Share

Bab 6. Jangan besar kepala

Mereka telah sampai di sebuah butik di kawasan Kemang. Sebuah bangunan lima lantai berdiri menjulang kokoh. Bangunan berdinding pastel itu terlihat sangat aseri. Bunga-bunga dengan aneka macam dan warna. 

Saat akan memasuki butik tadi Arimbi terlihat berdecak kagum dengan keindahan bunga morning glori yang menjalar pada pagar tembok butik. Warna ungu dan pink membuat mulut gadis itu tak berhenti berdecak.

"Ck, ck, ck. Cantik bener!!" Kini mobil memasuki halaman butik, sebelum masuk mereka di sambut bunga-bunga yang sangat indah. Bunga mandevilla nampak ditanam dengan cara bergerombol pada tiang, di atasnya dipasangi lampu yang akan menyala pada malam hari, dan keindahan bunga ini akan semakin terpancar. 

Saat akan memasuki butik di samping kiri kanan pintu, bunga anggrek, mawar dan juga sedap malam tumbuh subur,dan sedang berbunga. Wangi bunga mawar dan sedap malam menghentikan langkah Arimbi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah bebungaan itu. Memejamkan mata, menghirup wangi kelopaknya. Kemudian memetik dua kuntum mawar merah. Berjalan mendekat ke arah Sagara dan Felicia yang menatap wanita itu dengan tak sabaran.

Kini Arimbi berdiri tepat di hadapan Sagara. Pria dengan sorot mata tajam bak elang itu menatap wanita mungil yang sedang berdiri di depannya dengan mawar merah di tangan. Arimbi menatap wajah Sagara, penampakan Dewa Arjuna dengan raut wajah tampan, alis hitam terukir indah, bibir merah, bulu-bulu halus yang menghiasi pipi, hidung tinggi menjulang. Arimbi menelan saliva dengan segala keindahan yang dimiliki Sagara. 

"Andai saja ia tak memikili penyimpangan seperti itu. Alangkah sempurna ciptaan Allah ini!" gumam Arimbi. Wanita itu maju lebih dekat pada Sagara. Mengikis jarak antara mereka. Arimbi berjinjit, berusaha mensejajarkan tubuhnya dengan Sagara, namun tetap saja tak bisa mencapai tinggi badan sang suami yang menjulang itu. Tak masalah. Lagi pula yang menjadi tujuan Arimbi bukanlah bibir Sagara. Melainkan saku jas pria itu. Arimbi melepas sapu tangan di dalam saku di dada Sagara, menggantinya dengan bunga mawar. Sagara memejamkan mata sejenak, menghidu wangi aroma pucuk kepala Arimbi yang tertutup jilbab.

"Sempurna! Orang tak akan menyangka dalam keindahan ini tersimpan jiwa monster yang mengerikan!" gumam Arimbi akan tetapi Sagara masih bisa mendengarnya. Arimbi menatap sendu ke arah Sagara yang juga tengah menatap manik wanita itu, untuk beberapa saat pandangan mereka saling mengunci sebelum akhirnya Arimbi lah yang memutus terlebih dahulu dengan mengalihkan pandangan ke arah Felicia yang menatap dengan wajah penuh kesal.

"Ck. Dia terlihat kesal!" bisik hati Arimbi.

Sementara itu Felicia yang melihat semua tingkah Arimbi mengepalkan tangan, mencoba meredam kemarahannya yang siap meledak kapan saja.

"Rusa kecil itu ... apa yang coba dia lakukan? Apakah dia ingin memikat Sagara? Dan, lihat Sagara ... seperti mulai tergoda dengan rusa kecil itu! Cih tak akan kubiarkan!" bisik hati Felicia. Wanita itu mengerutkan kening ketika melihat Arimbi bejalan mendekat, Arimbi kemudian berdiri di hadapan Felicia. Felicia sontak memundurkan tubuh kala Arimbi memajukan tubuh mengikis jarak di antara ke dua wanita itu.

