Share

02

"Gimana, Ris? Lo udah dapet?"

"Ya ampun, Mik! Lo bangunin gue jam tiga pagi cuman nanyain gue udah dapet apa belum? Ada masalah apa lo sama siklus menstruasi gue?" gerutu Risa menunjukkan betapa kesalnya dirinya atas ulah Mika. 

"Maksud gue, lo udah dapet detektif apa belum, dodol?"

"Mik, lo pikir nyari detektif yang qualified itu mudah? Ini Jakarta, Mik. Dan gue enggak punya koneksi, mana ada yang mau kasih info kalau yang nanya SPG rokok kayak gue? Gue ini masyarakat kasta bawah, Mik. Lagian ya, lo itu bego apa gimana? Bapak lo itu lawyer, Mik. Tersohor se-antero Jakarta. Lo tinggal ngomong ke Bapak lo udah pasti dapat. Lagian siapa sih yang mau lo selidikin? Lo ada musuh di Jakarta? Haters?"

"Enggak usah kepo, lo?"

"Ya, gimana gue nggak kepo, orang lo juga aneh, bangunin gue jam tiga pagi cuman buat nanya begituan? Emang nggak bisa ditunda besok pagi gitu?" 

"Kelamaan, Ris. Di sini baru jam sepuluh malam. Itu artinya gue harus tidur dulu buat dapet jawaban

"Iye, ngerti, ada lagi yang ingin ditanyakan Yang Mulia?" ejek Risa.

"Tanya sih enggak. Cuman ingin mempertegas aja, kalau pas gue balik nanti elo belum dapat itu detektif, lo keluar dari tempat yang sekarang lo tinggali!" Mika putuskan panggilannya sepihak karena kesal. Kepulangannya ke Jakarta tinggal sebentar lagi, namun informasi mengenai orang yang diincarnya sedikit pun belum ia kantongi. Bagaimana ia bisa melaksanakan rencananya kalau keadaannya begini.

Mika rebahkan dirinya di atas pembaringan. Memejamkan matanya lelah, se-lelah hatinya yang ingin lepas dari seluruh amarah yang selama ini singgah di hatinya. Untuk seseorang yang tidak mungkin bisa ia maafkan juga untuk segala kepahitan yang pernah dihadirkan. Mika membungkusnya dalam api dendam.

"Tunggu gue datang dan lo akan sadar bahwa lo sudah salah besar berurusan dengan gue," gumamnya dengan tangan yang mengepal erat. Sisi kejam yang sudah lama tidak pernah ia munculkan sebentar lagi akan mendapatkan wadah untuk pelampiasan.

"Mik, lo mandinya udah beres apa belum, sih? Ada Hans," teriak Pia dari luar pintu kamar. Mika tarik nafasnya dalam-dalam. Berusaha menetralkan emosi yang bergolak dalam diri, emosi yang selalu ia tutupi, emosi yang tak pernah ia bagi.

"Belum, Pi. Bilang aja suruh nunggu di kamar gue!" sahut Mika.

Sebelum Hans masuk ke kamarnya, Mika melesat cepat ke dalam kamar mandi, membersihkan dirinya secepat yang ia bisa. Karena memang pamitnya kepada Pia sebelumnya adalah untuk berendam menghilangkan penat yang melanda.

Tak lama kemudian Mika menampakkan diri dengan penuh percaya diri. Ia berjalan pelan menghampiri Hans yang tengah menunggunya di sudut ranjang.

"Belum aku tinggal aja udah kusut aja itu muka, gimana kalau udah aku tinggal beneran ke Indonesia?" 

"Aku sepertinya menyesal, kenapa waktu itu ngotot banget pengen ngadain acara di Indonesia, ya? Kalau tau rasanya gelisah akan pisah mestinya kita tunangannya di sini saja, nikahnya yang di Indonesia. Ya nggak?" tak lupa Hans hadirkan wajah penuh sesal.

"Bukannya aku sudah sering mengingatkan ini sebelumnya? Tapi emang kamunya aja yang keras kepala." 

Hans mengulum senyum, menyadari bahwa dirinya tidak akan pernah berhasil memenangkan perdebatan dengan wanita yang sangat dicintainya.

"Kemarilah! Aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu." pinta Hans sembari menepuk pahanya.

Definisi dari menghabiskan malam di sini adalah Hans dan Mika tidur bersisian di ranjang. Saling memeluk dengan jemari tertaut sembari membicarakan printilan-printilan mengenai rencana masa depan.

