Aroma manis yang bercampur aroma bunga segar menguar dari parfum menguar di dalam kamar Ella ketika Lorenzo memasuki kamar gadis itu. Ia memperhatikan penampilan Ella yang sedang berdiri di depan cermin, memunggunginya. Wajahnya sudah dipoles dengan make up, rambut cokelatnya yang lurus dibuat bergelombang. Tubuh rampingnya dibalut dengan gaun merah ketat yang mengeskpos bahunya dan memiliki belahan setinggi paha yang mengekspos kaki jenjangnya. Rahang Lorenzo mengetat, sisi posesifnya muncul. Ia melangkah mendekati gadis itu, tapi mata mengarah pada Jessica. “Apaan ini, Jessica? Sudah kubilang, aku tidak ingin Ella memakai gaun yang terbuka.” Jessica mengedikkan bahunya, ia tersenyum tipis. “Lorenzo, tapi gaun ini sangat sempurna di tubuh Ella, aku bahkan iri denganya,” aku Jessica disertai senyum puas. Lorenzo mendengus, ia beralih menatap tajam Ella melalui pantulan cermin. “Ganti pakaianmu sekarang,” titah Lorenzo pada Ella. Ella membalikkan tubuhnya dengan anggun.
Sinar matahari pagi yang menerobos masuk kamar Ella melalui tirai tipis itu dengan lembut menyapu wajahnya. Mata sembab dan bengkak gadis itu perlahan terbuka. Ia bergerak perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Tubuhnya terasa sangat lelah dan kaku. Ia mengusap wajahnya kemudian melangkah memasuki kamar mandi dengan langkah gontai, berdiri di depan wastafel. Cermin oval di hadapannya memantulkan sosoknya yang pucat dan lesu. Pandangannya tertuju pada pelipis kanannya, tepat pada luka yang ditutup dengan kassa dan plester. Tangannya tegerak membuka penutup luka itu. Hingga terlihat jelas sebuah luka gores yang panjang dengan warna kemerahan dan sedikit bengkak. Ingatan tentang kejadian kemarin menyeruak di ingatanya—kecelakan di mal, mimpi buruknya, pelukan Lorenzo semalam. Dadanya tiba-tiba terasa seperti ditekan oleh benda berat membuat merasa sesak. Tangannya mencengkram kuat pinggiran wastafel. Jantungnya berdetak dengan kencang hingga ia bisa mendengar suara jant
Ella.” Lorenzo beranjak menyusulnya, mencoba meraih tangan Ella untuk menghentikannya. Namun, Ella menepisnya kasar seolah sentuhan Lorenzo menyakiti kulitnya. “James sudah keluar dari penjara, dia pasti mencariku dan ibuku sekarang. Dia pasti akan datang untuk menyakitiku dan ibuku seperti dulu,” gumam Ella dengan suara serak yang bergetar hebat. Setiap kata keluar disertai isakan dan napas yang terputus-putus. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia dengan asal-asalan memasukkan semua pakaian di lemari ke dalam koper, merampas apa pun yang ada di sana. “Ella, hentikan. Coba lihat aku, coba dengarkan aku dulu, Sayang,” bujuk Lorenzo dengan suara rendah penuh permohonan putusa asa. “Tidak, Lorenzo, aku tidak punya waktu. James sebentar lagi akan datang, ibu dalam bahaya, dia sendirian Lorenzo, aku harus melindunginya,” racau Ella dengan satu tarikan napas. Air mata Ella berjatuhan membasahi pakaian di dalam kopernya. “Mimpi itu adalah pertanda bahwa kejadian di masa lalu akan ter
Ella kecil, berusia delapan tahun, berdiri mematung di ambang pintu masuk bersama neneknya di sebelahnya yang mencengkram erat tangannya. Wajar neneknya pucat, keterkejutan tergambar di wajahnya menyaksikan James—menantunya—mengamuk seperti setan kerasukan dan Karen yang sudah terbaring lemah di ruang tamu. Dengan cepat ia segera membawa Ella masuk ke kamar. Ia mendorong Ella masuk kamar, setelahnya menutup pintu dan berlari melindungi Karen dari kegilaan James. Ella yang belum memahami keadaan dengan penuh rasa penasaran itu mengintip dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Matanya melebar, air mata seketika berderai, tubuhnya bergetar dan berkeringat dingin. Rasa takut menyerang begitu melihat James menendang brutal tubuh Karen yang sudah tidak berdaya di bawah lantai. Tangan mungil Ella yang gemetar menjatuhkan piala yang digenggamnya—piala yang ingin ia banggakan di hadapan kedua orang tuanya atas prestasi yang diraihnya kini tidak ada artinya—piala itu patah. Tub
"Pembayaran sudah berhasil dilakukan, Tuan, mohon maaf atas ketidaknyamanannya,” ucap pramuniaga dengan nada sungkan dan senyum kaku sembari menyerahkan struk belanja dan paper bag berisi kotak sepatu kepada Lorenzo. Lorenzo mendengus jengkel, kesabarannya menipis setelah ia dibuat menunggu beberapa menit karena mesin pembayaran yang error. Dengan langkah tegas ia kembali menemui Ella di tempat terakhir ia meminta gadis itu menunggunya. Namun, tempat itu kini kosong. Gadis itu sudah menghilang. Lorenzo menggeram jengkel, matanya spontan berpendar ke seluruh ruangan. Seperti biasa, Ella tidak bisa menurut dan mendengarnya. Gadis itu selalu punya cara tersendiri untuk membuat kesabarannya habis tidak tersisa. “Ahk! Lepaskan aku!” Samar-samar ia mendengar suara gadis itu di balik etalase pakaian. Lorenzo melangkah lebar-lebar menuju suara itu. Firasat buruk sudah merayap di hati dan pikirannya. Insting protektifnya langsung mengambil alih. Brak! Tubuh Lorenzo menegang, napasnya t
Sarapan kali ini terasa lebih tenang dari sarapan-sarapan sebelumnya. Ella mengunyah sandwich. Matanya sesekali melirik Lorenzo yang sedang menyeruput kopi sambil membaca sebuah dokumen di sebelahnya cangkir kopinya Pria itu akhir-akhir ini benar-benar sangat sibuk. Bahkan untuk sekedar makan saja dia tidak bisa lepas dari pekerjaannya. Ella menghela napas, di saat-saat sunyi dan tenang seperti ini, pikirannya sangat berisik. Beratnya percakapan dengan Jessica kemarin, kekhawatirannya akan masa depan, dan perasaan yang ia abaikan timbul memenuhi pikirannya. Ia tidak bisa mengatasi kebisingan pikirannya, ia harus mengalihkan perhatian ke hal lain. Ella menelan sisa sandwich di mulutnya dan meneguk jus jeruk segar dengan terburu-buru. Kemudian menatap Lorenzo. “Lorenzo,” panggilnya pelan. “Hmm?” balas Lorenzo acuh tak acuh, bahkan tidak menatap Ella. Ella berdehem. “Maukah kau mengajak Jessica ke sini? Aku butuh teman.” Lorenzo perlahan mengalihkan pandangannya menatap E