Semenjak ditawari ibu-ibu waktu itu, kini aku punya pekerjaan selingan. Tentunya hanya saat mendapat pesanan dari pelanggan kami beraksi. Aku juga banyak belajar membuat kue. Sesekali bereksperimen membuat bentuk-bentuk yang unik. Dan ternyata pelanggan menyukainya. Menyebar dari mulut ke mulut, hingga kini kami sering mendapat pesanan. Selain menyediakan untuk hajatan dan acara tertentu, kami juga menyediakan kue ulang tahun, tentunya sesuai dengan bentuk yang diinginkan pelanggan.Terhitung sudah berjalan hampir dua bulan berlalu. Mama dan mbak Helen sudah tahu dengan aktifitasku itu. Syukurlah, selama ini mereka tidak ambil pusing. Selama uang belanja tidak keluar dari kantong mereka, mereka diam. Padahal diam-diam, aku tetap mengambil uang celengan mama yang bagian bawahnya sobek lebar itu. Uangku aku tabung dan mengambil sekedar untuk makanku sendiri. Aku juga tidak ikut makan hasil dari mengambil uang mama tersebut. Salah sendiri, setiap hari mereka mintanya makan enak tapi tidak
"M-mas ...." Seketika lidahku kelu untuk mengucapkan namanya. Bahkan barang belanjaanku terjatuh sejak mengetahui siapa yang memanggilku tadi."Iya, ini aku, Via. Rendi, suamimu."Pria itu meletakkan ransek besarnya ke tanah, lalu merentangkan tangannya, dengan senyum lebar di wajahnya yang terlihat lelah. Namun, aku tetap bergeming di tempat. Mataku memanas. Ada perasaan rindu, namun juga amarah. Kemana saja pria itu selama ini. Dan, setelah pulang, bahkan dia seakan tidak ada perasaan bersalah."Kenapa diam saja, hmm? Apa kamu tidak merindukan suamimu ini?" tanyanya heran. Kubuang wajah demi menutupi perasaan yang teremas. Lalu membungkuk dan mengambil barang-barang yang terjatuh tadi. Mengabaikan pria itu dan bergegas ke dalam."Vi! Via! Tunggu! Apa yang terjadi?"Derap langkah terburu mengejarku di belakang. Aku semakin mempercepat langkahku. Tidak memperdulikan ada mama yang masih terus meyakinkan mbak Helen."Via! Tunggu. Kamu marah sama mas? Via!"Kubanting pintu dengan keras.
"Helen itu ...."Brak!Ucapan mas Rendi tertelan kembali. Mbak Helen tiba-tiba nongol di depan pintu, membanting pintu. Sorot matanya menyiratkan ketidak sukaan. Ku lirik mas Rendi sepertinya terkejut. Mungkin dia takut mbak Helen mendengar perkataannya yang menyebut nama wanita tersebut."He-Helen ...." ucapnya gugup.Ajaib, mbak Helen malah melengos. Tatapannya beralih ke arahku."Heh! Makanannya sudah kamu siapin belum? Aku lama amat," ketusnya."Makanan? Maksudnya, kamu yang nyuruh Via buat masak sendiri?" sambar mas Rendi. Nada suaranya menyiratkan ketidak sukaan. Mbak Helen tetap melengos."Kamu disuruh mereka ngapain aja, Vi? Apa mereka menyuruhmu mengerjakan semua pekerjaan rumah?" tanya mas Rendi menatapku. Aku melirik sekilas ke arah mbak Helen. Tidak langsung menjawab."Jawab, Vi? Apa selama aku pergi, mereka memperlakukanmu tidak baik?" ulangnya lagi."Halah! Gak usah sok ikut campur kamu, Mas," Mbak Helen menyahut ketus."Jadi benar, kalian memperbudak Via?" kali ini into
"Ah, pantas saja, aku hubungi tidak bisa. Ponselmu hilang?"Raut wajahku berubah. Bingung."Loh, bukannya, kamu yang membawanya, Mas?" "Enggak. Pagi itu aku buru-buru berangkat karena info dadakan dari boss. Makanya gak sempat pamitan sama kamu. Tapi sebelumnya aku berpesan sama Helen supaya bilang sama kamu. Pas di jalan, aku nelpon nomormu berkali-kali. Tapi gak aktif. Aku kira masih di charge, atau mati. Ah, pantas saja setelah itu, mas telpon juga tetep gak bisa. Mas pikir, kamu marah sama mas, terus nomor mas kamu blokir. Jadi, ponsel kamu hilang?"Aku mengangguk. Bingung. Tapi bagaimana bisa hilang? Hanya dalam waktu satu malam saja."Apa mungkin, mbak Helen yang mengambilnya?" tebakku. Mas Rendi menggeleng."Sepertinya tidak. Meski Helen omongannya pedas, tapi dia bukan orang yang suka mengambil barang orang lain.""K-kalau begitu, ponselku ...." ucapanku tercekat. Rasanya posisi kini membuatku berada dalam kebimbangan.Mas Rendi kembali memel
Pagi sekali, aku sudah bersiap. Segera ke dapur, memasak, dan tugas rumah lainnya. Menyapu halaman, mencuci baju, juga menjemurnya sekalian. Setelah itu, segera sarapan dan mandi."Kau mau kemana, Vi?"Mas Rendi baru bangun tidur. Wajah bengap dan mata sipit khas bangun tidur. Menatapku yang tengah berdandan dengan tatapan sayup-sayup."Aku mau ke rumah bu Rita, Mas.""Hmm. Ngapain? Kau sudah kenal ibu-ibu tetangga sini juga?"Aku mengangguk tipis. Tapi tidak menjawab pertanyaan pertamanya. "Aku sebatang kara disini, Mas. Kalau tidak bergaul dengan tetangga, nanti malah tidak ada kenalan dong."Pria itu mengangguk. "Tidak apa-apa. Yang penting jaga diri saja. Jangan terlalu menaruh kepercayaan sembarangan. Apa yang kamu dengar, belum tentu benar."Aku mengangguk lagi. "Iya, Mas. Via tahu kok." Aku sudah selesai berdandan. Sementara mas Rendi masih goleran diatas ranjang. "Via sudah siapkan makanan di meja, Mas. Tinggal sarapan.""Hmm. Makasih, Vi."Aku mengela napas. Timbul perasaan
Rupanya, wanita itu penasaran identitasku. Aku mengulas senyum ramah. Mengangguk tipis."Saya ....""Adikku ini, Tin." Bu Dita menyela ucapanku. Memberi kode lewat kedipan matanya padaku. Seakan melarangku menjelaskan siapa diriku. "Mosok toh, Yu? Kayaknya kamu ndak ada adik. Kang Yono juga setahuku anak tunggal tuh."Bu Dita kelimpungan. Menyadari fakta tersebut. "Oo, itu ...""Apa, kamu istri barunya Rendi ya? Bener kan? Kayaknya di Sri Rahayu orang baru itu ya cuma istri barunya Rendi. Tapi sayangnya aku belum tahu wajahnya seperti apa. Jangan-jangan itu kamu." wanita itu kembali menyela. Menatapku dengan senyum yang menurutku seperti disengaja. Terlanjur basah, sepertinya wanita ini aslinya tahu siapa diriku, hanya berpura-pura saja."Iya, benar. Saya istrinya mas Rendi." Sudah terlanjur. Wanita ini juga aslinya sudah tahu. Bu Dita melotot. Menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum, maksudku, tidak masalah. Daripada berbohong juga percuma."Oo. Pantas saja. Soalnya, kamu asing. Saya
Aku terkejut dengan suara tamparan yang keras itu, wanita yang bernama Tinah itu apalagi. Bu Dita menabok mulutnya keras sekali. Wanita itu sampai mematung di tempat. Wajahnya merah padam, marah, juga tak menduga. Ucapan pedasnya terhenti begitu saja. Keterkejutanku buyar saat bu Dita menarik tanganku."Ayo, Vi. Cepat, pergi." Melangkahkan kakinya, menaiki motor. Aku mengikutinya gugup. Dengan gerakan cepat, bu Dita menyalakan motor dan menancap gas. Brum!Motor melaju kencang."Woy! Tunggu kalian, sialan!"Wanita bernama Tinah itu mencak-mencak. Jelas saja dia marah sekali. Mungkin kalau dia tidak sempat mematung tadi, kami sudah habis dihajarnya. Aku sempat menoleh, bu Tinah dikerubungi tetangganya yang tadi berkutat di dapur. Telunjuk bu Tinah menunjuk-nunjuk ke arah kami. Wajahnya merah padam.Kami sudah jauh. Aku mengembuskan napas. Antara lega, juga khawatir."Apa tidak apa-apa, Bu Dita? Bagaimana kalau ibu tadi melabrak kita?" tanyaku khawatir."Halah! Biarin saja. Emang dasar
Pintu terbuka. Sontak aku menoleh. Mas Rendi masuk dengan penampilan acak-acakan. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya, bahkan dia kini bersiul-siul riang. Sepertinya dia belum sadar ada aku di kamar.Kuperhatikan pria yang beberapa bulan menjadikanku makmumnya itu. Sepertinya dia hendak mandi. Mengambil pakaian di lemari dengan sekali tarik. Akibatnya, pakaian yang semula tertata rapi itu kembali berantakan. Aku menahan napas. Antara kesal karena merasa terhianati, juga karena cara mengambil pakaian yang membuat berantakan itu."Bisa tolong lebih rapi mengambil pakaiannya, Mas."Mas Rendi terkejut. Handuk yang hendak dia sampirkan di bahu terjatuh. "Vi-Via ...." desisnya kaget. Aku tak menyahut. Menghampiri lemari, dan menata pakaian yang berantakan."Se-sejak kapan kamu pulang?" "Hmm. Sudah lumayan," sahutku datar. Mas Rendi melotot."Kapan?""Gak tahu. Gak lihat jam."Tak butuh lama untuk merapikan. Untung saja belum terlambat. Jadi aku bisa langsung membenahi kekacauan yang