Se connecterBaskara menatap Aruna dengan ekspresi penuh percaya diri, sementara gadis itu hanya bisa mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia hampir yakin bahwa pendengarannya mungkin bermasalah.
“Menikah? Pak Baskara bercanda, kan?” Aruna mengerjap setelah beberapa detik hanya bergeming di tempat. Suaranya terdengar sedikit tinggi karena keterkejutan.
Baskara menggeleng santai. “Aku serius.”
Aruna menghembuskan napas kasar, lalu menatap pria itu dengan tajam. “Kita bahkan tidak saling mengenal!”
Bisa-bisanya pria itu berkata akan menikahinya ketika mereka hanya bertemu satu kali. Apakah ini lelucon? Tapi lelucon macam apa yang sedang dilakukan Baskara kini? Atau pria itu sedang mengejek Aruna setelah mengetahui bahwa wanita yang ditidurinya hanya karyawan biasa yang bisa diperintah seenaknya?
Baskara menyandarkan punggungnya ke kursi, tampak santai seperti sedang membahas hal yang ringan. “Kita bisa saling mengenal setelah menikah.”
Aruna mendengus, merasa pria ini sudah kehilangan akal sehatnya. “Yang benar saja!” decihnya.
“Saya perhatikan kamu senang sekali bersikap tidak sopan pada atasanmu. Ingat, Aruna, aku ini bosmu,” ujar Baskara dengan nada ketus, namun Aruna masih teguh dan tidak merasa takut sedikitpun.
Kebingungan Aruna kini berubah menjadi kekesalan, terlebih Baskara terus saja memancing emosinya.
“Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa menuruti keinginan Pak Baskara. Lagipula, saya tidak ada rencana ingin menikah,” tolak Aruna dengan nada tidak kalah ketus.
Baskara menaikkan alisnya. “Benarkah? Meskipun saya sudah menodai kamu?”
Meski Aruna merasa menyesal karena sampai melakukan hubungan seperti itu hanya karena patah hati, ia memang harus siap menerima konsekuensinya, karena itu juga kesalahannya. Hanya saja Aruna tidak berpikiran bahwa konsekuensi itu adalah menikah dengan Baskara, bosnya sendiri. Ia tidak siap jika harus masuk dalam lingkungan keluarga kaya raya dengan latar belakang dirinya yang bukan siapa-siapa.
Lagipula Aruna serius saat ia berkata tidak memiliki rencana untuk menikah. Ibunya mungkin sudah sering meminta Aruna menikah. Keinginan itu pernah ada saat ia menjalin hubungan dengan Adrian. Namun setelah hubungannya yang kandas karena pengkhianatan, jujur saja, hal itu masih membuat Aruna trauma.
Baskara menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, “Atau kamu hanya takut?”
Aruna tersentak. Matanya menajam. “Takut? Takut apa?”
“Entahlah. Mungkin kamu takut untuk memulai hubungan lagi setelah kekasihmu menyelingkuhimu? Tenang saja, aku orang yang setia dan lebih suka monogami.”
Aruna tercekat. Sejenak, ia merasa pria ini bisa membaca pikirannya. Luka dari pengkhianatan Adrian masih terasa nyata. Rasa kecewa dan sakit hati itu belum sepenuhnya hilang.
Meski orang bilang obat dari patah hati adalah mencari hati pengganti yang lain, namun Aruna tidak berniat melakukannya. Daripada sibuk memikirkan laki-laki yang mungkin akan menyakitinya, lebih baik Aruna memfokuskan diri pada pekerjaan dan keluarganya. Tapi sialnya, Aruna tidak bisa fokus bekerja jika dihadapkan dengan atasan seperti Baskara yang tiba-tiba datang dan membuat situasi menjadi rumit.
“Sekali lagi, saya tidak bisa menerima permintaan Pak Baskara,” ucap Aruna lagi, kali ini memastikan agar Baskara tidak lagi memaksakan kegilaannya.
Baskara tidak langsung menanggapi, membuat Aruna yakin bahwa pria itu akhirnya kehabisan kata-kata dan menyerah. Aruna melihat pria itu menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Aruna tiba-tiba berharap ia bisa membaca pikiran orang lain.
Saat Baskara akhirnya kembali bicara untuk menanggapi, jantung Aruna berhenti berdetak untuk sesaat. Suara pria itu terdengar sangat berat dan dalam, juga penuh penekanan saat ia berkata, “Ini bukan penawaran, tapi perintah. Dan kamu juga harus tahu aku tidak suka penolakan.”
Selain dari kewajiban moral Baskara karena merasa harus bertanggung jawab telah meniduri Aruna yang saat itu dalam keadaan tidak sadar, Baskara juga berpikir bahwa gadis itu bisa menyelamatkannya dari perjodohan orang tuanya.
Di hadapannya, Aruna berdiri membeku. Kalimat Baskara yang akan menikahinya pasti membuat gadis itu terkejut setengah mati.
