di sofa dengan memeluk kakinya. Dia mengkhawatirkan Jordan. Wanita itu gelisah dan melihat pada Michael.“Apa aku harus membangunkan Michael agar bisa melihat keadaan Jordan? Aku takut terjadi sesuatu padanya. Apalagi dia dalam pengaruh minuman.” Fahima turun dari sofa dan mengintip dari pintu kaca. Tidak ada lagi Jordan.“Semoga dia sudah kembali ke kamar.” Fahima tersenyum. Dia menutup gorden dan berjalan ke tempat tidur. Memperhatikan Michael yang tertidur nyenyak.“El,” bisik Fahima di telinga Michael.“Hm.” Michael memeluk Fahima.“El, ada Jordan,” ucap Fahima.“Apa?” Michael langsung membuka matanya dengan sangat lebar dan duduk.“Di mana?” tanya Pria itu. Dia pikir Jordan ada di dalam apartemennya.“Di sebelah,” jawab Fahima.“Sebelah mana?” Michael menatap Fahima.“Ruangan sebelah. Sepertinya dia minum-minuman yang membuatnya hilang kendali,” jelas Fahima.“Oh. Dia di apartemen sebelah. Bagaimana kamu bisa melihatnya?” Michael berusaha menyadarkan dirinya.“Dari te
Fahima telah melepas hijabnya. Dia tidak tahu ada bekas merah pada lehernya. Wanita dengan gamis panjang duduk di tepi ranjang dan mengoleskan obat pada punggung suaminya yang sudah mulai mengering.“Apa luka ku sudah sembuh?” tanya Michael.“Sebentar lagi sembuh. Kamu harus sabar,” jawab Fahima lembut.“Aku akan sabar selama kamu di sisiku,” ucap Michael.“Aku akan selalu bersama kamu.” Fahima tersenyum.“Benarkah?” Michael memutar tubuh menghadap pada istrinya. Dia memperhatikan wajah hingga leher.“Apa ini?” Michael terkejut dan menyentuh leher Fahima.“Apa?” tanya Fahima heran. Dia sudah melupakan kejadian di minimarket karena tidak pernah ada dendam dan benci di dalam hatinya.“Leher kamu merah.” Michael memperhatikan leher Fahima.“Ah.” Fahima tersenyum canggung. Dia tidak bisa berbohong, tetapi tidak pula ingin menarik Cleya ke dalam masalah yang lebih rumit.“Apa yang terjadi? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” Michael menatap tajam pada Fahima. Wanita di depannya tidak g
Keranjang belanja Fahima dan Michael sudah penuh dengan bahan makanan dan minuman serta cemilan ringan. Mereka berdua berjalan menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Sore hampir terusir oleh magrib. Azan akan berkumandang.“El, aku ke kamar mandi dulu.” Fahima meninggalkan Michael di depan meja kasir. Wanita itu berjalan cepat menuju bagian terdalam mini market. Dia harus ke kamar mandi karena mau buang air kecil.“Apa?” Michael melihat Fahima yang telah menghilang dari balik lemari barang-barang jualan di dalam mini market.“Selamat sore, Pak.” Karyawati yang bertugas tersenyum pada Michael.“Kami akan mulai menghitung,” ucap wanita itu memperhatikan Michael.“Ya,” ucap Michael melihat pada pelayan. Pria itu tidak ingin jauh dari istrinya. Dia terlalu khawatir bahwa Fahima akan diculik pria lain karena perlakuan dirinya sendiri.Fahima masuk ke kamar mandi dan buang air kecil. Dia keluar segera dan mencuci tangan serta bercermin. Wanita itu mengeringkan tangan dan bersiap untuk kelu
Matahari bergerak ke ufuk barat. Rona merah indah di langit Jakarta. Fahima keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk putih melingkar di dada sebatas paha. Dia lupa membawa pakain ganti.“Hah, No!” Michael yang hanya mengenakan celana tanpa baju memperhatikan mangsa enak yang berjalan santai menuju lemari pakaian.“Aku belum merapikan isi koper ke lemari.” Fahima berjongkok dan membuka koper. Wanita itu benar-benar lupa pada pria yang siap menerkamnya kapan pun dengan tubuh seksi dan terbuka itu.“Apa yang kamu lakukan?” Michael berdiri di samping Fahima.“Mencari baju ganti,” jawab Fahima tanpa menoleh. Tangan wanita itu berhenti bergerak menyadari dirinya dalam bahaya. Dia mendongak.“Kamu sedang menggodaku.” Michael mengangkat tubuh Fahima dan membawanya ke atas tempat tidur. “Tidak.” Fahima menatap Michael. Dia segera menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang hanya dibaluti handuk putih yang pendek.“Aku mengingikannya.” Michael tersenyum dengan tatapan berbeda. Pri