“Apa?!”
Baik itu Kumala maupun Aruna, keduanya sama-sama terkejut mendengar ucapan Baskara.
Aruna ingin membantah, tetapi Baskara semakin mengeratkan tangannya pada Aruna, seakan tidak membiarkan gadis itu mengucap kata apapun.
“Kamu bercanda ‘kan, Baskara?” tanya Kumala dengan penuh ketidakpercayaan.
Baskara tersenyum singkat pada Aruna untuk menunjukkan keseriusannya di hadapan sang ibu. “Aku serius, Ma. Aku akan menikahi Aruna.”
Aruna semakin panik. Ia ingin memberontak, tetapi rasanya sangat sulit karena Baskara terus menekannya. Akhirnya, Aruna hanya bisa menahan kekesalannya dalam diam.
“Tapi dia karyawanmu?! Kamu seharusnya menikah dengan wanita yang setara denganmu, bukan dengan pegawai rendahan seperti dia ini!” hardik Kumala.
“Ma!” sentak Baskara, ia maju satu langkah, dan melepas rengkuhannya pada pinggang Aruna. “Aku tidak mau mendengar Mama berbicara jelek tentang Aruna.”
Tatapan Kumala beralih pada Aruna. Seketika Aruna merasa dilecehkan hanya dengan ditatap oleh wanita itu. Kumala menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan, seakan dirinya makhluk hina, bukan manusia.
Namun, Aruna hanya berani menunduk, tidak berani menatap balik ke arah Kumala, apalagi menyela percakapan antara kedua orang di hadapannya. Jelas ia tidak punya kuasa apa pun di sini.
Kumala bergerak menuju Aruna dan menatap gadis itu tajam. “Apa yang membuat kamu berpikir kamu pantas untuk anak saya?”
Bibir Aruna kelu, tidak sanggup untuk menjawab, juga tidak tahu harus menjawab apa. Ribuan kata berputar dalam kepalanya, namun tidak ada satupun yang berhasil terucap.
Sepertinya Baskara melihat kegugupan Aruna. Pria itu berjalan kembali ke dekat Aruna dan menjawab pertanyaan ibunya. “Karena Aruna mengandung anakku.”
Apa?!
Aruna dan Kumala kembali memandang Baskara dengan tatapan membelalak tidak percaya. Aruna mengumpat dalam hati.
Baskara sudah tidak waras! Kegilaan apa lagi ini?!
“Hamil?!” ulang Kumala dengan penuh penekanan dan keterkejutan.
Namun Baskara dengan tenang kembali menjelaskan. “Aku telah menghamili Aruna, maka dari itu aku harus bertanggungjawab dan akan menikahinya.”
“T-tapi…kamu seharusnya menikah dengan wanita yang Mama dan Papa pilihkan!” bentak Kumala masih tidak percaya.
Baskara menggeleng. “Tidak. Aku akan tetap menikahi Aruna.”
Kumala kembali menatap Aruna dengan tatapan tajam. Wanita itu melangkah dan mendorong Aruna hingga tubuh sang gadis terhuyung. “Kamu mau memanfaatkan Baskara, ‘kan?! Kamu menjebaknya, ‘kan?!”
Dilanda bingung, Aruna menggeleng. Air mata sudah memenuhi kelopaknya, satu gerakan saja maka cairan bening itu akan meluncur. Namun Aruna menahannya. Ia tidak mau menangis di hadapan orang-orang yang merendahkannya seperti ini.
Lagipula, siapa yang dijebak di sini? Harusnya Aruna yang memprotes karena Baskara melibatkannya dalam situasi-situasi gila.
“Gugurkan saja!” perintah Kumala.
“Tidak!” tegas Baskara. Ia maju selangkah, berdiri lebih tegak untuk mengintimidasi ibunya sendiri. “Ini adalah anakku, juga keturunan Mama. Apa Mama tega membunuh cucu Mama sendiri?”
Kumala bungkam. Jelas sebenarnya ia juga tidak bisa melakukan itu karena akan mencoreng nama keluarganya, tetapi ia tidak rela jika mendapat keturunan dari kalangan bawah.
“Sekali saja Mama dan Papa ikut campur dengan hubunganku dan Aruna, aku tidak akan segan bertindak,” kata Baskara lagi dengan penuh penekanan dan peringatan.
Untungnya percakapan terputus oleh panggilan mendadak yang mengharuskan ibu Baskara segera pergi. Segera saja Aruna mengambil kesempatan itu untuk segera keluar dari ruangan Baskara. Namun pria itu masih saja menahannya.
“Pak Baskara, lepas!” tolak Aruna. “Saya harus memberitahu yang sebenarnya pada ibu Anda!”
“Silakan kalau kamu mau kehilangan pekerjaanmu,” ucap Baskara tanpa rasa bersalah.
Aruna menggertakkan giginya. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.
“Lagipula sudah terlambat. Kita tetap akan menikah,” ucap Baskara lagi.
Melepaskan paksa pegangan Baskara di tangannya, Aruna meledak. “Pak Baskara tidak waras?! Saya tidak bisa menerima permintaan gila ini!”
“Sudah pernah aku katakan Aruna. Aku tidak suka penolakan,” kata Baskara tenang.
Belum sempat Aruna mengeluarkan kata-kata lagi, ponsel yang ada di sakunya tiba-tiba bergetar. Aruna melirik layar, dahinya mengernyit melihat nama yang muncul. Itu adalah adiknya.
Perasaan tidak enak langsung menyeruak di dadanya. Dengan cepat, ia mengangkat telepon itu.
Setelah panggilan telepon terputus, Aruna terdiam. Ucapan seorang dokter yang menyatakan bahwa ibunya harus segera dioperasi karena adanya sel kanker di otaknya, terus terngiang di kepalanya. Dua hari yang lalu, ibunya sempat jatuh dan dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Sekarang, hasil pemeriksaan itu telah keluar.
Biaya operasi itu tidak ditanggung asuransi, lalu dari mana Aruna bisa mendapat uang ratusan juta untuk operasi ibunya dalam waktu dua hari?
“Bagaimana, Aruna?” tanya Baskara yang sedikit merasa aneh karena Aruna mendadak diam.
Mendengar itu, lamunan Aruna buyar. Ia menatap Baskara dan kembali mengingat tawaran pernikahan itu.
Apa mungkin ini bisa menjadi jalan keluar?
Sejenak Aruna kembali merasa bimbang. Meskipun ia telah tidur dengan Baskara, tetapi itu juga karena kesalahannya sendiri. Ia tidak bisa menikah dengan pria itu dan ikut masuk dalam kehidupan keluarga kaya raya. Jelas ia mungkin akan menjadi bulan-bulanan di sana karena berasal dari keluarga berbeda. Hidupnya tidak akan bisa tentram setelah itu.
Namun, bagaimana Aruna harus mencari uang sebanyak itu?
Ayah Aruna entah ada di mana, tidak pernah lagi menghubungi mereka. Di keluarganya, hanya ia yang bisa diandalkan.
“Kalau saya menikah dengan Bapak, apa yang akan saya dapatkan?” tanya Aruna tiba-tiba, seolah alam bawah sadarnya yang bergerak sendiri.
“Apa pun yang kamu mau. Uang, rumah, mobil, terserah kamu,” jawab Baskara tanpa rasa curiga.
“Boleh saya minta uang 200 juta?” tanya Aruna lagi.
Baskara mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan sikap Aruna yang mendadak berubah. Namun, ia tidak begitu peduli, selama Aruna mau menikah dengannya.
“Boleh saja,” jawab Baskara.
“Kalau begitu, saya mau menikah dengan Bapak.”
Baskara tersenyum puas mendengar ucapan Aruna. “Oke, kita menikah sekarang. Kamu bawa kartu identitasmu, kan?”
Aruna menganga, tidak menduga bahwa itu akan terjadi hari ini. “Bawa, Pak. Tapi, ini terlalu cepat, Pak.”
“Lebih cepat, lebih baik,” kata Baskara. Ia meraih jas yang sebelumnya ia letakkan di kursi kerja, lalu berjalan keluar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. “Ayo, cepat.”
“Pak, tapi …” Aruna berjalan tergesa mengikuti langkah Baskara.
Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u