Alesha tidak yakin. Ia tidak sepenuhnya mengerti. Namun dari ucapan kakek, ada kemungkinan Garvin semakin tertantang untuk menaklukannya. Bagaimanapun Garvin seorang pria yang banyak disukai wanita. Sering gonta-ganti pasangan. Alesha tidak akan mau terjebak dengan pria seperti itu. Mulai saat ini ia akan janji pada dirinya sendiri akan selalu menghindari Garvin.“Sebentar lagi ulang tahun perusahaan. Kamu harus ikut sama kakek.” Abraham mengusap tisu ke sudut bibirnya.“Tapi Alesha bukan keluarga kakek.”“Kamu lupa apa kata kakek?” Abraham beranjak dari duduknya. “Kamu cucu kakek. Sama seperti Garvin. Kamu harus ikut.”Alesha mengangguk pelan. Tidak bisa menolak.Seperti jarum jam yang diputar lebih cepat dua kali. Hari yang dinanti sudah tiba. Persiapan untuk merayakan ulang tahun perusahaan sepenuhnya telah rampung. Orang-orang antusias dengan pesta yang diadakan perusahaan besar seperti Viction grup.Alesha telah menyelesaikan riasannya. Ia turun—berjalan bersama kakek menuju mobi
“Selamat atas 35 tahun berdirinya perusahaanmu. Aku menyesal karena pernah meragukan putraku sendiri.” Abraham menepuk pelan bahu Sean.Dulu Abraham sempat meragukan kemampuan Sean mendirikan perusahaan tanpa campur tangannya. Tapi Sean berhasil membuktikannya dengan mendirikan perusahaan yang bersih tanpa hal-hal ilegal seperti bisnisnya. Abraham tentu saja bangga. Padahal dulu ia berniat memberikan Blackton pada Sean, namun ternyata Sean sudah sukses dengan perusahaannya sendiri.“Aku sudah melupakannya, Dad. Jangan mengatakannya lagi,” balas Sean.“Aku mengatakannya agar bisa selalu mengingat kesuksesan putraku.”Valencia sudah pergi bertemu dengan teman-teman sosialitanya. Sedangkan Alesha tidak tahan lagi ingin mencicipi beberapa kue ringan yang berada di meja pinggir. Ia pergi setelah mendapat ijin dari kakek.Sean menatap Alesha yang tengah menikmati camilan di pinggir. “Daddy benar-benar mengangkatnya sebagai cucu?”Abraham mengangguk ringan. “Aku ada janji dengan seseorang un
“Alesha.” Alesha menjabat tangan Ethan. “Shall we dance?” ajak Ethan. Alesha sempat berpikir. Jika tidak melakukan apapun dirinya akan semakin mengantuk. Karena itu ia menganggung, menerima ajakan Ethan untuk berdansa bersama. Tangan kiri Alesha memegang bahu Ethan. Sedangkan tangan kanannya saling bertaut dengan tangan Ethan. Mereka bergerak pelan. “Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya,” Ethan memulai percakapan. Alesha berputar dengan anggun. “Aku datang bersama kakekku.” “Siapa kakekmu mungkin aku mengenalnya,” balas Ethan. Ia mengikis jarak mereka. Ethan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Alesha. “Abraham. Aku cucu angkatnya,” jawab pelan Alesha. “Aku senang bisa mengenalmu, Alesha.” “Me too.” Waktunya berganti pasangan. Alesha berputar—ia tahu akan berpasangan dengan siapa. Yang pasti ia sudah mendarat di pelukan seorang pria. Bau parfum yang familiar. Alesha mendongak. Garvin memeluk pinggangnya. Sejak kapan pria ini berada di sini. Padahal tadi masih berada d
Alesha tidak tahu jika pergi ke Mansion Garvin membutuhkan waktu hampir 3 jam dari rumah kakek. Akses utama masuk ke dalam Mansion adalah memasuki gerbang utama—lalu melewati sebuah hutan. Alesha pernah melewati hutan itu hanya saja waktu itu sedang terburu-buru. Sehingga tidak sempat mengamati hutan yang sebenarnya sangat lebat dan menyeramkan. Utung saja saat Alesha perjalanan kabur tidak ada binatang yang menerkamnya. Menguap beberapa kali—akhirnya mobil yang ditumpanginya sampai di Mansion Garvin. Kemanapun ia tidak lupa meminta ijin pada kakek, kakek menyuruh bodyguard mengantarnya. Ada dua bodyguard yang ikut dengannya. Mereka duduk di depan. “Kalian menungguku?” tanya Alesha. Mereka kompak mengangguk. “Tuan menyuruh kami menunggu Nona sampai kembali pulang.” Alesha mengangguk. Ia turun dari Mobil. Padahal baru saja menginjakkan kaki di depan Mansion. Tapi hawa dingin langsung menembus kulitnya. Angin yang berhembus kencang membuat Alesha merinding. Jangan-jangan semesta tid
“Sekarang minum obat.” Alesha mengambil butir-butir obat yang sudah disiapkan oleh Xavier. Sedikit tersenyum. Garvin mengambil obat itu dari tangan Alesha. Meneguknya perlahan dengan air. “Sudah. Aku akan pulang.” Alesha mengemasi barang-barangnya. Ia memang berniat pulang setelah memastikan Garvin baik-baik saja. Setidaknya mau makan dan minum obat. Tiba-tiba teringat dengan kata-kata Xavier. Garvin bukan hanya demam. “Ada lagi yang sakit?” tanya Alesha kembali menurunkan paper bagnya. Garvin menunjuk perutnya. “Boleh aku melihatnya?” Garvin melepaskan kaosnya. Alesha berdecak pelan. Sebenarnya bisa membukanya sedikit saja tanpa melepaskan. Tapi sudah terlanjur. Akhirnya Alesha bisa melihat lebam biru di perut kirinya. “Kau berkelahi?” Mengangguk. “Dengan siapa?” “Anak buahku. Aku harus memastikan kekuatanku.” Alesha pergi ke dapur mengambil air hangat untuk mengompres luka Garvin. Ia mengambil duduk di samping. “Apa sakit?” “Tidak.” Alesha menekan kompresnya pada luka G
“Aku bisa sendiri.” Alesha menolaknya. Ia bangkit tanpa bantuan Garvin. Wanita itu benar-benar menyebalkan. Alesha dengan santai berjalan mendahului Garvin. Tapi dalam beberapa langkah, ia berhenti. Menoleh ke belakang kemudian tertawa pelan. “Aku hanya bercanda.” Alesha kembali. Kemudian mengambil tangan Garvin dan menariknya untuk berjalan bersama. “Mau bermain dengan anak-anakku?” “Anak-anak?” Alesha bingung. “Kau pernah menikah?” Tangan kanannya menggenggam tangan mungil Alesha. Rasanya sangat pas. Bahkan jari-jari mereka saling bertaut. Garvin suka—walaupun hal sederhana seperti ini yang ada di film romance kaum jelata yang menurutnya menjijikkan. Tapi Garvin mengakui sendiri jika hanya saling menggenggam tangan adalah hal yang indah. “Bukan—tapi sejenis peliharaanku. Mereka lucu-lucu mungkin kau akan suka.” Alesha berhenti. Mereka berada di ruang tamu. Ia menghadap Garvin, menyipitkan mata. “Come on, Garvin. Aku harus pulang. Jangan menahanku lagi.” Pintu dibuka. Alesha
Alesha sendiri merasakan perubahan dirinya. Mungkin karena dulu saat berada di Panti Asuhan terlalu terikat dengan peraturan. Gerak-gerik dan tingkah lakunya selalu terawasi, Alesha selalu bertutur kata sesuai dengan ajaran. “Jadi gini, Nona…” Marson mulai berbicara. Alesha mengangguk antusias. “Ehem.” Itu Orland yang bersiap mengacau. Meskipun menyetir ia masih bisa berbicara. “Orland aku tidak mengajakmu,” ucap Alesha pada Orland. “Ayo Marson. Teruskan.” “Jadi Nona. Tuan Garvin itu kejam.” “Aku sudah tahu,” balas cepat Alesha. “Tunggu jangan menyela, Nona. Aku belum selesai..” Alesha mengangguk. “Oke lanjut.” “Di bisnis gelap, Tuan Garvin sangat terkenal dengan kekejamannya. Siapapun yang berani menyentuh bisnisnya atau berusaha menjatuhkannya. Maka Tuan Garvin akan membalasnya dengan menghancurkan bisnis mereka sehancur-hancurnya tidak tersisa. Lalu untuk anak buahnya yang berhianat akan di tempatkan di penjara bawah tanah dan disiksa. Bukan hanya penghianat, tapi berlaku j
“T-tidak—jangan!” Luna bahkan terbata-bata. Ia melangkah mundur dengan seiringnya Garvin yang semakin mendekat. “Kenapa kau lancang sekali? Kau pikir kau siapa hah?” Garvin mengambil sebuah pisau lipat kecil. Mengotak-atiknya di depan Luna. “Bagaimana jika pisau ini membuat ukiran di tubuhmu?” “Jangan… aku tidak akan melakukan hal seperti ini lagi. Aku mohon ampuni aku.” Luna berlutut. Ia sampai bersujud di kaki Garvin agar diampuni. “Beritahu aku siapa yang menjadi mata-matamu di sini.” Garvin berjongkok. Luna mendongak. Ia menunjuk salah satu bodyguard yang berjaga di depan. Bodyguard itu menunduk—setelah itu segera mengangguk. “Kau dibayar berapa olehnya?” tanya Garvin pada Bodyguard itu. “Apa uangmu masih kurang selama bekerja denganku?” “Tidak, Sir. Ampun saya salah. Tolong ampuni saya. Tidak seharusnya saja mau disuruh oleh wanita j@lang itu.” Memohon dan bersujud. Bodyguard itu sunggu ketakutan. “Kau tahu? Aku tidak pernah mengampuni penghianat ataupun mata-mata. Meskipu