Makan malam berjalan hening. Makanan aneka rupa sudah terhidang di meja. Sejak masuk ke rumah Sagara dua hari yang lalu. Arimbi selalu dihantui rasa bersalah. Menghidangkan makanan sebanyak ini, yang makan hanya bertiga dan Arimbi yakin mereka hanya akan memakannya sedikit setelah itu akan meninggalkan sisanya. Kalau di rumah ada pelayan yang akan menghabisikan lauk pauknya tidak tahu kalau di restoran ini.
"Kau kenapa? Apa tidak suka dengan makanannya?"tanya Sagara, entah kenapa di telinga Felicia menangkap ada hal berbeda dari cara Sagara memperlakukan Arimbi. Suara pria itu boleh saja datar dan dingin seperti biasa, tapi Felicia mengenal dengan cukup baik bagaimana seorang Sagara. Dan bisa Felicia pastikan bahwa Sagara menyimpan ketertarikan pada Arimbi.
"Tentu saja ini bukan seleranya. Biasanya dia makannya tahu tempe, sayur asem dan--
"Jengkol goreng, dan ikan asin. Terus nasinya yang anget-anget. Aduh, Mbak Felicia kamu so sweet banget sih, segitu perhatiannya sama aku sampai makanan kesukaan ku pun Mbak perhatiin!" Arimbi memasang senyum selebar mungkin. Felicia yang sebal karena ucapannya di potong oleh Arimbi, makin sebal ketika melihat lengkungan tipis di bibir Sagara.
"Dasar kampungan!" maki Felicia tanpa sadar. Arimbi seketika melipat bibir ke dalam. Kali ini dia harus diam, kalau tidak singa berbut ash dark blond itu akan lebih marah.
"Bisakah kita menikamti makan malam ini? Kalian berisik sekali!" tegur Sagara. Pria itu kemudian melanjutkan makannya. Sedangkan Arimbi kini memakan disert puding nangka kesukaannya.
"Selamat malam, Tuang Saga!" Arimbi menoleh ke asal suara yang menyapa Sagara. Suara itu terdengar halus dan merdu. Saat menatap wajah orang itu, Arimbi terpana. Mulut Arimbi bahkan terbuka cukup lebar, sangat pas bila ada lalat yang masuk ke dalamnya.
"Bagaimana masakannya malam ini Tuan Sagara? Ini adalah menu baru saya. Tempe teriyaki dengan bumbu bistik? Rasanya hampir sama dengan daging, kan?" tanya pria dengan memakai baju hitam dan celana hitam. Semua pakaian yang dikenakan pria itu membuatnya nampak bersinar. Tentu saja hanya Arimbi yang dapat melihatnya. Karena Arimbi saat ini sedang terpana pada pria tinggi putih seperti aktor korea favoritnya Ji Chang Wook.
"Wah, jadi ini tempe? Pantesan empuk banget. Tapi rasanya gak jauh beda dengan daging!" Arimbi nampak bersemangat sekali. "Ini semua mas, yang masak?" tanya Arimbi Lagi.
"Bener sekali Nona-
"Arimbi, nama saya Arimbi. Apa Mas tahu kalau wajah Mas mirip sama artis korea Ji Chang Wook?"
Pria itu hanya tersenyum menanggapinya.
"Mas, apa Mas sudah punya-
"Habiskan pudingmu, Imbi sa--yang!"
Arimbi menautkan alis dan menatap tajam Sagara mendengar cara pria itu memanggilnya." Ava-avaan ini, kenapa dia memanggilku dengan sebutan Sayang. Pake acara dibuat sejelas mungkin!" Arimbi sibuk mengumpat dan memaki dalam hati.
"Hans, perkenalkan dia istriku, namanya Arimbi Atmaja. Kalau dia berusaha menggodamu jangan perdulikan. Anak ababil ya seperti itu, gak jelas!" sindir Sagara menatap dengan tatapan menyepelekan. Hal itu membuat Arimbi jadi memanyunkan bibirnya.
Pria ini mengacaukan segala usahanya Baru aja mau pdkt ama chief tampan eh dia pakai acara gangguin segala, dan itu membuat Arimbi kesal.
