Share

3. Tindakan Gegabah

Author: nesitara
last update Last Updated: 2025-02-18 15:22:09

Baskara menatap Aruna dengan ekspresi penuh percaya diri, sementara gadis itu hanya bisa mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia hampir yakin bahwa pendengarannya mungkin bermasalah.

“Menikah? Pak Baskara bercanda, kan?” Aruna mengerjap setelah beberapa detik hanya bergeming di tempat. Suaranya terdengar sedikit tinggi karena keterkejutan.

Baskara menggeleng santai. “Aku serius.”

Aruna menghembuskan napas kasar, lalu menatap pria itu dengan tajam. “Kita bahkan tidak saling mengenal!”

Bisa-bisanya pria itu berkata akan menikahinya ketika mereka hanya bertemu satu kali. Apakah ini lelucon? Tapi lelucon macam apa yang sedang dilakukan Baskara kini? Atau pria itu sedang mengejek Aruna setelah mengetahui bahwa wanita yang ditidurinya hanya karyawan biasa yang bisa diperintah seenaknya?

Baskara menyandarkan punggungnya ke kursi, tampak santai seperti sedang membahas hal yang ringan. “Kita bisa saling mengenal setelah menikah.”

Aruna mendengus, merasa pria ini sudah kehilangan akal sehatnya. “Yang benar saja!” decihnya.

“Saya perhatikan kamu senang sekali bersikap tidak sopan pada atasanmu. Ingat, Aruna, aku ini bosmu,” ujar Baskara dengan nada ketus, namun Aruna masih teguh dan tidak merasa takut sedikitpun.

Kebingungan Aruna kini berubah menjadi kekesalan, terlebih Baskara terus saja memancing emosinya.

“Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa menuruti keinginan Pak Baskara. Lagipula, saya tidak ada rencana ingin menikah,” tolak Aruna dengan nada tidak kalah ketus.

Baskara menaikkan alisnya. “Benarkah? Meskipun saya sudah menodai kamu?”

Meski Aruna merasa menyesal karena sampai melakukan hubungan seperti itu hanya karena patah hati, ia memang harus siap menerima konsekuensinya, karena itu juga kesalahannya. Hanya saja Aruna tidak berpikiran bahwa konsekuensi itu adalah menikah dengan Baskara, bosnya sendiri. Ia tidak siap jika harus masuk dalam lingkungan keluarga kaya raya dengan latar belakang dirinya yang bukan siapa-siapa.

Lagipula Aruna serius saat ia berkata tidak memiliki rencana untuk menikah. Ibunya mungkin sudah sering meminta Aruna menikah. Keinginan itu pernah ada saat ia menjalin hubungan dengan Adrian. Namun setelah hubungannya yang kandas karena pengkhianatan, jujur saja, hal itu masih membuat Aruna trauma.

Baskara menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, “Atau kamu hanya takut?”

Aruna tersentak. Matanya menajam. “Takut? Takut apa?”

“Entahlah. Mungkin kamu takut untuk memulai hubungan lagi setelah kekasihmu menyelingkuhimu? Tenang saja, aku orang yang setia dan lebih suka monogami.”

Aruna tercekat. Sejenak, ia merasa pria ini bisa membaca pikirannya. Luka dari pengkhianatan Adrian masih terasa nyata. Rasa kecewa dan sakit hati itu belum sepenuhnya hilang.

Meski orang bilang obat dari patah hati adalah mencari hati pengganti yang lain, namun Aruna tidak berniat melakukannya. Daripada sibuk memikirkan laki-laki yang mungkin akan menyakitinya, lebih baik Aruna memfokuskan diri pada pekerjaan dan keluarganya. Tapi sialnya, Aruna tidak bisa fokus bekerja jika dihadapkan dengan atasan seperti Baskara yang tiba-tiba datang dan membuat situasi menjadi rumit.

“Sekali lagi, saya tidak bisa menerima permintaan Pak Baskara,” ucap Aruna lagi, kali ini memastikan agar Baskara tidak lagi memaksakan kegilaannya.

Baskara tidak langsung menanggapi, membuat Aruna yakin bahwa pria itu akhirnya kehabisan kata-kata dan menyerah. Aruna melihat pria itu menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Aruna tiba-tiba berharap ia bisa membaca pikiran orang lain.

Saat Baskara akhirnya kembali bicara untuk menanggapi, jantung Aruna berhenti berdetak untuk sesaat. Suara pria itu terdengar sangat berat dan dalam, juga penuh penekanan saat ia berkata, “Ini bukan penawaran, tapi perintah. Dan kamu juga harus tahu aku tidak suka penolakan.”

Selain dari kewajiban moral Baskara karena merasa harus bertanggung jawab telah meniduri Aruna yang saat itu dalam keadaan tidak sadar, Baskara juga berpikir bahwa gadis itu bisa menyelamatkannya dari perjodohan orang tuanya. 

Di hadapannya, Aruna berdiri membeku. Kalimat Baskara yang akan menikahinya pasti membuat gadis itu terkejut setengah mati.

