Via tak menyangka, pernikahan yang dia jalani dengan penuh pengorbanan ternyata palsu. Dia hanya dijadikan istri kedua bagi pria bernama Rendi. Menjadi pelakor tanpa sengaja.
View MoreVia, namaku. Gadis dua puluh satu tahun yang membiayai kuliahnya sambil bekerja di rumah makan Padang di kota ini. Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu, karena itu segala macam pekerjaaan ku lakoni demi kelangsungan pendidikanku dibangku kuliah. Sesekali aku juga mengambil pesanan kue-kue untuk acara. Yang tentu saja kukerjakan setelah pulang dari bekerja di rumah makan. Capek memang. Pagi berangkat kuliah, langsung kerumah makan. Dan setelah lelahnya bekerja, terkadang harus membuatkan pesanan.
Di rumah makan ini juga, pertama kali aku bertemu dengan mas Rendi. Seorang pria rupawan nan baik hati. Dia sering berkunjung kerumah makan tempatku bekerja sekedar untuk makan. Dari yang aku tahu, dia adalah pria sukses. Dia selalu memakai setelan jas rapi, layaknya pria kantoran. Dia selalu melihatku dan menyapaku yang sedang bekerja dengan seulas senyum manisnya. Dan itu juga yang membuat hatiku bergetar, grogi. Bahkan tak sungkan ia memberi pujian padaku, setiap kali mengantar pesanannya. Tentu saja aku tersipu.Berawal dari perkenalan singkat, hingga pembicaraan yang makin intens, lama kelamaan kami semakin dekat. Mas Rendi pribadi yang menyenangkan, baik hati dan ramah. Diluar jam kerja ia sesekali mengajakku jalan, yang tentu saja aku iyakan. Demi mas Rendi, aku korbankan waktu berhargaku.Mas Rendi memang pria yang baik, ia sering membelikan barang-barang yang aku butuhkan. Tapi, kalian jangan berpikiran buruk. Aku masih gadis. Mas Rendi juga beda dengan kebanyakan pria. Dia selalu menjagaku layaknya gadis yang patut dilindungi. dan itu yang membuatku makin yakin padanya."Vi, maukah kau menjadi istriku?" tanyanya, suatu hari saat kita sedang makan ketroprak dipinggir jalan. Aku terpana."Tapi mas, aku kan masih kuliah," ujarku menunduk. Sebenarnya cukup berat untuk menolaknya. Aku terlanjur memberi hatiku padanya. Aku menggigit bibir bawahku, berharap mas Rendi jangan sampai kecewa. Aku takut setelah mengucapkan kalimat itu, dia akan meninggalkanku."Kamu khawatir, jika tidak kuliah tidak bisa makan?" Aku menggeleng pelan.Mas Rendi mengelus kepalaku lembut. Senyum manis yang tak pernah tidak berhasil memporak porandakan detak jantungku."Dengar Vi, kan ada aku. Nanti setelah menikah, kamu tidak perlu kuliah. Aku yang akan membiayai hidupmu," ujarnya meyakinkan.Aku masih diam. Aku harus drop out? tapi bagaimana dengan 6 semester yang sudah aku lewati? berarti aku sudah menyia nyiakan uangku selama itu. "Gimana Vi?"Aku memejamkan mata, menghela napas pelan. Berperang dengan pikiran yang berkecamuk."Kamu meragukanku ya, Vi?""Bukan, Mas. Aku hanya merasa sia-sia saja dengan biaya yang kuhabiskan percuma jika keluar begitu saja," jelasku. Teringat perjuanganku untuk mendapatkan uang itu dengan memeras keringat.Mas Rendi tertawa."Jangan terlalu difikirkan. Nanti setelah menikah denganku, kehidupanmu pasti terjamin. Bagaimana?" Mas Rendi menatapku sambil tersenyum manis. "Apa, tidak bisa ya, Mas, di sambi saja kuliahnya. Teman-temanku banyak kok, yang sudah kuliah, tapi tetep kuliah." Aku masih berusaha bernegosiasi. Bagaimanapun juga, sayang sekali dengan kuliahku jika harus dilepas begitu saja."Gak perlu sayang. Nanti kamu capek. Kamu cukup menjadi istriku. Tenang saja, aku yang akan membiayai hidupmu, hidup kita. Tidak perlu kamu takut, ya? Percaya pada Mas."Aku menatap manik mata teduhnya, baiklah. Aku luluh, aku mulai terbujuk dengan janjinya. Aku mengangguk mantap."Makasih sayang." Mas Rendi menarikku dalam pelukannya. Aku memejamkan mata. Tersenyum, membayangkan kehidupan indah yang akan kami jalani nanti.Ku lihat mbak Helen bergegas masuk. Memeriksa bunyi yang membuatnya curiga tadi. Sembari menahan napas seiring jantung yang berdegup kencang."Meaow."Langkah mbak Helen terhenti. Menatap galak kucing hitam yang mengeong. Duagh! Aku hampir memekik. Mbak Helen menendang kucing tak bersalah itu."Kucing sialan! Mengganggu saja. Minggir sana!"Kucing malang itu lari terbirit-birit. Maafkan aku kucing, kamu menjadi korban padahal tidak melakukan apa-apa.Mbak Helen masih mengomel. Jelas saja dia juga deg-degan mendengar suara benturan tadi. Kalau sampai yang tahu rencana liciknya itu mas Rendi, dia bisa habis. Kini wanita licik itu kembali ke kamarnya. Aku menyeringai miring. Ah, malang sekali nasib mas Rendi. Mempertahankan mbak Helen, padahal mbak Helen hanya mengincar hartanya saja.Sepertinya permainan akan semakin seru...Ku kembangkan usaha kue lebih maju lagi. Kami membeli ruko khusus di kota kecamatan dengan tema kue unik tradisional. Mengurusnya berempat pastinya. Kami sampai
Sesuai yang disarankan bu Rita, aku harus memulai aksiku. Ku selesaikan pekerjaan wajib di rumah ini. Mama masih mendiamkanku. Mungkin dia masih kesal dengan kejadian uangnya yang hilang itu, yang membuat mbak Helen mengomelinya. Syukurlah, setidaknya aku terbebas beberapa saat dari omelannya."Awas kamu, perempuan sialan. Aku pasti akan membuktikan kalau kamu malingnya," sungut mama saat berpapasan denganku. Aku menggendikkan bahu, tak peduli. Lagipula, dengan cara apa mama akan membuktikannya? Kejadian itu sudah lumayan lama. Tidak ada cctv, atau kamera perekam lainnya. Dan lagi, aku juga tidak pernah mengambil uang mama lagi untuk belanja. Sudah ada mas Rendi yang mengurusnya. Dia yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga."Mas Rendi tidak ke Tangerang lagi?" tanyaku memijit lengannya. "Kau ingin aku pergi, Vi?" tanyanya dengan raut kecewa."Em, bukan begitu. Tapi ..." aku sengaja menggantungkan kalimatku. Aku taksir, mas Rendi akan mengira aku pasti berkeinginan mengikuti dia k
"Gimana, Vi? Belum bisa?"Wajah Via memucat. Sedari tadi dia memasukkan password-nya, tapi belum juga berhasil. Ya, dia meminjam ponsel bu Rita untuk membuka aplikasi biru tersebut. Satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan. Karena untuk nomor, Via lupa semua. Meski dia sebenarnya sangsi Fadil akan membuka aplikasi biru tersebut. Karena aplikasi itu sekarang kurang diminati oleh kalangan anak muda-dewasa. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu cara yang bisa dia coba. Sayangnya, sedari tadi dia memasukkan password, tetap saja belum bisa. Terhitung sudah hampir sepuluh kali, dan semuanya password salah."Arrh!" Via frustasi. Dadanya yang sesak karena gejolak emosinya, semakin menjadi. Perempuan itu menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Menumpu ke paha. Menangis terisak.Rita yang paham, menyuruh anaknya untuk bermain dengan teman sebayanya di luar."Kenapa mas Rendi jahat padaku, bu? Aku salah apa padanya?" adunya disela isakan. Rita menepuk pundak Via. Mengela napas. Keluarga it