Apa ini artinya Mika dan Hans tidak saling menyentuh? Tentu saja mereka saling menyentuh, siapa yang mampu mengendalikan godaan ketika mendapati tubuh seksi sang pujaan hati hanya terbungkus handuk dari dada hingga paha?

Maka sebelum mereka menyerah oleh rasa lelah akibat gelombang nikmat yang baru saja menghantam, keduanya tentu berlomba-lomba mengantarkan pasangan pada titik yang bernama kepuasan. Namun tanpa persenggamaan. Ya. Itu benar adanya, atas permintaan Mika tentunya. Kontak fisik yang mereka lakukan hanya sebatas ciuman dan sentuhan.

Hans yang diawal hubungan tidak menerima persyaratan yang Mika ajukan langsung kalang kabut saat Mika menawarkan perpisahan.

"Aku masih utuh, Hans. Belum pernah tidur dengan pria manapun, walaupun aku hidup di sini sudah bertahun-tahun. Kamu kira aku sebebas apa? Sebelum ketemu kamu waktuku aku habiskan hanya dengan belajar dan kerja.

Bahkan sampai lulus kuliah pun aku masih kerja walaupun orang tuaku sudah ribut memintaku untuk kembali ke Indonesia. Aku juga double degree Hans kalau kamu lupa! Jadi aku enggak ada waktu untuk mengurusi hal yang berkaitan dengan pria atau cinta. Kamu itu pacar pertamaku di Italia. Kamu boleh percaya boleh juga mengabaikannya. Satu lagi, ini hasil visumnya baru dua jam yang lalu!"

Mika lemparkan kertas itu tepat di wajah Hans sebelum Mika meninggalkannya. Dirinya benar-benar tidak nyaman saat Hans berkali-kali mengajaknya berhubungan badan walaupun dari Mika sudah ada penolakan. Hingga akhirnya Mika memutuskan untuk visum agar Hans percaya jika dirinya tidak mengada-ada.

***

"Lo beneran ninggalin gue, Mik? Padahal gue udah cocok kerja sama lo, Jadi asisten pribadi lo," isak Pia perlahan saat menyaksikan Mika sedang memoleskan make up tipis di wajahnya.

"Di Indonesia Gue nggak butuh asisten pribadi, Pi. Gue pengangguran. Lo lupa kalau Hans baru ngizinin gue kerja setelah acara pertunangan?" jawab Mika.

"Terus gue kerja apa? Masak iya gue jadi pelayan lagi?"

"Pia, dengerin gue!!! Lo lupa siapa gue sebelum jadi model di agensinya Tante Laura? Gue cuman seorang mahasiswa yang nyambi kerja sebagai pelayan di kedai kopi, Pi. Itu gue lakukan selama bertahun-tahun. Dan gue enggak ada masalah dengan itu semua. Pun setelah gue lulus kuliah, gue masih betah jadi pelayan kedai kopi yang gajinya amat sangat kecil menurut Mami gue. Tapi gue enjoy dengan apa yang gue jalani.

Poin pentingnya? Jangan malu untuk bekerja, apapun itu jenisnya. Asal lo bukan peminta-peminta atau pencuri atau melakukan pekerjaan yang mengandung unsur kejahatan please, jangan malu. Hilangin seluruh gengsi yang ada dalam diri lo. Karena gengsi itu pada akhirnya akan jadi beban buat lo."

Pia tertunduk malu. Bahwa sosok yang se-sempurna Mika saja yang dari lahir tidak pernah kekurangan harta saja mau mempersulit hidupnya dengan bekerja sebagai pelayan, lantas kenapa dirinya yang baru saja mendapatkan sedikit pekerjaan yang lumayan seakan enggan untuk kembali menjalani kehidupan seperti sebelumnya.

"Udah deh, nggak usah pasang muka malu-malu anjing kayak gitu. Gue tahu lo pasti tertampar dengan pernyataan gue barusan." tukas Mika dengan penuh gelak tawa. "Ntar gue coba ngomong ke Hans, kali aja lo bisa kerja jadi OG di Hotelnya Hans. Anggap itu bonus perpisahan dari gue."

"Mendingan gue jadi pelayan, Mik."

"Nah, itu lo nyadar 'kan? Bahwa pekerjaan sebagai pelayan itu tidak rendahan, tidak memalukan. Lo banyakin bersyukur deh."

"Iya, suster Mika. Kenapa enggak sekalian lo khutbahin gue untuk rajin mengikuti kebaktian?"

"Sialan! Ngledekin gue! Udah buruan lo, bawain koper gue keluar. Hans udah nunggu di bawah. Ngomong- ngomong apartemen ini sewanya masih sisa tiga bulan, lo boleh stay di sini kalau mau."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status