“Dengan hormat, Pak, saya tetap tidak bisa," tolak Aruna ke-sekian kalinya. "Soal kejadian malam itu, saya tidak akan mempermasalahkannya karena itu juga kesalahan saya,” sahut Aruna berusaha menahan emosinya karena Baskara terus memaksa.

Jika bukan berhadapan dengan Aruna, Baskara pasti sudah memarahi habis-habisan karyawan yang terus menentangnya. Namun kali ini, Baskara membuat pengecualian untuk sang wanita. Aruna mungkin berpikir bahwa Baskara sudah gila. Hanya saja jika kegilaan ini bisa membantu Baskara keluar dari situasinya, maka ia akan melakukan cara apa pun.

“Bagaimana kalau ternyata kamu hamil karena kejadian itu? Tentu aku harus bertanggung jawab, kan?” tanya Baskara santai.

Aruna terdiam. Sejujurnya, ia tidak berpikir jauh ke sana.

“Aku tidak pakai pengaman malam itu,” tambah Baskara. Namun Aruna tidak mengetahui bahwa itu hanya akal-akalan saja agar gadis itu semakin tersudut.

‘Sial, bagaimana ini?!’ Pikir Aruna panik.

Namun, belum sempat Aruna menjawab lagi, tiba-tiba pintu ruangan Baskara diketuk.

Sosok seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Elegan, berkelas, dan penuh wibawa—ibunya.

Langkah Kumala terlihat begitu percaya diri saat masuk ke ruangan anaknya. Ia melihat Aruna dan menaikan alis, bingung dengan kehadiran wanita itu.

Di saat yang sama, Aruna juga berdiri tidak nyaman. Gadis itu merasa kikuk berdiri tanpa memiliki keperluan apa pun di ruangan Baskara. Apalagi kehadiran ibu Baskara sepertinya hendak membahas sesuatu yang serius.

“Kalian sudah selesai?” tanya Kumala. “Suruh karyawanmu pergi, Baskara. Mama ingin bicara denganmu.”

Alih-alih menyuruh Aruna pergi, Baskara malah menahannya. “Aruna, kamu tetap di sini.”

Aruna yang sudah siap menghilang dari dalam ruangan pun kembali berdiri mematung, semakin bingung dengan kondisinya.

“Baskara!” suara Kumala Adiwireja terdengar menekan dan kesal.

“Dia akan tetap di sini,” ujar Baskara menegaskan.

Pasrah, Kumala akhirnya bicara. “Mama baru saja bertemu dengan ibu Tania. Kita akan bertemu dengan keluarga Jayaningrat besok malam.”

Tania, gadis yang dijodohkan dengannya.

Baskara menutup mata sejenak sebelum bangkit berdiri. Ia tahu pertemuan ini adalah perjodohannya dengan putri dari keluarga konglomerat itu. “Kenapa aku harus menghadiri pertemuan itu?”

Kumala mengulas senyum tipis. “Kamu tahu pertemuan ini penting.”

Tentu saja, perjodohan ini ternyata sudah direncanakan sejak lama oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya ingin memastikan ia menikah dengan wanita yang ‘tepat’. Wanita yang berasal dari keluarga terhormat, seseorang yang bisa menjadi pasangan yang sempurna di mata publik.

Masalahnya, Baskara tidak peduli dengan semua itu.

Kini, lebih dari sebelumnya, ia tidak ingin terikat dengan siapapun. Untung saja kejadian malam itu dengan Aruna membuat Baskara tiba-tiba mendapatkan ide. Ia bisa memanfaatkan Aruna untuk membatalkan pernikahannya. Entah kenapa Baskara yakin Aruna adalah wanita yang paling cocok untuk rencananya ini.

Bibir Baskara melengkung dalam senyum kecil. Mungkin, itulah alasan kenapa ia nekat memaksa Aruna menikah dengannya.

Dengan langkah yakin, Baskara menghampiri Aruna yang masih berdiri beberapa meter darinya. Diraihnya lengan Aruna sebelum kemudian Baskara melingkarkan tangan ke pinggang sang gadis. Baskara bisa merasakan Aruna ingin melawan, namun tenaganya jauh lebih kuat.

Aruna berusaha menormalkan ekspresinya, meskipun sejujurnya ia tidak tahu apa maksud bosnya melakukan itu padanya.

“Aku tidak akan menghadiri pertemuan itu, juga tidak akan menikah dengan wanita yang kalian jodohkan untukku,” ucap Baskara yakin.

Alis Kumala naik. Ia melihat bergantian ke arah Aruna dan Baskara yang berdiri berdampingan dengan posisi mencurigakan.

“Ma, kenalkan, ini Aruna. Dia calon istriku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   71. Hubungan Sepupu

    Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   70. Vila

    Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   69. Kebersamaan Hangat

    Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   68. Pulang ke Rumah

    Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   67. Obrolan Bersama Anindya

    Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   66. Belum Aman

    Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   65. Lebih Waspada

    Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   64. Ketenangan Pagi

    Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   63. Menyalurkan Perasaan

    Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status