Semoga suka 😘😘 up lagi besok lagi di jam yang sama
Sanjaya berbalik, menatap monitor tanpa melangkah sedikitpun dari tempat ia berhenti. Melihat keengganan Sanjaya untuk mendekat, Dokter Nabila mulai menggerakkan transducer, memperlihatkan sesuatu di dalam lapisan perut. "Nona Davinka tidak bisa melakukan hubungan badan selama 3 Minggu. Rahimnya bermasalah, hubungan intim dengan gerakan ekstrim setelah masa haid sangat berbahaya. Jika dipaksakan kemungkinan besar Nona Davinka tidak bisa mengandung. Apa lagi sebelumnya nona Davinka melahirkan bayi dengan paksa dan tidak di rumah sakit besar. Ada beberapa luka diatas luka. Di sini—" dokter Nabila mengarahkan transducer pada bagian sayatan diperut. Terlihat jelas bekas jahitan sesar terlihat Sudah berapa kali diperbaiki jika melihat dari bekas luka. Bekas jahitan itu terlihat pernah mengalami infeksi sehingga harus melakukan tindakan berulang kali. Pandangan Sanjaya tidak pernah berkedip sedikitpun dari layar monitor. Setiap ucapan yang diutarakan oleh dokter Nabila begitu mengerikan
Setelah dua hari dirawat, Davinka dibawa pulang ke sebuah rumah yang sangat megah. Tiang-tiang tinggi yang kokoh mendominasi teras rumah, tiang itu dilapisi marmer yang sangat cantik. Dua pintu ganda tidak kalah cantik dan megahnya. Davinka menatap sekeliling, suasana temaram semakin menambah kecantikan berada depan dengan lampu gantung dan tanam. Mungkin akan sangat romantis jika di sana ditaruh meja dan lilin untuk makan malam. "Apa kamu lebih suka tinggal di luar sini, Davinka?" suara bariton pria itu mengagetkan Davinka. Davinka menggeleng, "Dimana kamar saya, Tuan Sanjaya? Boleh saya istirahat sekarang?" Sanjaya hanya mengangguk, tangannya dilingkarkan di pinggang ramping Davinka. "Akan saya tunjukkan." Sanjaya mulai menggiring tubuh Davinka masuk. Wanita itu mengusap tengkuk dan lengannya beberapa kali saat hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal mereka jauh dari ruang AC. Entah mengapa Davinka merasa tidak nyaman saat memasuki rumah megah itu. Aura permusuhan begitu kenta
Pelayanan itu membungkuk di hadapan Davinka, berkata dengan nada rendah. "Maaf, Nyonya, Anda di panggil Tuan." Davinka menatap wanita yang tidak terlalu tua, juga tidak semuda dirinya yang bicara dengan sangat hati-hati. Kata-katanya sebenarnya sangat bisa saja, akan tetapi sangat tidak nyaman di telinganya. "Cukup panggil saya, Davinka. Saya gak suka dipanggil Nyonya atau Nona, jadi panggil aja Davinka, oke!" Pelayan itu dengan cepat menggeleng, dia tidak ingin membuat marah Tuannya. Apalagi, CCTV terpasang di setiap sudut rumah "Maaf, Nyonya, saya tidak bisa. Anda Nyonya baru kami disini …," Terlihat kesedihan dalam wajah pelayan itu. Davinka bangun dan meletakkan baskom ikannya di bufet. "Saya bukan Nyonya kalian, dan saya tidak mau jadi Nyonya kalian. Saya bukan Istrinya, hanya simpanan pria itu," jelasnya lirih. Dari layar, Sanjaya merasa puas dengan pernyataan Davinka, wanita ini sangat terang-terangan
Sanjaya baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Davinka mulai mendekati tralis dan menaikkan satu kakinya. "Apa yang dilakukan oleh wanita itu!" Sanjaya membuang handuknya, bergegas keluar dengan tubuhnya yang setengah telanjang. Wajah pria itu sudah sangat pucat seperti tidak dialiri darah, otot di sekujur tubuhnya menegang hanya karena Davinka mendekati balkon. Sanjaya takut Davinka akan berbuat nekat dan melompat dari sana. "Tidak, Devinka, kamu tidak bisa melakukan ini!" Sanjaya berlari kencang menyusuri lorong dari kamarnya menuju kamar Davinka berada. Gerakannya melebihi angin, pria itu mengabaikan setiap tatapan penasaran para pelayan yang berpapasan dengannya. "Hentikan wanita itu!" teriak Sanjaya sekuat tenaga. Rahangnya kini sudah mengeras dengan sorot matanya yang tajam. Dia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan wanitanya dari maut. Para pelayan bingung, mereka saling pandang, tid