"Oh, jadi Nyonya kecil ini istri Tuan. Senang mengenal anda Nyonya. Nama saya, Hans!" Pria itu mengulurkan tangan ke arah Arimbi. Namun, gadis itu tak menyambutnya. Hanya mengatupkan kedua tangan di dada. Sebagai ganti berjabat tangan.
"Ah, ya. Maaf, bukan muhrim ya!?" Hans menurunkan tangannya. Ucapan pria itu membuat Arimbi terpana. Wanita itu meletakkan dagu dengan menumpukan ke dua lengannya di meja.
"Udah ganteng, pinter masak, tau lagi tentang hukum agama. Andai aku belum punya suami, udah aku samber duluan sampeyan Mas!"ucap Arimbi. Hans yang digoda sedemikian rupa oleh Arimbi tak dapat menyembunyikan rasa geli melihat tingkah istri Sagara.
" Oke. Kalau begitu silahkan di nikmati makananmya. Saya permisi ke pantry lagi!" pamit Hans.
"Yah. Terlepas, deh!" gerutu Arimbi dengan raut amat menyesal.
"Bisakah kamu menjaga sikap salayaknya wanita yang telah bersuami. Aku kira sekolah pesantren yang kau jalani selama ini sia-sia. Dasar genit!"seru Sagara. Tatapan dingin dan datar itu menatap lekat tepat ke manik Arimbi. Tangan kanannya menggoyangkan gelas berisi wine.
"Aku, genit? Kapan? Sama siapa? Jangan asal fitnah ya?" cecar Arimbi, dia merasa tak terima dikatakan genit oleh Sagara. Coba dia katakan Arimbi cantik pasti akan Arimbi beri kecupan lembut di pipi, dahi dan ... Astaghfirullah apa yang kupikirin , sih!" rutuk Arimbi dalam hati atas kekonyolan pikirannya barusan.
"Kau kenapa lagi, kepalamu gatal karena banyak kutu, dasar orang kam-
"Kampung!" Arimbi memotong ucapan Felicia. Sekarang dia sudah benar-benar jengkel sama kakak madunya ini. "Memang kenapa kalau aku orang kampung? Apa mbak Felicia lupa kalau suami kita ini asalnya dari kampung!" tanya Ambar lagi.
"Tapi dia berbeda dengan mu. Dia sekolah di luar negeri, memiliki perusahaan yang berada di Jakarta. Selama ini dia juga lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Jelas aja dia berbeda denganmu yang memang real orang kampung!"bantah Felicia.
"Yang jelas dia di brojolkan di Desa Wetan alas, besar di sana. SD, SMP. Di desa Wetan Alas. Sekali-kali dia juga akan pulang ke kampung. Dan memang kenapa kalau orang kampung? Dari kami lah kalian orang-orang kota itu bisa makan beraneka sayur dan buah-buahan. Kalau gak ada orang kampung kalian di kota mau makan apa, hayo! Iya kali mau makan batu!" Arimbi menghamburkan kalimat panjang penuh kekesalan pada Felicia.
Wanita berambut merah yang terurai di bawah bahu itu mendengkus dan mencebikkan bibir. Dia memilih bungkam.
"Ternyata rusa kecil ini pintar sekali berbicara. Aku salah menilai, dia memang terlihat polos dan lugu. Tapi otaknya encer!" batin Felicia.
Sementara Sagara tak mengalihkan tatapannya dari wajah Arimbi. Pria itu diam-diam kagum pada keberanian dalam diri istri kecilnya itu.
Di lain tempat, dari dalam pantry seseorang menyunggingkan senyuman di bibir. "Gadis yang cukup menarik!"
Makan malam telah selesai. Ketiga orang itu kemudian pulang. Namun sewaktu mereka akan naik mobil baru dia menyadari kalau Arimbi tak ada bersama mereka.
"Kemana anak itu?" tanya Sagara pada Felicia yang menjawab hanya dengan mengedikkan bahu. Wanita itu kemudian masuk ke dalam mobil. Sagara menatap gelisah ke arah pintu resto. Saat ia akan melangkahkan kaki mencari keberadaan Arimbi, wanita itu terlihat keluar dengan menenteng beberapa bungkusan plastik.