"Kau mau apa?" tanya Felicia dengan suara tercekat. Wanita itu amat terkejut dengan gerakan tiba-tiba dari Arimbi. 

Arimbi, hanya tersenyum. "Ini buat Mbak Felicia biar makin cetar membahana badai!" jawab Arimbi. Menyelipkan bunga mawar di sela telinga Felicia. Rambut indah Felicia dibiarkan tergerai dengan diberi sedikit ikal di bagian ujung.

"Wah, mirip sekali dengan Rosalinda!" ujar Arimbi. Felicia melengoskan wajah mendengar ucapan Arimbi. Wanita itu kemudian mencabut bunga di sela telinganya meremas kuntum mawar itu dan menghempaskan ke tanah. Felicia berjalan dengan menghentakkan kaki ke tanah. Menoleh pada Sagara, dengan gerakan cepat mencabut mawar di saku jas Sagara, kemudian melemparkan ke tanah.

"Norak!" ujar Felicia. Wajah Sagara terlihat memerah menahan kesal. Akan tetapi ia tak ingin berdebat tentang hal ini. 

Arimbi melongo mendapati apa yang dilakukan Felicia. "Apa dia marah karena aku lebih dulu memberi bunga pada Singa hutan itu? Ah, harusnya aku memberikan bunga tadi terlebih dahulu pada Mbak Felicia!" Apa yang di pikirkan Arimbi jauh dengan pikiran Felicia. Arimbi tak sadar apa yang dia lakukan mengundang bara api kebencian dalam hati wanita itu. Sedangkan Arimbi wanita itu justeru sangat iba dengan apa yang terjadi padanya.

Sagara dan Felicia duduk di sebuah sofa panjang berwarna merah. Arimbi yang baru masuk tertegun melihat isi butik milik Felicia. Gaun-gaun indah tersusun di lemari dan juga manekin. 

"Pilihlah pakaian yang cocok untukmu!" titah Sagara. Arimbi memasang wajah bingung, "untuk apa?" tanyanya dengan wajah polos. Mendengar pertanyaan Arimbi membuat Sagara menghela napas panjang.

"Untuk kau pakai. Untuk apa lagi!" sambar Felicia cepat, menggantikan Sagara menjawab pertanyaan Arimbi.

"Pakaianku masih banyak. Untuk apa lagi aku membelinya. Lagi pula semua baju di sini keliatan semua keteknya. Tak ada baju yang untuk jil-- 

"Siapa bilang?" tukas Felicia mendelikkan mata dan wajah sebal. Naiklah ke lantai dua! Ratih bantu dia memilih pakaian yang sesuai dengan dirinya!" Seorang wanita muda datang mendekat. Rambut di ikat ekor kuda, blouse putih tanpa lengan mengekspose kulit putih mulus gadis itu, jeans warna hitam membalut kaki jenjangnya.

"Mari, Mbak! Ikut saya ke lantai dua!" Arimbi pun mengikuti wanita itu, berjalan pelan sesekali mengamati sekiling butik. Tangga yang di pakai untuk naik ke lantai dua itu terbuat dari sepuhan perak, dengan ukiran ular dan bunga mawar. Mengingat ukiran ular ini, membuat Arimbi jadi mengingat lantai dengan ornamen ular di rumah Sagara. 

"Hiii, mereka memang benar-benar pasangan aneh. Ya, Allah kenapa hamba bisa terjebak dalam rumah tangga seaneh dan serumit ini?"

"Anda mengatakan sesuatu Mbak?" tanya Ratih. Arimbi terkejut dengan pertanyaan Ratih. Arimbi baru menyadari kalau suara gumamannya terlalu keras, hingga Ratih bisa mendengar.

"Ti-dak, tidak ada apa-apa!" jawab Arimbi terbata. Saat sampai pada tangga terakhir Arimbi mencoba mengintip ke bawah ke tempat Sagara dan Felicia berada. Mata wanita itu terbeliak melihat adegan di bawah sana. Felicia sedang duduk di atas pangkuan Sagara, bibir mereka saling bertautan. Refleks Arimbi menutup mata dengan jemarinya.

"Uh! Dasar orang tak punya adab. Bagaimana bisa mereka berciuman di tempat umum seperti ini?" Arimbi menggerutu sambil menghentakkan kaki. 

Ratih terkikik geli melihat tingkah Arimbi.

Sementara di bawah sana , Sagara segera menggeser Felicia dan mendudukan wanita itu ke sofa, saat tanpa sengaja melihat Arimbi menutup mata dengan tangan saat melihat Sagara dan Felicia berciuman.

"Kenapa sih, Beib? Biasanya juga kita berciuman di tempat umum, dan itu biasa saja! Apa karena ada rusa kecilmu di sini, jadi kau bertindak seperti ini? Apakah anak kampung itu sudah mampu menggetarkan hatimu hingga kau berusaha sekuat tenaga untuk menjaga perasaannya!"cecar Felicia. Wanita itu semakin kesal saat Sagara tetap saja bungkam, tak mejawab satupun dari pertanyaan Felicia. Karena memang Sagara tak punya jawaban untuk pertanyaan Felicia tersebut.

"Mbak. Di mana pakaian pria?" tanya Arimbi pada Ratih. 

"Lantai empat, Mbak!" jawab Ratih, yang seketika membuat lutut Arimbi lemas. Padahal dia ingin membelikan pakaian untuk Joko, ayah Arimbi. Meski marah dan kecewa tapi Arimbi tetap menyayangi sang ayah. Dan, ini adalah kesempatannya belanja banyak, mumpung ada yang membayarinya.

Seperti paham dengan apa yang ada di hati Arimbi, Ratih membawa Arimbi sebuah ruangan berbentuk segi empat. "Kita lewat sini, Mbak!!" Arimbi bukannya tak pernah pergi ke Mall tapi dia tak pernah menggunakan lift, dia menggunakan tangga escalator.

"Wah keren bener ya? Butik ini memiliki lift. Dasar orang kaya! Semua hal harus mudah, gak mau susah!" Ratih menekan angka empat. Hanya hitungan detik, benda berbentuk segi empat itu kini berhenti di lantai empat. Begitu pintu terbuka, barisan baju berjejer rapi di gantungan dalam lemari. Di sebelah kanan Arimbi tersusun sepatu dalam rak. Arimbi melangkah ke arah baju-baju kaos terjejer rapi yang digantung dalam lemari.

Arimbi berpikir sejenak sebelum menjatuhkan pilihan pada baju yang akan dia beli, "sepertinya warna pink akan cocok!" Arimbi melepaskan baju itu dari hanger. Kini gadis itu beralih pada kemeja dan jas. "Bapak akan terlihat ganteng kalau pakai ini!!" 

"Mbak, bisa di bungkus pakai kado gak?" tanya Arimbi pada Ratih. Gadis itu menganggukkan kembli seraya mengulas senyum manis. 

"Tolong bungkusin yang ini, sama yang ini!" Arimbi menyodorkan baju kaos warna pink, dan juga lingere yang dia pilih tadi di lantai dua. Tangan Ratih terlihat cekatan dalam membungkus kado tersebut. Tak butuh waktu dua menit baju itu sudah terbungkus kado. Kaos warna pink dibungkus kado dengan bentuk hati, sedangkan lingere dibungkus kado model bibir.

"Cantik banget! Makasih lho mbak! Aku turun dulu ya!?" pamit Arimbi. Wanita itu kemudian masuk dalam lift, menekan angka satu. 

Keluar dari lift Arimbi melihat Sagara dan Felicia duduk agak berjauhan. Keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Kalian itu suami isteri tapi kayak orang musuhan. Uh, itulah ponsel, membuat yang jauh jadi dekat dan yang dekat jadi jauh, seperti kalian ini!" Kedua orang itu langsung mengangkat kepala melihat asal suara. 