Melihat wajah Sanjaya yang semakin mendekat dengan cairan obat dalam mulut pria itu, sudah membuat lidah Davinka merasakan pahit lebih dulu, bahkan cairan dalam perut serasa mau keluar. Davinka memalingkan wajah, menghindari bibir Sanjaya yang sudah berada tepat di depan bibirnya. Akan tetapi, dengan cepat Sanjaya mencengkram rahangnya dengan dua jari menahan bibir tebal wanita itu agar sedikit terbuka. "Emm-emmm …," teriakan Davinka tertan. Wanita itu terus menggerakkan kepalanya menghindari serangan Sanjaya. Kegigihan Sanjaya agar Davinka sembuh dan dapat melayaninya lagi, membuat pria itu bersikukuh agar obat yang dikunyah dapat masuk kedalam mulut Davinka. Saat Sanjaya mendapat bibir sensual Davinka, dengan cepat dia mentransfer cairan dalam mulutnya setelah menambah sedikit air. Tangan satu mulai menekan hidung Davinka. Bunyi tegukan didengar oleh pria itu setelah Sanjaya dua kali membagi cairan pahit dalam mulutnya. "Ahhh …
Kehangatan pagi itu membuat Davinka enggan untuk membuka mata, padahal tubuhnya sudah terjaga sepenuhnya. 'Kapan dia datang kesini? Gak tahu kenapa setiap dia meluk gue gini, ada ketenangan. Gue ngerasa nyaman,' bibir Davinka tersenyum dalam dekapan dada bidang Sanjaya yang mememluknya erat. Pria itu masih tetap bertelanjang dada seperti tadi malam. Davinka semakin menyusupkan dirinya dalam kehangatan Sanjaya dengan pikiran yang menerawang jauh. Sikap pria ini sangat berubah-ubah, kadang baik, kadang kasar, kadang lembut. Tapi, terkadang juga ucapnya seperti angin topan yang memporak-porandakan hatinya. 'Apa gue gila kalo ngerasa nyaman dalam tawanan dia," Davinka hampir saja tertawa merasakan kekonyolannya. "Apa kamu tidak bisa diam, Davinka? Mau saya buat kamu masuk rumah sakit lagi?" Gertank Sanjaya merasa terganggu. Gerakan bibir Davinka yang menyapu dadanya membuat tidur pulas Sanjaya terganggu. Padahal, pria itu baru tertidur beberapa jam yang lalu setelah menahan diri unt
Jiwa Davinka seakan melayang saat mendengar teriakan para pelayan yang memanggil dirinya dengan teriakan keras. 'Jadi gue beneran mati sekarang?' "Aaaaa…!" Bruk! Davinka merasakan tubuhnya melayang di udara. Napas wanita itu sempat berhenti, wajahnya seperti tidak di dialiri darah. Putih melebihi kapas. Davinka tidak berani membuka mata, mungkin saja dirinya sudah mengantri untuk penebusan dosa di akhirat. "Kamu memang lebih suka mati daripada hidup tentang, hah!" Suara pria itu lebih mengerikan daripada malaikat pencabut nyawa. Davinka masih tidak berani membuka matanya. Detak jantungnya kembali bekerja dengan keras, sama kerasnya dengan sosok yang tengah menggendongnya saat ini. 'Hah, gue belom mati?' Saat Davinka hendak membuka mata untuk memastikan dirinya masih hidup, tubuhnya kembali melayang dan naik ke udara. "Aaaaa…!" Sekali lagi, nyawa seakan lepas dari raganya ketika tubuhnya kembali terjun ke bawah dengan cepat. "Mati, gue mati …," Davinka memejamkan matanya e
'Cara semalem!' Davinka tercengang, dia tahu pasti apa artinya, mentransfer Oba dari mulut ke mulut. Dengan cepat Davinka menolaknya, "Gak mau, Tuan, sa-saya ambil pisau dulu." Davinka hendak berlari mencari dapur, tapi dengan cepat Sanjaya menghentikanya. "Duduk!" titah Sanjaya. Pria itu bangun dari duduknya dan mengambil obat Davinka. "Obatnya mau di potong jadi berapa?" tanya Sanjaya saat tangannya sudah memegang obat. Davinka mendekat, melihat besarnya ukuran obat, menunjuk untuk memberitahu Sanjaya dibagi berapa obat itu. "Ini bagi tiga saja, Tuan ... dan ini dibagi dua bagian. Tapi, apa ini tidak merepotkan, Tuan?" tanya Davinka polos Ini jelas sangat merepotkan Sanjaya. Akan tetapi, dia bisa kembali mengenang kebiasaan mendiang istrinya. "Apa ini perlu ditanyakan? Jelas ini merepotkan saya! Mulai hari ini kamu berhenti jadi marketing!" Ini jelas bukan permintaan, tapi paksaan. Davinka merengut, apa dia dipecat?