"Apa yang kau bawa?" tanya Sagara dengan wajah kesal.
"Ck. Kalian berdua itu memang pasangan serasi. Sama-sama stres dan pemarah!"
"Bukannya menjawab malah menghina orang! Sikap macam apa itu?" bentak Sagara pada Arimbi yang kini berada di samping mobil, menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya pada Sagara.
"Ini makanan buat bi Uul dan semua yang di rumah. Kalian pesan makanan banyaaak sekali tapi yang dimakan cuman sepiring saja. Sisanya di buang. Makanan itu tak kalian sentuh sama sekali, apa salahnya aku bungkus bawa pulang untuk mereka, orang-orang yang bekerja di rumahmu!"
Sagara hanya menggelengkan kepala mendengar penjelasan Arimbi. Pria itu kemudian masuk ke dalam mobil. Wira, mengambil bungkusan dari tangan Arimbi dan meletakkannya di bagasi.
Sepanjang perjalanan pulang, mobil terasa sunyi lagi. Arimbi yang pada dasarnya suka bicara akhirnya memecah kesunyian dengan mengajak Wira asisten sekaligus supir pribadi Sagara.
"Mas Wira udah nikah?" tanya Arimbi, membuat Wira menoleh padanya.
"Belum, Nyonya!" jawab Wira singkat.
"Kenapa?" tanya Arimbi lagi. "Kan usia Mas Wira udah cukup untuk berumah tangga, punya pekerjaan bagus, wajah lumayan manis. Pasti banyak perempuan yang mau jadi istri Mas Wira!"
"Saya masih punya tanggung jawab untuk membiayai adik saya kuliah. Dia sekarang sedang kuliah di Mesir!" Ada nada bangga dalam suara Wira saat menyebut sang adik.
"Sungguh beruntung adik Mas Wira, memiliki kakak seperti Mas. Rela mengorbankan kesenangan diri sendiri demi dia. Tidak seperti saya ....!" Suara Arimbi terdengar sendu.
"Saya harus mengorbankan cita-cita saya demi membayar hutang-hutang yang di sebabkan oleh kakak saya. Saya harus membuang kebebasan saya demi dia agar dia bisa bebas dari penjara. Menikah dengan pria yang tak saya kenal, melupakan kebebasan masa muda saya. Dan yang lebih miris diantara semua saya adalah istri ke dua, nasib saya sungguh menyedihkan, ya, Mas?" tanya Arimbi menatap sendu punggung Wira.
Wira tak menjawab. Karena bingung harus mengatakan apa.
"Jadi kau menyesal menikah dengan Sagara?" tanya Felicia. Arimbi hanya menghela napas panjang. Ke dua wanita itu tak tahu ada seseorang yang juga menunggu jawaban Arimbi dengan cemas. Dia lah Sagara.
Mata Felicia menatap lekat wajah Arimbi. Sedangkan Sagara mempertajam pendengarannya. Ia ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Arimbi."Aku tak akan menjawab. Karena itu adalah masalah pribadiku. Meski aku ini adalah alat pembayar hutang tapi aku juga masih punya hak untuk memiliki privacy, kan?" Suara Arimbi terdengar pelan. Ada rasa kecewa dalam hati Sagara saat Arimbi tak menjawab pertanyaan Felicia.Suasana mobil kembali sunyi. Arimbi fokus menatap ke arah lampu kerlap kerlipnya membuat Arimbi teringat kampung halaman.Mobil kini memasuki halaman rumah Sagara. Begitu berhenti, Arimbi gegas keluar berjalan mendahului mereka. Menyisakan kerutan pada wajah Sagara. Melihat Arimbi diam seperti itu tentu saja membuatnya heran. Hampir seminggu tinggal bersama Arimbi, baru kali ini mulutnya diam. Biasanya ia berkicau laksana burung murai.Felicia sedari tadi mengamati gerak gerik Sagara. Berkali-kali ia melihat sorot mata Sagara
Huek, huek, huek!!!Berulang kali Arimbi memuntahkan isi perutnya. Masih terbayang dengan jelas gambaran bagaimana Sagara memukuli Felicia tanpa ampun. Sebelum kemudian melakukan penyatuan mereka. Felicia, wanita itu bagaimana dia bisa berteriak ke sakitan tapi juga mengiringinya dengan desahan menikmati?"Kau kenapa?""Astaghfirullah!" teriak Arimbi, matanya membeliak sàat melihat Sagara duduk di atas tempat tidur dengan menatap tajam ke arahnya."Anda ... sedang apa di sini?" tanya Arimbi dengan wajah pucat pasi seperti habis melihat hantu."Kenapa? Ini rumahku jadi aku bebas ada di mana saja selagi masih di wilayah rumah ini!" balas Sagara. Netra bak elang itu masih saja menyorot tajam ke arah Arimbi membuat wanita itu ketar ketir."Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu kenapa?" Sagara mengulangi pertanyaannya"Tidak apa-apa! Mungkin masuk angin!" jawab Arimbi asal. Wanita itu kemudian berj
Arimbi menahan napasnya, manik bening itu berkedip-kedip manatap Sagara."Aku sangat membencimu, Arimbi! Bagaimana bisa gadis cilik sepertimu mengganggu pikiranku?" Sagara meracau, membuat Arimbi sontak menutup hidungnya. Bau alkohol itu membuat perut Arimbi mual.Pria itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya. Dengan sekuat tenaga Arimbi berusaha melepaskan diri tapi tak juga bisa. Tenaga Sagara terlampau kuat. Meski sekarang dia dalam keadaan mabuk. Sebenarnya rasa mabuk Sagara sudah sedikit menghilang. Tapi, pria itu memang sengaja tak mau melepaskan Arimbi dari pelukannya."Tu-tu-an! Aku tidak bisa bernapas!" bisik Arimbi. Dadanya memang terasa sesak karena kuatnya pelukan Sagara."Diamlah!" bentak Sagara. "Jangan banyak bergerak! Jangan sampai kau menyesali tindakanmu. Jadi kalau kau ingin tetap aman. Diamlah! Jangan membuat gerakan apa pun!" ucap Sagara dengan suara serak. Nyali Arimbi ciut mendengar ancaman Sagara
"Apa yang kau lakukan, Fel? Apa kau sudah gila?" teriak Sagara ketika vas bunga hampir saja mengenai kepalanya."Kau yang gila. Bagaimana kau bisa tak mengabariku sekali pun! Kau pasti bersama pelacur kecil itu kan?" teriak Felicia, tak kalah kencang. Wajah wanita itu terlihat merah padam."Apa--kau-- sudah mulai mencintainya? Apa kau sudah menyentuhnya?" Felicia menatap tajam ke arah Sagara. Wanita itu berjalan mendekat tak perduli dengan pecahan vas bunga yang melukai telapak kakinya. Warna keramik yang tadinya putih, kini berwarna merah karena darah dari luka di telapak kaki Felicia.Sagara hanya memejamkan mata melihat apa yang dilakukan Felicia. Wanita ini dua kali lebih beringas dari saat bercinta ketika dilanda cemburu seperti ini.Wanita itu kini berada tepat di hadapannya. Menyentuh wajah Sagara, awalnya lembut, tapi kemudian kuku panjang itu seperti menancap di kulit Sagara."Kau belum menjawab pertanyaanku! Apak
Sagara melangkah dengan tergesa-gesa ke dalam resto. Wira menahan napas melihat wajah Sagara yang diliputi amarah. Ingin rasanya menelpon Arimbi untuk memghentikan tawanya di depan Hans. Terlambat. Sagara telah berada tepat di hadapan tempat Arimbi.Wajah Arimbi pucat pasi. Terkejut tak terkira, hingga membuatnya tersedak. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba sudah ada di sini. Dengan ekspresi wajah menakutkan."Tu-tu-an. Anda ada di sini?" tanya Arimbi dengan terbata. Sagara mendengkus menatap tajam, seakan ingin menelan tubuh Arimbi bulat-bulat."Iya. Ini aku. Sepertinya kau sangat terkejut sekali melihatku? Apa kau sudah melakukan kesalahan? Hingga wajahmu pucat begitu?" sindir Sagara. Arimbi susah payah menelan makanannya. Kemudian membasahai tenggorokan dengan air mineral."Wow, Tuan Sagara. Anda sepertinya salah paham! Saya dan Arimb-"Diam! Tak ada yang memintamu bicara di sini! Aku hanya ingin mendengar penjelasan dari is--
Pukul tiga dini hari Sagara terbangun. Meraba tempat di sampingnya kosong. Bayangan keberadaan Arimbi tak ia temui di kamar ini. Sayup-sayup ia dengar suara isakan. Sagara melangkahkan kaki menuju ruang tengah. Ia tertegun. Arimbi nampak begitu khusyuk berdoa."Ya Allah, ya Robb. Kalau memang takdirku berada di sisi Tuan Sagara. Tolong kuatkan aku. Berikan jalan agar kami bisa mencapai pernikahan sakinah, mawaddah, warohmah. Beri suami hamba kesehatan, kemudahan dalam setiap jalannya. Sentuhlah hatinya dengan hidayahmu ya, Robb! Lindungilah di mana pun ia berada. Amin, ya robbal alamin!"Sagara mengusap netranya yang tiba-tiba memanas. Seumur hidup Sagara tak pernah mendengar orang lain dengan tulus mendoakannya. Hati Sagara membuncah penuh rasa bahagia.Perlahan pria itu kembali ketempat tidur. Berpura-pura menutup mata saat Arimbi kembali memasuki kamar. Sagara tetap memejamkan mata saat napas Arimbi menyapu wajahnya."Dia sangat tampan, s
Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Uul, art rumah Sagara, mondar-mandir di depan kamar sang Bos. Tak seperti biasanya Felicia sesiang ini bangunnya. Apalagi ini adalah hari senin. Hari di mana wanita itu sibuk dengan pekerjaan di butiknya.Dengan memberanikan diri, Uul membunyikan bel pintu kamar Felicia. Tak ada jawaban. Hampir satu jam Uul sibuk menekan bel pintu, namun tak ada tanda-tanda Felicia akan membuka pintu. Ia kemudian memanggil Yudi, salah satu penjaga di rumah untuk membuka pintu kamar Felicia. Hasilnya nihil."Coba telpon Tuan Sagara, saja!" usul Yudi. Uul kemudian menekan nomer telpon Sagara. Wanita itu menggelengkan kepala, menatap Ivan dengan putus asa."Nomernya gak aktif!" Yudi dan Uul mendesah secara bersamaan. "Dobrak saja. Kita rusak pintunya. Pake bor saja,Yud. Karena pintu ini dilengkapi pengaman!" usul Uul lagi. Yudi pun berlari ke arah gudang tempat biasa menyimpan alat-alat pertukangan. Pria itu mengeluarkan bor list
Kembali Arimbi melirik ke arah Sagara. Dan, kembali hatinya berdenyut nyeri.Arimbi cemburu. Arimbi terluka."Ayolah Arimbi! Jangan seperti anak-anak. Lagi pula mereka lebih dulu bersama. Felicia lebih dulu mengisi hati Sagar, jadi wajar kalau dia terlihat gelisah seperti ini manusiawi!" hibur hati Arimbi.Tak lama mereka tiba di rumah sakit tempat Felicia di rawat. Sagara mendekatu meja tempat dua orang perawat perempuan sedang berjaga."Sus, kamar pasien dengan nama Felicia Handoyo, ada di ruangan mana?"Perawat itu melihat komputer untuk melihat nama Felicia."Kamar kenanga no 3, pak. Bapak terus saja naik lantai dua, di sana nanti ada perawat jaga juga, tanya pada mereka!"Dengan langkah tergesa-gesa Sagara berjalan menuju tempat yang ditunjukkan oleh perawat tadi. Genggaman di tangan Arimbi semakin ia eratkan.Arimbi dan Sagara telah sampai pada kamar di mana Felicia dirawat. Sebuah kamar ya