Aruna duduk diam di dalam mobil, menatap kosong ke luar jendela. Ia dan Baskara baru saja selesai mengurus pernikahan mereka di kantor catatan sipil.
Pikiran Aruna masih belum bisa menerima kenyataan ini—dia kini adalah istri Baskara Adiwireja. Seharusnya, ia merasa lega karena ibunya bisa mendapatkan perawatan terbaik. Tapi tetap saja, ada perasaan lain yang mengganjal di hatinya.
Baskara yang duduk di sebelahnya melirik sekilas.
“Aku tahu semuanya di luar akal sehatmu,” katanya santai, seolah pernikahannya dengan Aruna hanya permainan atau bisnis. “Tapi cepat atau lambat, kamu harus beradaptasi. Sekarang kamu adalah istriku.”
Aruna mendengus pelan, masih enggan berbicara. Tidak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan rumah utama keluarga Adiwireja.
Rumah keluarga Adiwireja berdiri megah di atas lahan luas, mencerminkan status mereka sebagai salah satu keluarga konglomerat terkemuka di negeri ini. Bangunan bergaya klasik modern itu menjulang anggun dengan pilar-pilar tinggi yang putih berkilauan di bawah sinar matahari. Gerbang besi berukir dengan lambang keluarga mereka berdiri kokoh, dijaga oleh beberapa satpam berseragam rapi.
Begitu melewati gerbang, jalan masuk berlapis batu alam mengarah ke halaman depan yang dipenuhi pepohonan rindang dan taman-taman tertata sempurna. Air mancur besar berdiri di tengahnya, airnya berkilauan dan menciptakan suara gemericik lembut.
Pemandangan yang sangat memukau kalau saja tidak dalam situasi seperti ini. Jantung Aruna berdegup dua kali lebih cepat. Di sampingnya, Baskara berjalan dengan santai. Tubuh pria itu menjulang di samping Aruna, terlihat gagah dan mendominasi.
Aruna mengikuti langkah Baskara ke dalam rumah. Aruna melewati pintu kayu mahoni berukiran tangan yang menyambut siapa pun yang datang, membuka jalan ke dalam ruangan luas dengan langit-langit tinggi berhias lampu kristal berkilauan. Di bawah kaki Aruna, lantai marmer dingin memantulkan cahaya dari chandelier, menambah nuansa kemewahan di dalamnya. Belum lagi dinding-dindingnya dihiasi lukisan klasik dan koleksi seni bernilai tinggi, membuat Aruna merasa ia tidak seharusnya berada di sana. Tempat ini terlalu mewah dan megah, berbeda jauh dengan keadaan rumahnya.
Kuatkan dirimu, Aruna! Batinnya menyeruak untuk menyemangati.
Begitu masuk lebih jauh ke dalam rumah, mereka langsung disambut dengan tatapan tajam Riadi dan Kumala. Baskara langsung menyerahkan akta pernikahannya dengan Aruna kepada ayahnya.
“Apa maksud semua ini?” suara Riadi menggelegar saat melihat akta pernikahan itu. Seketika suasana ruangan terasa semakin menegangkan.
Kumala menatap Aruna dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan mencemooh. “Kamu benar-benar menikahinya? Seorang pegawai biasa yang tiba-tiba muncul dengan berita mengejutkan?”
Aruna menelan ludah, merasa tidak nyaman. Namun, sebelum ia sempat membela diri, Baskara sudah lebih dulu berbicara.
“Ya, aku sudah menikah dengannya,” kata Baskara tegas.
“Karena kamu menghamilinya?” Kumala menyipitkan mata penuh kecurigaan.
Riadi menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. “Astaga, Baskara! Kamu sudah membuat keputusan paling bodoh dalam hidupmu. Kenapa tidak kamu hilangkan saja bayi itu?”
Aruna mengepalkan tangannya di atas paha. Ingin rasanya ia membantah dan mengatakan bahwa kehamilan itu bohong. Tapi melihat tatapan tajam Baskara, ia tahu pria itu tidak akan membiarkannya.
Lagipula ini konsekuensi yang harus Aruna terima demi menyelamatkan nyawa ibunya.
“Karena itu anakku,” ucap Baskara serius. “Keturunan kalian juga.”
Riadi tentu saja tidak bisa mengelak.
Pada akhirnya, meski dengan keterpaksaan, Riadi dan Kumala menerima pernikahan mereka. Namun dari sikap mereka, jelas bahwa mereka belum benar-benar mengakui Aruna sebagai bagian dari keluarga.
Setelah pertemuan penuh ketegangan itu, Baskara membawa Aruna kembali ke apartemennya.
Aruna masuk ke penthouse milik Baskara yang berdiri di puncak salah satu gedung pencakar langit paling eksklusif di ibu kota, menawarkan pemandangan kota yang spektakuler dari setiap sudutnya. Ruang tamu terbuka lebar, dipenuhi dengan sofa kulit Italia dan perabot mahal lainnya.