Aku meletakkan ponsel itu gugup."I-itu tadi, a-ada pesan, Mas."Mas Rendi menatapku tajam. Berjalan ke arahku. Kurasakan hawa menegangkan yang menakutkan. Meraih ponsel itu kasar."Kau tahu, aku tidak suka ada yang menyentuh barang pribadiku."Aku mengangguk samar. "M-maaf, Mas."Mas Rendi langsung memeriksa ponselnya. Untung saja pesan baru tadi belum kubuka. Semoga saja mas Rendi tidak curiga padaku. Untung juga aku sempat menekan tombol keluar, kembali ke halaman beranda.Pria berstatus suamiku itu menatapku menelisik. Sementara aku meremat jemari tanpa sadar. Gugup, juga takut. "M-maaf, mas. Aku tadi sedang tiduran. Dan, terasa ada yang bergetar di bawah bantal. Jadi, aku periksa. Ternyata, itu ponsel mas Rendi."Pria itu justru mendekatkan wajahnya ke arahku. Netranya menusuk tajam netraku. Posisi yang menambah kegugupanku semakin menjadi. Aku menunduk takut."Mas maafkan. Tapi lain kali jangan begitu ya?" Sebuah usapan lembut mendarat di puncak kepalaku. Aku terperangah, mena
Pintu terbuka. Sontak aku menoleh. Mas Rendi masuk dengan penampilan acak-acakan. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya, bahkan dia kini bersiul-siul riang. Sepertinya dia belum sadar ada aku di kamar.Kuperhatikan pria yang beberapa bulan menjadikanku makmumnya itu. Sepertinya dia hendak mandi. Mengambil pakaian di lemari dengan sekali tarik. Akibatnya, pakaian yang semula tertata rapi itu kembali berantakan. Aku menahan napas. Antara kesal karena merasa terhianati, juga karena cara mengambil pakaian yang membuat berantakan itu."Bisa tolong lebih rapi mengambil pakaiannya, Mas."Mas Rendi terkejut. Handuk yang hendak dia sampirkan di bahu terjatuh. "Vi-Via ...." desisnya kaget. Aku tak menyahut. Menghampiri lemari, dan menata pakaian yang berantakan."Se-sejak kapan kamu pulang?" "Hmm. Sudah lumayan," sahutku datar. Mas Rendi melotot."Kapan?""Gak tahu. Gak lihat jam."Tak butuh lama untuk merapikan. Untung saja belum terlambat. Jadi aku bisa langsung membenahi kekacauan yang
Aku terkejut dengan suara tamparan yang keras itu, wanita yang bernama Tinah itu apalagi. Bu Dita menabok mulutnya keras sekali. Wanita itu sampai mematung di tempat. Wajahnya merah padam, marah, juga tak menduga. Ucapan pedasnya terhenti begitu saja. Keterkejutanku buyar saat bu Dita menarik tanganku."Ayo, Vi. Cepat, pergi." Melangkahkan kakinya, menaiki motor. Aku mengikutinya gugup. Dengan gerakan cepat, bu Dita menyalakan motor dan menancap gas. Brum!Motor melaju kencang."Woy! Tunggu kalian, sialan!"Wanita bernama Tinah itu mencak-mencak. Jelas saja dia marah sekali. Mungkin kalau dia tidak sempat mematung tadi, kami sudah habis dihajarnya. Aku sempat menoleh, bu Tinah dikerubungi tetangganya yang tadi berkutat di dapur. Telunjuk bu Tinah menunjuk-nunjuk ke arah kami. Wajahnya merah padam.Kami sudah jauh. Aku mengembuskan napas. Antara lega, juga khawatir."Apa tidak apa-apa, Bu Dita? Bagaimana kalau ibu tadi melabrak kita?" tanyaku khawatir."Halah! Biarin saja. Emang dasar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments