Beranda / Romansa / Terjebak Perangkap Sang CEO / 4. Mengambil Keputusan

Share

4. Mengambil Keputusan

Penulis: nesitara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-18 15:22:18

“Apa?!”

Baik itu Kumala maupun Aruna, keduanya sama-sama terkejut mendengar ucapan Baskara.

Aruna ingin membantah, tetapi Baskara semakin mengeratkan tangannya pada Aruna, seakan tidak membiarkan gadis itu mengucap kata apapun.

“Kamu bercanda ‘kan, Baskara?” tanya Kumala dengan penuh ketidakpercayaan.

Baskara tersenyum singkat pada Aruna untuk menunjukkan keseriusannya di hadapan sang ibu. “Aku serius, Ma. Aku akan menikahi Aruna.”

Aruna semakin panik. Ia ingin memberontak, tetapi rasanya sangat sulit karena Baskara terus menekannya. Akhirnya, Aruna hanya bisa menahan kekesalannya dalam diam.

“Tapi dia karyawanmu?! Kamu seharusnya menikah dengan wanita yang setara denganmu, bukan dengan pegawai rendahan seperti dia ini!” hardik Kumala.

“Ma!” sentak Baskara, ia maju satu langkah, dan melepas rengkuhannya pada pinggang Aruna. “Aku tidak mau mendengar Mama berbicara jelek tentang Aruna.”

Tatapan Kumala beralih pada Aruna. Seketika Aruna merasa dilecehkan hanya dengan ditatap oleh wanita itu. Kumala menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan, seakan dirinya makhluk hina, bukan manusia.

Namun, Aruna hanya berani menunduk, tidak berani menatap balik ke arah Kumala, apalagi menyela percakapan antara kedua orang di hadapannya. Jelas ia tidak punya kuasa apa pun di sini.

Kumala bergerak menuju Aruna dan menatap gadis itu tajam. “Apa yang membuat kamu berpikir kamu pantas untuk anak saya?”

Bibir Aruna kelu, tidak sanggup untuk menjawab, juga tidak tahu harus menjawab apa. Ribuan kata berputar dalam kepalanya, namun tidak ada satupun yang berhasil terucap.

Sepertinya Baskara melihat kegugupan Aruna. Pria itu berjalan kembali ke dekat Aruna dan menjawab pertanyaan ibunya. “Karena Aruna mengandung anakku.”

Apa?!

Aruna dan Kumala kembali memandang Baskara dengan tatapan membelalak tidak percaya. Aruna mengumpat dalam hati.

Baskara sudah tidak waras! Kegilaan apa lagi ini?!

“Hamil?!” ulang Kumala dengan penuh penekanan dan keterkejutan.

Namun Baskara dengan tenang kembali menjelaskan. “Aku telah menghamili Aruna, maka dari itu aku harus bertanggungjawab dan akan menikahinya.”

“T-tapi…kamu seharusnya menikah dengan wanita yang Mama dan Papa pilihkan!” bentak Kumala masih tidak percaya.

Baskara menggeleng. “Tidak. Aku akan tetap menikahi Aruna.”

Kumala kembali menatap Aruna dengan tatapan tajam. Wanita itu melangkah dan mendorong Aruna hingga tubuh sang gadis terhuyung. “Kamu mau memanfaatkan Baskara, ‘kan?! Kamu menjebaknya, ‘kan?!”

Dilanda bingung, Aruna menggeleng. Air mata sudah memenuhi kelopaknya, satu gerakan saja maka cairan bening itu akan meluncur. Namun Aruna menahannya. Ia tidak mau menangis di hadapan orang-orang yang merendahkannya seperti ini.

Lagipula, siapa yang dijebak di sini? Harusnya Aruna yang memprotes karena Baskara melibatkannya dalam situasi-situasi gila.

“Gugurkan saja!” perintah Kumala.

“Tidak!” tegas Baskara. Ia maju selangkah, berdiri lebih tegak untuk mengintimidasi ibunya sendiri. “Ini adalah anakku, juga keturunan Mama. Apa Mama tega membunuh cucu Mama sendiri?”

Kumala bungkam. Jelas sebenarnya ia juga tidak bisa melakukan itu karena akan mencoreng nama keluarganya, tetapi ia tidak rela jika mendapat keturunan dari kalangan bawah.

“Sekali saja Mama dan Papa ikut campur dengan hubunganku dan Aruna, aku tidak akan segan bertindak,” kata Baskara lagi dengan penuh penekanan dan peringatan.

Untungnya percakapan terputus oleh panggilan mendadak yang mengharuskan ibu Baskara segera pergi. Segera saja Aruna mengambil kesempatan itu untuk segera keluar dari ruangan Baskara. Namun pria itu masih saja menahannya.

“Pak Baskara, lepas!” tolak Aruna. “Saya harus memberitahu yang sebenarnya pada ibu Anda!”

“Silakan kalau kamu mau kehilangan pekerjaanmu,” ucap Baskara tanpa rasa bersalah.

Aruna menggertakkan giginya. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.

“Lagipula sudah terlambat. Kita tetap akan menikah,” ucap Baskara lagi.

Melepaskan paksa pegangan Baskara di tangannya, Aruna meledak. “Pak Baskara tidak waras?! Saya tidak bisa menerima permintaan gila ini!”

“Sudah pernah aku katakan Aruna. Aku tidak suka penolakan,” kata Baskara tenang.

Belum sempat Aruna mengeluarkan kata-kata lagi, ponsel yang ada di sakunya tiba-tiba bergetar. Aruna melirik layar, dahinya mengernyit melihat nama yang muncul. Itu adalah adiknya.

Perasaan tidak enak langsung menyeruak di dadanya. Dengan cepat, ia mengangkat telepon itu.

Setelah panggilan telepon terputus, Aruna terdiam. Ucapan seorang dokter yang menyatakan bahwa ibunya harus segera dioperasi karena adanya sel kanker di otaknya, terus terngiang di kepalanya. Dua hari yang lalu, ibunya sempat jatuh dan dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Sekarang, hasil pemeriksaan itu telah keluar.

Biaya operasi itu tidak ditanggung asuransi, lalu dari mana Aruna bisa mendapat uang ratusan juta untuk operasi ibunya dalam waktu dua hari?

“Bagaimana, Aruna?” tanya Baskara yang sedikit merasa aneh karena Aruna mendadak diam.

Mendengar itu, lamunan Aruna buyar. Ia menatap Baskara dan kembali mengingat tawaran pernikahan itu.

Apa mungkin ini bisa menjadi jalan keluar?

Sejenak Aruna kembali merasa bimbang. Meskipun ia telah tidur dengan Baskara, tetapi itu juga karena kesalahannya sendiri. Ia tidak bisa menikah dengan pria itu dan ikut masuk dalam kehidupan keluarga kaya raya. Jelas ia mungkin akan menjadi bulan-bulanan di sana karena berasal dari keluarga berbeda. Hidupnya tidak akan bisa tentram setelah itu.

Namun, bagaimana Aruna harus mencari uang sebanyak itu?

Ayah Aruna entah ada di mana, tidak pernah lagi menghubungi mereka. Di keluarganya, hanya ia yang bisa diandalkan.

“Kalau saya menikah dengan Bapak, apa yang akan saya dapatkan?” tanya Aruna tiba-tiba, seolah alam bawah sadarnya yang bergerak sendiri.

“Apa pun yang kamu mau. Uang, rumah, mobil, terserah kamu,” jawab Baskara tanpa rasa curiga.

“Boleh saya minta uang 200 juta?” tanya Aruna lagi.

Baskara mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan sikap Aruna yang mendadak berubah. Namun, ia tidak begitu peduli, selama Aruna mau menikah dengannya.

“Boleh saja,” jawab Baskara.

“Kalau begitu, saya mau menikah dengan Bapak.” 

Baskara tersenyum puas mendengar ucapan Aruna. “Oke, kita menikah sekarang. Kamu bawa kartu identitasmu, kan?”

Aruna menganga, tidak menduga bahwa itu akan terjadi hari ini. “Bawa, Pak. Tapi, ini terlalu cepat, Pak.”

“Lebih cepat, lebih baik,” kata Baskara. Ia meraih jas yang sebelumnya ia letakkan di kursi kerja, lalu berjalan keluar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. “Ayo, cepat.”

“Pak, tapi …” Aruna berjalan tergesa mengikuti langkah Baskara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   83. Spekulasi Yang Beredar

    Sehari setelah acara tabur bunga di laut, halaman depan media nasional dipenuhi foto keluarga Adiwireja. Ada gambar Oma dengan wajah tua yang sembab, Kumala yang menggenggam foto Baskara erat-erat, dan tentu saja yang paling banyak tersebar dan menarik perhatian, foto Aruna yang menunduk dengan wajah pucat ditemani Arga di sampingnya.Judul-judul besar mengiringi: “Air Mata Aruna di Laut: Perpisahan Terakhir untuk Baskara Adiwireja.” “Arga Adiwireja, Setia Mendampingi Ipar.” “Siapa Aruna? Perempuan di Balik Kisah Cinta Terakhir Baskara.”Aruna membaca sekilas dari layar ponselnya, lalu buru-buru menutup. Dadanya berdenyut sakit. Seolah semua orang kini ikut masuk ke dalam luka yang seharusnya hanya miliknya.Di ruang makan vila, ia duduk sambil memegang gelas teh hangat yang tidak disentuh. Anindya memperhatikannya khawatir. “Kak, jangan buka berita dulu. Itu cuma bikin Kakak makin sakit.”Aruna mengangguk, tapi tatapannya tetap kosong. “Kenapa semua orang tidak punya empati? Merek

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   82. Bunga Terakhir

    Hari itu, langit Lombok diselimuti awan tipis. Laut yang biasanya biru cerah kini terlihat muram, seolah ikut berduka. Di dermaga yang disterilkan untuk acara tabur bunga, keluarga besar Adiwireja berdiri dalam diam. Mereka baru saja kembali dari Jakarta untuk satu tujuan sama yaitu menggelar peringatan terakhir bagi Baskara Adiwireja, putra sulung, penerus keluarga, yang kini secara resmi dinyatakan hilang di laut.Di antara kerumunan, Aruna berdiri dengan wajah pucat. Pakaiannya serba hitam, selaras dengan warna perasaannya. Rambutnya digerai, matanya sembab karena tangis yang tidak kunjung reda. Sejak kabar pencarian dihentikan, ia belum pernah benar-benar pulih. Tubuhnya masih ada di sini, tapi hatinya seakan terkubur bersama lautan.Arga berdiri di sisi kanannya, selalu siaga menjaga. Di sisi kiri, Anindya menggenggam tangannya erat. Seolah-olah keduanya sepakat untuk tidak membiarkan Aruna jatuh, meski diri masing-masing tampak hanya bertahan dengan sisa tenaga.Wartawan sudah m

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   81. Melewati Duka

    Hingga beberapa hari selanjutnya, kabar baik belum juga menghampiri.Langit pagi itu berwarna abu-abu pucat, seolah tahu bahwa hari ini akan menjadi penutup bagi semua harapan yang masih tersisa. Laut di hadapan Aruna bergelombang kecil, memantulkan cahaya mentari yang tertutup mendung tipis. Desir angin terasa dingin, menusuk ke dalam dada yang sudah penuh dengan luka.Aruna tanpa lelah tetap berdiri di tepi pantai setiap harinya. Kakinya nyaris tertanam dalam pasir yang lembap. Rambutnya yang panjang tertiup angin, menempel di wajah yang pucat dan letih. Di belakangnya, beberapa anggota Tim SAR bersiap dengan peralatan mereka. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, mereka akan melanjutkan pencarian. Namun sejak pagi, Aruna bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ada nada keletihan dalam gerak mereka, ada kerutan berat di wajah para penyelamat yang selama ini tak pernah menyerah.“Bu Aruna, kami akan berangkat lagi,” ucap salah seorang anggota tim sambil menunduk hormat.Aruna hanya me

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   80. Menenangkan Diri

    Arga menggenggam lengan Aruna dengan hati-hati, seolah takut ia akan hancur menjadi serpihan berantakan bila disentuh terlalu keras. Dari beranda penginapan, pria itu menuntunnya perlahan menuruni tangga kayu, membawa langkah-langkah kecil itu menuju jalan setapak berpasir yang mengarah ke pantai.Langit sudah mulai cerah. Sinar matahari menimpa permukaan laut, berkilau keperakan terlihat indah. Tapi bagi Aruna, indahnya pagi itu terasa menyakitkan. Bagaimana bisa dunia tetap bersinar, sementara hatinya tenggelam dalam kegelapan?Aruna membiarkan Arga menuntunnya tanpa perlawanan. Kepalanya menunduk dan matanya kosong. Hanya suara ombak yang semakin dekat mengisi telinganya, setiap debur mengingatkannya pada momen ketika Baskara hilang dari pandangan.Saat kaki mereka menyentuh pasir yang masih lembap, Arga melepaskan genggamannya. Ia berdiri di samping Aruna, memberi ruang. “Kamu mau duduk di sini?” tanyanya pelan.Aruna tidak menjawab. Ia melangkah sendiri, berjalan hingga batas pasi

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   79. Yang Merasa Kehilangan

    Suasana ruang makan akhirnya kembali hening setelah isakan Aruna perlahan mereda. Teh manis di gelasnya sudah dingin, sarapan di piringnya tinggal separuh, tapi setidaknya ia berusaha menelan sesuatu demi menuruti Oma. Ruangan itu terasa pengap oleh perasaan duka yang tidak terucap. Namun paling tidak perasaan Aruna sedikit lebih hangat oleh upaya Oma dan Arga yang menemaninya.Aruna menyandarkan sendok, menarik napas panjang, lalu menatap Oma dengan mata sembab. “Terima kasih sudah memaksa aku keluar kamar, Oma. Terima kasih karena terus menyemangatiku. Arga juga.”Oma mengusap punggung tangan Aruna dengan lembut. “Kamu sudah berusaha. Itu yang penting. Jangan pikir kamu harus kuat setiap saat. Menangis pun tidak apa-apa.”Arga hanya mengangguk pelan, wajahnya menyiratkan kelelahan sekaligus keprihatinan. Ia tahu s

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   78. Pagi Memilukan

    Pagi datang dengan enggan. Cahaya matahari menembus tirai tipis jendela kamar yang Aruna huni. Cahaya itu berwarna pucat, seakan segan menyentuh dunia yang sedang berduka. Aruna terbangun dengan kepala berat, mata sembab, dan tubuh lelah seolah semalaman ia berlari tanpa henti. Padahal kenyataannya ia hanya tenggelam dalam mimpi buruk tentang Baskara yang datang dan pergi dalam satu tarikan napas.Suara ombak dari kejauhan masih terdengar samar-samar berirama konstan. Namun bagi Aruna suara itu kini menyakitkan. Setiap debur ombak mengingatkannya pada air laut yang menelan Baskara. Ia menatap kosong ke langit-langit kamar, membiarkan air mata kembali mengalir tanpa bisa dicegah.Ponsel di meja samping ranjang bergetar. Awalnya ia tidak ingin peduli. Namun getaran itu terus berulang, membuat hatinya resah. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Di layar tertera nama adiknya.Anindya.Aruna menahan napas. Bagaimana kabar ini sampai ke telinga Anindya? Ia bahkan belum sempat memberi tahu si

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status