“Aku mencintai Aldrich. Dia segalanya bagiku.”
“Cinta?” Garvin tertawa. Tawa yang menggelegar, tawa yang benar-benar lepas dan murni karena memang lucu. Cinta? Satu kata yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan konyol.
Alesha bangun. Berdiri di hadapan Garvin. “Apa ini artinya kau memaafkan Aldrich?”
Garvin mendadak terdiam. Menatap Alesha dengan tajam. Dia sedikit menunduk karena tinggi Alesha yang hanya sebatas lehernya. “Tidak ada kata maaf untuk penghianat. Aku harap dia berada di tempat paling buruk selain dunia ini.”
Wajah Alesha memerah menahan amarah. Tangannya mengepal—kemudian mengacungkan jari tengahnya pada Garvin. “Doa buruk akan kembali pada sang pemilik. Doa buruk akan menjadi boomerang untuk pemiliknya.”
“Mau kupotong jarimu hah?!”
Alesha segera menekuk jarinya kembali.
“Sekarang nikmati hidupmu di penjara ini. Kau akan mendapatkan penyiksaan sesuai urutan.” Garvin tersenyum mengerikan. Dia berjalan keluar—kemudian mengunci penjara yang ditempati Alesha.
Kepergian Garvin menyisakan Alesha sendirian. Tempat ini sedikit lebih baik daripada ruang hukuman di Panti. Alesha duduk di bawah dan bersandar di tembok. Di Panti ada ruang gelap tanpa cahaya sedikitpun. Ruangan itu adalah ruangan yang paling ditakuti oleh anak-anak. Fungsi ruangan itu untuk menghukum anak-anak yang mencoba melawan ataupun membangkang. Karena dua hal tersebut merupakan pelanggaran paling berat berdasarkan aturan yang telah ditetapkan Panti Asuhan.
Alesha memeluk dirinya sendiri. Tanpa Aldrich dunianya berantakan. Lantas untuk apa ia tetap bertahan tanpa adanya seseorang yang menata dunianya? Alesha mengusap air matanya sendiri. Lalu memejamkan mata.
~~
“Sir—pagi ini jadwal anda untuk mengecek gudang persediaan senjata yang akan diselundupkan ke Negara Perang.” Christ membacakan schedule Garvin di ruang makan.
Garvin sudah selesai dengan kegiatan sarapan. Kini ia menyeruput kopinya. “Tunda. Aku ingin bermain sebentar pagi ini.” Ia beranjak kemudian berjalan menuju ruang bawah tanah.
Sesampainya di ruang penjara yang ia tuju. Ia menatap seorang wanita yang meringkuk di bawah dengan mata yang masih tertutup.
“Bangunkan dia,” peirntah Garvin.
Anak buah yang bertugas menjaga Alesha berjalan mengambil satu ember air. Setelah itu membuka pintu dan langsung mengguyurkan air ke tubuh Alesha.
“BYUUR.”
Alesha terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. Air itu membasahi hampir seluruh tubuhnya. Ia melihat siapa pelukanya—seorang pria yang bertugas menjaga ruangannya. Ia mengepalkan tangannya. Tatapannya jatuh pada seorang pria yang menggunakan setelan jas lengkap rapi.
“Tidurmu nyenyak?” sapa Garvin.
“Bukan urusanmu,” balas cuek Alesha.
Garvin tertawa. “Kau lucu juga. Selain payah kau benar-benar bodoh. Tidak ada hal bagus di dirimu.” Menggeleng perlahan sembari menatap Alesha.
“Apa kau bilang?” Alesha melotot. “Walaupun aku payah dan bodoh. Aku berbakat, aku menyumbang banyak prestasi untuk akademi.” Kesal setengah mati. Alesha benar-benar marah apabila ada orang yang menghinanya. “Hanya orang-orang yang tidak percaya diri yang suka merendahkan orang lain.”
Membangun kepercayaan diri adalah hal yang paling susah dilakukan manusia. Alesha berhasil membangun kepercayaan dirinya tidak dalam hitungan menit. Lalu Garvin dengan lancang tanpa permisi ataupun say hello dulu akan meruntuhkan kepercayaan dirinya?
Alesha berjalan mendekat ke jeruji besi yang memisahkannya dengan pria itu. Garvin terlihat tersenyum. Jangan harap senyum yang bisa membuat jatuh hati. Yang ada adalah senyum mengerikan.
“Jangan tersenyum. Kau mengerikan.”
Garvin mengubah ekspresinya menjadi datar dan dingin. “Hukum dia.”
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat