Beranda / Romansa / Terjebak Obsesi Sang CEO / 15. Jadi Miliknya Sampai Mati

Share

15. Jadi Miliknya Sampai Mati

Penulis: feynaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-01 10:28:09
Cahaya matahari menyelinap halus ke dalam ruangan melalui jendela villa Lorenzo. Memantul di lantai marmer yang dingin dan mengkilap.

Bau alkohol yang tajam memenuhi udara dalam ruangan yang remang-remang itu. Asap rokok masih mengepul dari sisa puntung di asbak.

Lorenzo duduk di sofa kulit tua, sebatang rokok menyala di antara jari-jarinya. Di depannya, meja kaca dipenuhi botol-botol alkohol—ada gelas wiski yang tinggal separuh.

Dering telepon memecah kehingan. Lorenzo mencondongkan tubuhnya ke arah meja untuk mengambil ponselnya. Tertera nama Alfonso di layar ponsel.

“Kau sudah membaca hasil diagnosisnya?” tanya Lorenzo tanpa basa-basi.

Suaranya serak saat berbicara. Ada ketegangan di dalamnya. Di ujung sana, suara Alfonso terdengar sangat hati-hati, seolah memilih kata-kata yang dapat diterima Lorenzo tanpa perdebatan.

“Ya, aku pernah menangani penyakit seperti ini beberapa bulan lalu,” jawab Alfonso tenang.

“Hipocampus Tumoris, penyakit yang diderita Ella merupakan t
feynaa

Disclaimer: Informasi tentang penyakit Hippocampus Tumoris ini tidak sepenuhnya nyata, ya, alias campuran dengan fiksi

| 1
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   39. Hari yang Buruk

    Langit mulai meredup saat Lorenzo kembali ke rumah sakit, tepatnya kini ia berada di taman rumah sakit. Tempat yang cukup segar dan cukup sepi untuk membicarakan hal pribadi. Thomas duduk sendirian di kursi kayu, di bawah pohok oak. Membungkuk dan menunduk menatap bir kaleng di tangannya. Ia melirik Lorenzo yang baru saja duduk di sebelahnya dengan santai. Seketika tubuh Thomas terasa menegang dan kewaspadaan dirinya langsung aktif karena aura menyeramkan yang dibawa Lorenzo.bPria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam yang dibalut jaket kulit. Bersih, tidak ada lagi noda darah yang terlihat. Namun, rambutnya berantakan menunjukkan dirinya masih terlihat kacau. Wajahnya masih menunjukkan ketegasan, seolah ia tidak punya emosi lain. Tanpa kata, Lorenzo langsung menyodorkan beberapa lembar foto kepada Thomas dari dalam saku jaketnya. Mata Thomas mendelik, melihat foto Victor Harper dalam keadaan mengenaskan. “Mengenalnya?” tanya Lorenzo basa-basi. Wajah Thomas s

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   38. Balas Dendam

    Di ruang remang-remang dalam bangunan kotruksi tua di pinggiran kota yang sudah tidak beroperasi lagi, kini dikuasi oleh Lorenzo dan bawahannya. Suasana terlihat sangat mencekam karena dikelilingi oleh pria berbadan besar dengan wajah yang dingin. Lorenzo berdiri di tengah ruangan, menatap seorang pria dengan wajah lebam tergantung di depannya. Kedua tangannya terangkat diikat kuat. Kakinya yang terikat bahkan tidak menyentuh lantai, membuat posisinya sedikit lebih tinggi dari Lorenzo. Mata pria itu ditutup kain hitam, mulutnya disumpal kain tebal, meredam teriakan dari perlawanannya. Lorenzo menadahkan tangannya pada Alessio, pria itu meletakkan sebuah belati di telapak tangan Lorenzo. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Thomas,” kata Lorenzo dengan yang sangat rendah, tapi tajam. Jemarinya memainkan gagang belati dengan gerakan memutar yang santai. sedangkan tangannya yang lain terselip di saku celananya. “Namun, menargetkan putrinya adalah kesalahan besar,” desisnya penuh

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   37. Kebenaran yang Tak Terucap

    Fajar hampir muncul di cakrawala,tapi Ella masih belum sadarkan diri. Lorenzo menunggu, duduk di kursi keras lorong rumah sakit. Tubuhnya masih penuh ketegangan, terjaga semalaman penuh. Tidak berpindah posisinya sejak berjam-jam yag lalu. Menggeggam erat-erat ponselnya. Belum juga ada kabar dari Alfonso mengenai pelaku penikaman itu. Ia menyisir rambutnya yang sudah berantakan Suara langkah memecah keheningan lorong rumah sakit. Lorenzo mengangkat wajahnya dan mendapati Thomas dan Keran berjalan cepat menuju tempatnya duduk. Mata Thomas berkilat penuh amarah. Hal yang sudah Lorenzo duga, tatapan pria baya itu tidak pernuh melembut padanya. “Kau! Lihat apa yang kau lakukan! Ini semua salahmu! Kau membuatnya dalam bahaya!” sembur Thomas dengan suara meninggi. Thomas mencengkeram kerah kemeja Lorenzo hingga pria itu berdiri dari duduknya. Lorenzo bergeming, membeiarkan amarah Thomas meluapkan emosnya. Sebab jauh di lubuk hatinya, ada persan bersalah juga yang membuatnya ti

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   36. Prioritas Lorenzo

    “PANGGIL AMBULANCE!” Pengunjung yang berlalu lalng berteriak panik ketika melihat Ella terbaring di atas tanah. Rasa sakitnya mulai samar-samar di ambang kesadarannya yang mulai menipis. Suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar-samar. Matanya setengah terbuka, wajahnya pucat pasi. Teriakan-teriakan itu mengusik fokus Lorenzo. Ia langsung menoleh penasaran ke asal suara. Ia mendapati beberapa orang sedang berkerumun tidak jauh dari tapatnya berdiri. Saat itu ia baru menyadari ketidakhadiran Ella di sisinya. Keningnya, bekerut fokusnya buyar. Suara di seberang telepon terabaikan. Langkahnya terayun mendekati kerumunan itu. Matanya melebar, tangannya yang memegang ponsel terjatuh di sisinya. Napasnya terhenti seketika melihat Ella tergeletak tak berdaya di atas aspal. darah menggenang di sisi tubuhnya. “ELLA!” teriak Lorenzo panik. Ia sontak berlutut di sebelah gadis itu. Melepas jasnya untuk menghentikan pendarahan Ella. tangannya gemetar hebat saat menekan luka itu. “Lo

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   35. Kencan Berujung Celaka

    Ketidakhadiran Lorenzo pada makan malam keluarga Ella justru menjadi anugrah terindah untuk mereka. Pria itu menghilang tanpa pesan sejak siang setelah dering telepon yang tidak bekesudahan menyerbu ponselnya. Makan malam ini terasa seperi wujud dari impian Ella. Aroma masakan ibunya mengisi ruangan, candaan-candaan Thomas—yang meskipun kuno berhasil menciptakan tawa memenuhi ruang makan, terasa hangat, penuh kasih sayang. Sejenak mereka lupa tentang ketegangan pagi tadi, lupa tentang Lorenzo. Malam ini hanya ada mereka, keluaraga bahagia yang kembali bercengkerama tanpa khawatir hari esok. Ella makan dengan lahap, sangat menikmati masakan Karen yang terasa seperti hal langka untuknya. Ia megbadikan setiap momen di sini. Karen yang menceritakan gosip tentang tetangga mereka saat ia membantu Karen masak. Kejahilan Thomas padanya yang membuatnya merajuk, tapi kemudian kembali tersenyum ketika mendengar cadaan Thomas. “Siapa yang menyisakan makanannya bersisa harus cuci piri

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   34. Reuni Keluarga

    Norman, Oklahoma Di balik sikap Lorenzo yang seperti iblis, dengan segala tindakannya ang melebihi batas moral, namun perkataan pria itu selalu bisa dipegang. Setiap kata yang terucap dari bibirnya adalah kenyataan. Pria itu membuktikannya dengan mengantar Ella menemui orang tuanya di Oklahoma, tanah kelahiran Ella. Langit Oklahoma biru cerah, secerah wajah Ella yang antusias menemui orang tuanya. Gadis itu buru-buru keluar dari mobil ketika mereka sudah sampai di pekaranagn rumah dua lantai bercat putih gading. Ia berlari kecil menuju pintu rumah. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar, senyum tak pernah pudar sejak ia meninggalkan penthouse bebera jam yang lalu. “Ibu! Ayah!” Ella berseru dengan suara yang manja, hampir jarang Lorenzo dengar karena Ella selalu bicara dengan nada sinis dengannya. Ia menghambur kepelukan pasangan baya yang berada di ruang tamu. Lengannya yang kecil mendekap dua tubuh sekaligus. Suasana menadi penuh haru, tapi hangat. Mata ibunya berkac

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status