Aruna masih berdiri di pintu sementara Baskara melepas jasnya dan duduk di sofa dengan santai. “Sekarang kita telah menikah. Tapi sesuai perjanjian, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi.”
“Maaf, Pak Baskara, saya harus bertanya,” ucap Aruna menghela napas berat. “Kenapa Pak Baskara mengatakan kalau saya hamil?”
“Karena itu akan membuat orangtuaku mau tidak mau menerima pernikahan kita.”
“T-tapi bagaimana kelanjutannya nanti? Dalam sembilan bulan, jika tidak ada bayi–”
“Bilang saja kamu keguguran,” ucap Baskara santai. “Kecuali kamu ingin benar-benar hamil, aku bisa membuatnya jadi kenyataan,” sambungnya dengan seringai yang membuat Aruna menatap miring.
Aruna ingin memprotes, memaki, dan berteriak pada bos angkuh yang kini menjadi suaminya itu. Namun ia tahu diri di mana posisinya kini. Ia tidak berkata apa pun kecuali ekspresi wajahnya yang jelas menunjukkan ketidaksukaan.
“Duduk. masih banyak yang harus kita bicarakan,” ucap Baskara lagi, terdapat nada memerintah dalam suaranya.
Aruna melangkah ragu-ragu menuju sofa tempat Baskara duduk.
“Kita berdua akan tidur di ruangan berbeda. Pernikahan kita hanya sebatas sandiwara, jadi jangan berharap aku akan memperlakukanmu sebagai istri,” ujar Baskara menusuk langsung ke jantung Aruna.
Aruna menatap Baskara sejenak. Sebelumnya, pria itu selalu berusaha mendapatkannya, dan sekarang sikapnya berubah. Jadi, apakah ini sifat seorang Baskara yang sebenarnya?
Jika bukan karena biaya pengobatan ibunya, Aruna juga tidak menginginkan pernikahan ini. Namun sebagai wanita, ia juga berandai-andai, jika ia menikah nanti, suaminya akan memperhatikan dan memperlakukannya bagai putri, bukan seperti perjanjian bisnis yang bisa diatur seenaknya.
“Ada yang ingin kamu katakan?” tanya Baskara melihat Aruna hanya diam, sibuk dengan pikirannya.
“Tidak ada.”
“Oh, satu lagi. Meski pernikahan kita hanya di atas kontrak, setidaknya, kita harus terlihat seperti pasangan suami-istri di depan orang lain. Maka dari itu kamu harus berhenti memanggilku bapak dan berhenti bicara formal denganku.”
“Lalu saya harus memanggil Pak Baskara apa?”
Baskara angkat bahu. “Terserahmu. Kamu boleh memanggilku dengan nama, Mas, Sayang…”
“M-mas?” lidah Aruna terasa kelu menyebut kata itu. Rasanya ia tidak lagi mengenali suaranya sendiri. Tapi, ia harus tetap mengikuti keinginan Baskara.
Baskara tersenyum tipis mendengar panggilan Aruna. “Bukan masalah besar, ‘kan? Kamu sudah cukup pintar berbohong tentang kehamilanmu, aku yakin kamu bisa terus melakukan sandiwara ini.”
Aruna mengangguk kikuk, hanya ingin cepat beristirahat dan memejamkan mata, melupakan sejenak apa pun yang terjadi di hidupnya.
Sepertinya apa yang ingin dikatakan Baskara sudah selesai karena pria itu bangkit dari duduknya. Aruna menghembuskan napas lega.
Namun baru saja Aruna melihat Baskara melangkah, pria itu berhenti dan kembali berbalik ke arahnya. “Sekarang segera siap-siap. Kamu akan menemaniku menghadiri jamuan makan malam rekan bisnis malam ini.”
“A-apa?” Aruna terbelalak. “Maksudnya aku akan datang bersamamu…sebagai istrimu?”
Baskara mengangguk tanpa menyadari kepanikan dalam wajah Aruna. “Kenapa? Bukankah kamu memang istriku?”
“Aku sudah memanggil perias dan penata busana. Segera siapkan dirimu dan jangan banyak memprotes,” ucap Baskara lagi, kali ini memberi peringatan. “Selain itu, kamu juga harus bersikap layaknya istri seorang konglomerat. Akan ada banyak pejabat dan petinggi perusahaan di sana, jangan buat aku malu,” pungkasnya.
Pria itu kemudian kembali melangkah ke ruangan lain, meninggalkan Aruna dengan pikiran yang semakin kusut.
Aruna menghela napas panjang, merasa frustrasi namun tidak bisa melampiaskannya. Rasanya bagai hidup dalam sangkar emas. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah ini.
Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u