“Hunny!”Bam!Ponsel Raffael terjatuh seketika mendengar kata yang keluar dari mulut Manda. Bodohnya lagi, Manda pun terkejut dan kini membeku di ambang pintu toilet. ‘Argh! Kenapa jadi ‘honey’?! Tadi sudah latihan ‘hunny’!’ pekiknya dalam hati.Buru-buru ia membuka mulut untuk mengoreksi kesalahan bodoh itu, tetapi ia justru memekik kaget. Raffael sudah berada di depannya. “Nggak buruk juga kalau memang kau mau memanggilku dengan sebutan itu, honey.” Raffael melingkarkan tangannya di tubuh Manda. Ia tidak menyangka kalau panggilan itu terdengar menyenangkan di telinganya. Rasanya seperti ada yang menggelitik perutnya. Tidak hanya Raffael. Manda pun merasakan hal yang sama. Dan hal itu tergambar jelas di wajahnya yang memerah. “Tu–tunggu dulu, Pak! Sentuh, bayar!” pekik Manda berusaha lepas dari rangkulan Raffael yang tiba-tiba. Ia belum siap. Walau dibayar mahal pun, ia belum siap.“Latihan, Manda.” Raffael tersenyum lebar. Tak ada tanda-tanda ia akan mundur dari perlakuannya s
“Uwaaa!”Pekik Manda ketika tiba-tiba tangan Raffael menyentuh pinggulnya. “Pak! Kenapa nyentuh situ?”“Salah sendiri buka kartu soal daerah sensitifmu.”Manda ingin mengelak, tapi ia kembali teringat apa yang dimaksud Raffael. ‘Argh! Nulis bayaran malah ketahuan mana saja daerah sensitifku dari harganya!’Raffael tersenyum melihat Manda tak membalas ucapannya. ‘Dia pasti sadar sudah nggak sengaja nyebutin daerah sensitifnya tadi.’Karena Manda terlihat tak nyaman, ia pun menjauhkan tangannya dari pinggul gadis malang itu.Ia menurun
“Raffa? Ini aku, Reinhart!”Tamu tak diundang itu kembali memekik karena pintu tak kunjung dibuka.‘Sial! Aku harus gimana dengan Manda di sini?!’ batin Raffael, panik.Raffael kembali ke meja makan. Ia memutuskan untuk memberitahu Manda mengenai kakak iparnya itu.“Ada apa?” tanya Manda yang tengah mengunyah pizza.Walau tampang bos-nya tetap kalem, tapi Manda bisa lihat pandangan mata yang tak tetap itu.Akhirnya Raffael meminta saran dari Manda. “Menurutmu, mana yang lebih baik? Iparku tahu kita berpacaran, atau pacaran pura-pura?
“Rahasia? Apa maksudmu, Reinhart?”Dahi Raffael berkerut, tak suka dengan usulan kakak iparnya.Namun, di mata Manda pria tampan suami CEO-nya itu terlihat senang. Seperti anak kecil yang baru mendapat mainan baru.Sambil memamerkan gigi putih yang tersusun rapi di balik bibir tipisnya, Reinhart berkata, “Panggil aku Kak Reinhart, aku akan kasih tahu rahasia yang kumaksud.”Spontan Raffael mendelik. “Kalau kau nggak berniat serius, lebih baik keluar dari kamarku, Reinhart!”“Hahaha! Iya, iya, iya. Aku menyerah deh.” Reinhart dengan mudahnya mengalah.
‘Sial! Aku lupa soal dokumen itu,’ batin Raffael.Presdir Djaya Tambang itu sebenarnya panik, tetapi wajahnya terlihat lebih garang dari biasanya ketika menatap Reinhart. Manda pun tak sadar meremas bahan celana panjangnya, panik membayangkan apa yang akan terjadi dengan nasibnya.“Mau mengelak?” tanya Reinhart dengan cengiran jahilnya. Namun kemudian, cengiran itu perlahan menjadi senyum tulus. “Raff, kau lihat sendiri, kan? Amel juga berniat bantuin kamu. Apa nggak bisa kamu percaya sama kami?”Raffael membuang muka. “Ini tidak ada urusannya denganmu, Reinhart Lou! Jangan ikut campur.”Ia meraih tangan Manda kemudian berkata, “Ayo, kuantar pulang.” Manda bergegas mengambil tasnya dan mengekor Raffael. Tak lupa ia membungkuk hormat pada Reinhart sebelum keluar dari ruangan itu. “Pak, apa nggak apa-apa bapak tinggalin begitu aja Pak Reinhart?” tanya Manda setelah mereka berada di dalam lift. Raffael mendengus. “Ha! Kamu nggak usah mikirin dia, Manda. Toh dia bilang aku harus perc
“Mana ada budaya begitu di sini, Pak!” pekik Manda.Raffael mengangguk. “Memang sih. Cuma cara itu memudahkan segala.”“Nggak, nggak! Nanti saya pikirin lagi alasannya, Pak.” Manda berjanji.Bersamaan dengan itu, mereka tiba di depan pagar rumah Manda. Setelah berterima kasih, Manda segera masuk.Dengan tergesa ia berjalan menyeberang ruang keluarga, menuju kamarnya. Ia tidak mau ketahuan sang ibu dengan kondisi bajunya yang berbeda ketika pulang.‘Fyuh! Untung nggak ketahuan. Aku mandi lagi deh, terus ganti baju.’Manda menjalankan
Prang!“Pak!”Tergesa, Manda menghampiri Raffael yang berjarak 3 langkah besar. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Raffael langsung bertindak. Padahal belum ada kata kesepakatan di antara mereka.“Begini, kan? Bagaimana? Ini yang termahal milik kakek.”Jantung Manda seolah berhenti mendengar penjelasan tersebut. Ia kini berdiri mematung dengan kedua telapak tangan menutupi hampir keseluruhan wajahnya. Frustasi.“Saya 'kan baru cerita!” seru Manda. Nada putus asa terselip di dalamnya. “Saya baru mau bilang kalau ide itu konyol, kenapa bapak langsung pecahin vas-nya?!”Setengah hati Manda menyalahkan Yuike dan diri sendiri. Lebih baik jika tadi ia tidak menceritakan ide itu pada Raffael kalau tahu akhirnya akan seperti ini. “Menurut saya itu ide bagus. Vas ini didapat kakek setelah menang lelang di angka Rp 600 miliar. Apa kurang? Di ruang tamu ada vas kakek—”“Stop, stop, stop. Stop!” pekik Manda dengan kedua tangan terjulur tegang ke depan. ‘Bisa gila aku! Rp 600 miliar itu nol-ny
“Ha?!” Manda terkesiap. Spontan ia langsung menutup laptopnya dan berbalik. Netranya membulat, tak percaya mendapati pria itu di hadapannya.“Pak—”“Maaf, saya ngagetin, Manda,” potongnya. “Kamu serius banget sih kerjanya.”“Pak Damian kok ada di sini?! Gimana bisa masuk?!” CEO D&D Jewelry itu tertawa kecil. “Kebetulan Elena lewat, dia bukain saya pintu. Kamu nggak dengar?”Manda menggeleng. Ia ingin bertanya apa saja yang berhasil dibaca Damian, tetapi Raffael sudah keburu keluar dari ruangannya.“Manda, kenapa kamu teria—Mau apa kau di sini, Damian?!” tegur Raffael. Ia mengamati gerak-gerik Manda yang terlihat gugup, lalu beralih pandang ke Damian. Melihat dari laptop yang tertutup dan suara kaget Manda tadi, ia bisa menebak apa yang sudah terjadi. “Aku ada janji dekat sini, jadi kupikir aku mampir mengenai bahasan kita kemarin. Sepertinya berjalan lancar, hm?”Raffael menghela napas panjang. Ia tak menyangka secepat ini ia ketahuan memilih cara yang diusulkan Damian kemarin. “
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi
‘... dia nangis karena sudah lama nggak bisa ketemu kamu, Kak.’Ucapan Alexa tadi kembali terngiang di telinga Bintang, walau sambungan telepon sudah terputus sejak tadi. Senyuman lebar tak bisa ia tahan. ‘Kurasa aku terlalu percaya pada hubungan kami. Percaya bahwa kami mengerti satu sama lain, tanpa perlu banyak interaksi.’“Ternyata aku salah,” keluhnya menyimpulkan apa yang terjadi. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Tiara, sekretarisnya. To Tiara:Besok saya libur satu minggu. Jangan cari saya!Pesan terkirim!Kemudian ia juga mengirim pesan yang sama pada Theo, tetapi terkait Adelia. To Theo:Besok Adelia libur 3 hari. Jangan cari dia!Pesan terkirim!Bintang mematikan ponselnya dan juga Adelia begitu saja dan mulai fokus mengurus sang kekasih. Ia menggulung lengan kemejanya dan mulai menyeka bagian tubuh Adelia yang terlihat. Malam itu ia memutuskan untuk menemani sang kekasih, tidur di ranjang yang sama.‘Ah … sebaiknya aku juga ganti saja itu!’*** Keesokan paginya, Ad
‘Kalau diingat-ingat … aku terakhir lihat Lia dari jendela pintu ruang latihan. 3 minggu lalu, kalau nggak salah.’Bintang menatap lurus tanpa berkedip. Pandangannya kosong, sementara ia menggenggam gelas wine di tangannya. Ia sedang duduk di sofa apartemen sang kekasih. Masih terdiam, pikirannya kembali mengingat hari itu. ‘Setelah itu, aku pergi dinas. Dennis bilang kalau Lia sangat bersemangat siap debut.’“Nggak ada yang salah dengan kami. Kurasa.”Pria yang tengah bingung dengan komentar ibu dan rekan kerjanya itu kembali menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang membuat hubungannya dicap hambar. Sejauh mereka belum menikah, jelas tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pergi kencan. Sesekali berciuman atau tidur di kasur yang sama. “Apa aku harusnya menikahi Lia?” Lagi, ia berbicara dengan diri sendiri. “Tapi dia sedang bersiap debut. Bagaimana kalau langsung hamil dan merusak karirnya?”Sudah pukul 11 malam dan Adelia tak juga tiba di rumah. Mungkin penantian Bintang ma
“Dia tidur sambil berendam.”Bintang menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan absurd sang kekasih kecilnya. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengangkat tubuh Adelia tanpa melihat. “Lia.” Bintang mencoba membangunkannya. “Adelia!”Dengkuran halus malah menjadi jawaban dari panggilan itu. Membuat Bintang mulai kehabisan akal setelah beberapa kali mencoba membangunkannya. Ia memutuskan untuk mengambil handuk dan menutupi tubuh gadis itu setelah berhasil mengangkatnya dengan menutup mata. Setelah bekerja keras, Bintang pun berhasil membaringkannya di tempat tidur. Namun, sampai di sana, Adelia malah terbangun. “Kenapa kau baru bangun sekarang, hm?” keluh Bintang. “Kau mengerjaiku ya?”Adelia mengerjapkan netranya beberapa kali, kemudian tersadar bahwa ia sudah ada di kasurnya, masih dengan tubuh yang basah. “Astaga! Apa aku ketiduran?”Melihat dari respon Adelia, Bintang tahu kalau gadis itu pasti kelelahan setelah beberapa minggu terus berlatih dan hanya bisa tidur 2