“Dengan hormat, Pak, saya tetap tidak bisa," tolak Aruna ke-sekian kalinya. "Soal kejadian malam itu, saya tidak akan mempermasalahkannya karena itu juga kesalahan saya,” sahut Aruna berusaha menahan emosinya karena Baskara terus memaksa.
Jika bukan berhadapan dengan Aruna, Baskara pasti sudah memarahi habis-habisan karyawan yang terus menentangnya. Namun kali ini, Baskara membuat pengecualian untuk sang wanita. Aruna mungkin berpikir bahwa Baskara sudah gila. Hanya saja jika kegilaan ini bisa membantu Baskara keluar dari situasinya, maka ia akan melakukan cara apa pun.
“Bagaimana kalau ternyata kamu hamil karena kejadian itu? Tentu aku harus bertanggung jawab, kan?” tanya Baskara santai.
Aruna terdiam. Sejujurnya, ia tidak berpikir jauh ke sana.
“Aku tidak pakai pengaman malam itu,” tambah Baskara. Namun Aruna tidak mengetahui bahwa itu hanya akal-akalan saja agar gadis itu semakin tersudut.
‘Sial, bagaimana ini?!’ Pikir Aruna panik.
Namun, belum sempat Aruna menjawab lagi, tiba-tiba pintu ruangan Baskara diketuk.
Sosok seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Elegan, berkelas, dan penuh wibawa—ibunya.
Langkah Kumala terlihat begitu percaya diri saat masuk ke ruangan anaknya. Ia melihat Aruna dan menaikan alis, bingung dengan kehadiran wanita itu.
Di saat yang sama, Aruna juga berdiri tidak nyaman. Gadis itu merasa kikuk berdiri tanpa memiliki keperluan apa pun di ruangan Baskara. Apalagi kehadiran ibu Baskara sepertinya hendak membahas sesuatu yang serius.
“Kalian sudah selesai?” tanya Kumala. “Suruh karyawanmu pergi, Baskara. Mama ingin bicara denganmu.”
Alih-alih menyuruh Aruna pergi, Baskara malah menahannya. “Aruna, kamu tetap di sini.”
Aruna yang sudah siap menghilang dari dalam ruangan pun kembali berdiri mematung, semakin bingung dengan kondisinya.
“Baskara!” suara Kumala Adiwireja terdengar menekan dan kesal.
“Dia akan tetap di sini,” ujar Baskara menegaskan.
Pasrah, Kumala akhirnya bicara. “Mama baru saja bertemu dengan ibu Tania. Kita akan bertemu dengan keluarga Jayaningrat besok malam.”
Tania, gadis yang dijodohkan dengannya.
Baskara menutup mata sejenak sebelum bangkit berdiri. Ia tahu pertemuan ini adalah perjodohannya dengan putri dari keluarga konglomerat itu. “Kenapa aku harus menghadiri pertemuan itu?”
Kumala mengulas senyum tipis. “Kamu tahu pertemuan ini penting.”
Tentu saja, perjodohan ini ternyata sudah direncanakan sejak lama oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya ingin memastikan ia menikah dengan wanita yang ‘tepat’. Wanita yang berasal dari keluarga terhormat, seseorang yang bisa menjadi pasangan yang sempurna di mata publik.
Masalahnya, Baskara tidak peduli dengan semua itu.
Kini, lebih dari sebelumnya, ia tidak ingin terikat dengan siapapun. Untung saja kejadian malam itu dengan Aruna membuat Baskara tiba-tiba mendapatkan ide. Ia bisa memanfaatkan Aruna untuk membatalkan pernikahannya. Entah kenapa Baskara yakin Aruna adalah wanita yang paling cocok untuk rencananya ini.
Bibir Baskara melengkung dalam senyum kecil. Mungkin, itulah alasan kenapa ia nekat memaksa Aruna menikah dengannya.
Dengan langkah yakin, Baskara menghampiri Aruna yang masih berdiri beberapa meter darinya. Diraihnya lengan Aruna sebelum kemudian Baskara melingkarkan tangan ke pinggang sang gadis. Baskara bisa merasakan Aruna ingin melawan, namun tenaganya jauh lebih kuat.
Aruna berusaha menormalkan ekspresinya, meskipun sejujurnya ia tidak tahu apa maksud bosnya melakukan itu padanya.
“Aku tidak akan menghadiri pertemuan itu, juga tidak akan menikah dengan wanita yang kalian jodohkan untukku,” ucap Baskara yakin.
Alis Kumala naik. Ia melihat bergantian ke arah Aruna dan Baskara yang berdiri berdampingan dengan posisi mencurigakan.
“Ma, kenalkan, ini Aruna. Dia calon istriku.”
Ketika Aruna membuka matanya, dunia terasa lembut dan asing. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai rumah sakit yang putih, menimbulkan bias hangat di sekujur wajahnya. Bau antiseptik yang biasanya membuatnya mual kini terasa menenangkan. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya mimpi, sampai suara itu terdengar.“Aruna…” Nada itu serak, namun familiar.Ia menoleh perlahan. Di sisi ranjang, duduk seseorang dengan wajah letih, mata merah, dan senyum yang berusaha bertahan di antara luka yang belum benar-benar sembuh.Baskara.“Hey,” sapanya pelan, nyaris berbisik.Aruna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pria itu, mencoba memahami betapa banyak hal yang sudah mereka lalui—pengkhianatan, kehilangan, amarah, darah, tangis. Lalu keheningan.Baskara menunduk, menatap jemari Aruna yang terkulai di atas selimut. Ia menggenggamnya perlahan, seolah takut sentuhannya bisa menghancurkan perempuan itu lagi. “Aku… minta maaf,” katanya, suaranya pecah di tengah ruang sunyi. “Aku gagal menjagamu
“Operasinya berjalan lancar. Namun pasien belum sadarkan diri. Semoga saja secepatnya pasien sadar dan pemulihannya berjalan baik.” seorang dokter memberitahu Baskara setelah penantian berjam-jam di depan ruang operasi. “Syukurlah,” desah Baskara yang menahan napasnya entah sejak kapan. Anindya di sampingnya juga ikut lega. Ia bahkan sampai kembali menangis. “Terima kasih banyak dokter,” ucapnya penuh syukur. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit sang dokter meninggalkan tempatnya. Baskara bisa bernapas sedikit lega meski ia belum sepenuhnya tenang setelah semua kejadi
Udara di ruangan itu tiba-tiba berubah berat, bukan lagi hanya karena kabut hujan dan bau kayu lembap, tapi karena logam dingin yang bersinar di bawah lampu. Arga mengangkat senjata dengan gerakan yang tenang dan pasti, matanya tak lagi menerangi ruangan; mereka memancarkan sesuatu yang hanya bisa disebut keheningan sebelum badai.“Aku tidak main-main Baskara,” ujar Arga dengan suara dingin.Anindya menjerit kecil dan meringkuk di belakang kakaknya. Aruna melangkah satu langkah maju, mencoba menjadi perisai antara adiknya dan pistol yang menodong mereka. Adrenalin menyalak dalam tubuhnya, bukan ketakutan kosong, tetapi sesuatu yang tajam dan terfokus. Ia harus melindungi adiknya.Baskara melangkah maju, rahang mengeras. “Arga, jangan lakukan ini,” katanya. “Kita bisa bicara —&rdqu
Udara di dalam rumah tua itu terasa menebal, pekat seperti kabut yang menempel pada kulit. Hujan di luar semakin deras, menabuh ritmenya di atap seng, membuat setiap langkah terasa bergema seribu kali. Lampu minyak di sudut ruang menyorot wajah-wajah yang terkunci dalam lingkaran. Arga satu sisi, berdiri dengan tenang tapi matanya berkobar, Baskara di depan pintu, otot-otot rahangnya tegang, lalu Aruna menggenggam Anindya, tubuh adiknya masih bergetar.Arga mengangkat dagu, memberi jarak dramatis, seolah ingin memberi mereka kesempatan menyerap apa yang akan ia ucapkan. Suaranya ketika akhirnya keluar, halus tapi menusuk, seperti air yang menetes di ruang kosong sampai nada gemanya memaksa.“Kalian tahu betapa senangnya aku ada di tempat ini sekarang. Akhirnya aku bisa menunjukkan siapa diriku sebenarnya setelah bertahun-tahun hidup dalam dusta, menjadi p
Langit malam tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama seluruh ketegangan di rumah itu. Aruna duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke depan, menatap layar ponsel Baskara yang dari tadi tak berhenti bergetar. Di luar kamar, suara langkah-langkah tim Baskara terdengar sibuk, mereka baru saja kembali membawa kabar baru.Aruna kembali keluar dan bergabung bersama Baskara.“Kami menemukan lokasi ponsel itu, tapi lokasinya agak janggal,” lapor Rafi.Aruna menegakkan tubuh, jantungnya langsung berdegup cepat. “Di mana?”“Daerah pinggiran, sekitar dua jam dari sini.” Rafi lanjut menjelaskan. Ia menunjukkan tab dengan peta dengan tanda merah. &ld
“Nomornya nggak aktif, Mas.” Suara Aruna terdengar serak, hampir putus di ujung. Ia baru menurunkan ponselnya setelah panggilan kesekian kali berujung nada sambung mati.Baskara berdiri di depan jendela besar ruang tamu rumah peninggalan Oma, menatap halaman yang basah karena hujan sore tadi. Lengannya terlipat di dada, tapi rahangnya tegang. “Coba lagi,” katanya datar.“Aku udah coba. Nomornya nggak aktif, pesannya juga nggak dibalas.”Aruna memandangi layar ponselnya, jari-jarinya bergetar. “Dia nggak mungkin tiba-tiba ngilang gini. Biasanya Arga selalu menjawab teleponku.”Baskara menarik napas panjang, lalu berbalik. “Justru itu masalahnya.”Ia meraih ponselnya s