Felicia mendengkus. "Lama banget, sih! Kirain bakal borong semua? Maklum orang kayak kalian ini paling gak bisa dengar kata gratisan, langsung ambil kesempatan!" sindir Felicia. Sedikit nyelekit dan nyakitin sih, tapi tak membuat Arimbi membalas balik. Wanita itu justeru duduk di antara Felicia dan Sagara.

"Nih, buat Tuanku Yang Mulia Sagara Atmaja, yang gantengnya tak terkira!" Arimbi menyodorkan kado bentuk hati itu pada Sagara. Pria itu mengerutkan dahi, meski tetap menerima kado itu.

"Buka di rumah aja. Jangan di sini!" pesan Arimbi. "Dan, ini ... buat Mbak Felicia!" Arimbi menyodorkan kado berbentuk bibir itu pada Felicia.

"Kau memberi kami kado, yang berasal dari butikku dan memakai uang Sagara? Gak modal!" Felicia mencebik ketika Arimbi menarik tangannya.

"Jangan dilihat dari mana dan siapa yang memberi kadonya. Akan tetapi lihat saja ketulusan hati si pemberi!" tukas Arimbi. "Nanti, kalau aku dah punya uang baru aku beliin. Satu-satu ... permen lolipop. Ha, ha, ha, ha!" Arimbi tertawa terbahak-bahak. Filicia dan Sagara, kedua orang itu menanggapi dengan dingin candaan Arimbi.

"Gimana dengan Tuan, seneng gak aku beliin kado?" tanya Arimbi pada Sagara. Pria itu hanya mengedikkan bahu. "Eh, tadi kan mau ngajak makan setelah selesai belanja! Ayok, kita pergi. Aku sudah lapar!" 

Sagara tak menjawab, pria itu bangun dan keluar menuju tempat parkir di ikuti Arimbi dan juga Felicia di belakang mereka.

Hari sudah merangkak malam, jalanan Jakarta tidak ada sepinya. Lalu lalang orang seakan mengejar sesuatu dengan terburu-buru entah apa itu? Kelap kelip lampu jalan jakarta menambah pesona. Jakarta dalam berbagai cerita, lara,duka, bahagia mewarnai setiap orang yang menjejakkan kaki ke Jakarta untuk merubah nasib mereka.

Mobil berjalan pelan. Suasana terasa sepi di dalam mobil, tak ada satu pun di antara mereka yang berbicara. Semua sibuk dengan pikiran dan ponsel masing-masing.

Arimbi sibuk dengan wag alumni sekolahnya.

'Gimana ini pengantin baru, udah belah duren?' Pesan Livia. 

'Gimana rasanya, Imbi? Sakit atau ... ha ha . Aku jadi kepengen nih!' Pesan dari Widya.

"Gendeng!" umpat Arimbi, membuat Felicia dan Sagara menatap tajam ke arahnya. Melihat pasangan suami istri itu manatapnya membuat Arimbi gelagapan.

"Bukan kalian. Tapi temenku, nih ...!" Arimbi menyodorkan ponselnya. Sagara dan Felicia pun kembali menatap ke arah jalan.

Setelah menempuh waktu hampir satu jam, sampailah mereka pada sebuah resto. Bentuk bangunan itu hampir mirip dengan butik milik Felicia. Sepanjang jalan masuk halaman resto hiasan ular dengan berbagai model. 

"Selera yang aneh!" desis Arimbi. Wanita itu kemudian turun dari mobil. Langkahnya terhenti saat Felicia mencekal pergelangan tangan Arimbi.

"Aku harap kamu jangan besar kepala, berbangga diri karena Sagara sudah mengajakmu keluar. Dia hanya ingin menunjukkan bagaiaman sikap Tuan rumah yang baik!'' Wajah Felicia terlihat menahan kesal.

"Besar kepala? Apa jilbabku terlalu besar ya, sampai kepalaku juga ikut bertambah ukurannya!" Arimbi terus bergumam sepanjang jalan masuk ke restoran.

Kepolosan yang dimiliki Arimbi kadang membuat kesal orang lain terlebih mereka yang tidak menyukainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status