“Apa maksudmu? Siapa kamu?” Elena menahan tubuh wanita berantakan itu, ketika dia dengan panik hendak pergi.
“Jangan pedulikan siapa aku!” jawabnya penuh ketakutan.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dan pintu hendak dibuka. Baik Elena maupun wanita itu secara bersamaan menoleh ke arah pintu. Si wanita dengan cepat mendorong mundur tubuh Elena, dan berlari menuju balkon. Elena hendak mengejar, namun menyadari jika wanita itu kini sudah melompat dari atas balkon. Elena sampai menutup mata karena tidak sanggup menghadapi hal berikutnya.
Apakah dia mati? Batin Elena cemas.
“Elena Morgan?”
Langkah Elena tertahan. Dia tidak jadi berlari menuju balkon untuk memastikan keadaan wanita itu, saat mendengar suaranya dipanggil dari arah belakang. Elena memutuskan untuk putar badan dan menghadap pria bertubuh tinggi dan kekar di belakangnya. Alexander Blackwood.
“Sudah lama menunggu?” tanya Alex. Dia berjalan mendekati Elena yang berdiri kikuk berhadapan dengan jendela balkon.
Tubuh Elena panas dingin. Dia tidak yakin bisa mempercayai Alex, mengingat kejadian yang telah mereka lewati bersama. Termasuk pernikahan tidak masuk akal ini.
“Tidak masalah,” jawab Elena, berusaha tersenyum. “Aku menikmati pemandangan dari jendela balkon,” Dia mencoba membuat alasan yang tidak akan membuat Alex curiga.
Alex hanya membalas dengan tatapan dingin. Kemudian pria itu berjalan makin maju, kini jaraknya dan Elena hanya beberapa langkah. Dengan matanya yang berwarna hijau, Alex menelusuri tubuh Elena dari atas sampai bawah.
“Kamu tahu siapa aku?” tanya Alex, setelah beberapa saat diam.
Elena menelan ludah. Sedingin apapun tatapan Alex padanya, tidak bisa Elena pungkiri jika Alex begitu menawan. Otot keras, rahang tegas, mata indah berwarna hijau dan rambut tipis di bagian kumis dan dagunya. Alex benar-benar seorang pria berusia 32 tahun yang tampan.
“Alexander Blackwood,” jawab Elena, patuh.
“Gadis pintar,” timpal Alex, tersenyum miring. “Aku suamimu sekarang,”
“Aku tahu,” Elena menjawab dengan cepat.
Alex manggut-manggut. Kemudian dia berjalan dua langkah makin dekat. “Lepas kancingku,”
Jantung Elena berdetak kencang. “A-apa?”
“Kamu tidak dengar? Itu perintah suamimu. Lepas kancingku,” ulang Alex. Dia menatap dingin Elena yang tingginya setara dengan dadanya yang bidang.
Elena menelan ludah. Jantungnya berdetak tidak karuan saat ini. Tidak pernah dia sangka, berdekatan dengan pria yang hampir 10 tahun lebih tua darinya bisa begitu menegangkan. Maka dia mulai melepas satu-persatu kancing kemeja putih yang dikenakan Alex. Mungkin saja Alex bisa mendengar debaran jantung Elena yang begitu kencang.
“Apakah kamu pernah mendengar sebuah aturan, bahwa seorang istri harus selalu patuh pada suaminya?” tanya Alex.
Elena tidak menjawab. Dia hanya terus melepas kancing itu.
“Karena sekarang kamu adalah istriku, jadi apapun yang kuperintahkan, harus dipatuhi. Atau … “ Alex sengaja memutus ucapannya. Dia mengangkat dagu Elena, memaksa agar bisa saling tatap. “Kamu tahu alasanmu ada di sini, kan? Hidupmu dan hidup seluruh keluargamu ada di tanganku,”
Elena menahan napas, mencoba mengatasi rasa takut yang tiba-tiba menyerang dirinya. Dalam hati, dia tahu betul apa yang dimaksud oleh Alex. Pernikahan ini bukanlah pernikahan biasa yang didasarkan pada cinta. Ini adalah perjanjian bisnis, sebuah transaksi di mana dia dan keluarganya ditukar untuk menyelamatkan perusahaan yang hampir runtuh.
Meskipun hatinya gentar, Tabitha menolak untuk menunjukkan sisi lemahnya. Dia mencoba menatap balik Alex dengan tatapan tajam. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara yang bergetar ringan. “Aku tahu apa yang terjadi dan kenapa aku ada di sini,”
Alex tersenyum miring. Merasa puas telah menikahi seorang wanita seperti Elena. Yang lemah dan tidak punya pilihan, namun tetap berusaha tampak kuat. Sebuah tantangan menarik untuk Alex.
“Tidurlah,”
“Apa?”
“Tidur, kataku,” ulang Alex. Dia menahan napas demi menjaga ketenangan.
Elena berubah sedikit gugup. Bola matanya menuju ke segala arah, mencari cara agar tetap aman. “Tapi kita belum mengenal satu sama lain. Beri aku kesempatan untuk … “
“Aku tidak menidurimu malam ini,” potong Alex cepat. Seakan tahu yang dipikirkan Elena. “Aku hanya menyuruhmu tidur,” Dengan isyarat mata, Alex menyuruh Elena untuk naik ke atas ranjang besar itu.
Meski lega, Elena malu. Bisa-bisanya dia memikirkan hal kotor itu. Maka demi menutupi rasa malu, Elena buru-buru naik ke ranjang, menarik selimut dan membungkus seluruh tubuhnya ke dalam selimut.
Sementara Alex duduk di sofa besar yang ada di sudut ruangan, berseberangan dengan ranjang. Dia menyalakan rokoknya dan hanya diam sambil memandangi Elena yang tidur di ranjang.
Merasa tidak nyaman diperhatikan saat tidur, Elena tiba-tiba bangkit. Dia duduk di atas ranjang, dengan nafas memburu. Hatinya benar-benar merasakan ketegangan, yang dia sendiri tidak mengerti penjelasannya. Berada satu ruangan dengan pria asing yang baru ditemuinya adalah suatu hal yang mengerikan.
“Aku ada satu pertanyaan,” tukas Elena.
“Katakan,” Alex terus menyesap rokoknya.
Elena mencoba menyusun kalimat yang mudah diucapkan. “Seorang wanita asing menyerangku tadi. Sebelum kamu datang,” terang Elena. “Siapa dia?”
Mendengar pertanyaan Elena, Alex mendadak kaku. Semula tubuhnya rileks, kini lebih tegang dengan mata seakan tak berkedip memandang Elena di seberangnya.
“Apa maksudmu?” Alex justru balik bertanya.
“Seseorang menyerangku. Seorang wanita, menyerangku di dalam kamar ini,” Elena mencoba bicara lebih pelan.
“Apa yang dia ucapkan padamu?” Alex sepertinya tertarik dengan cerita Elena. Kini dia bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Elena.
Jantung Elena berdebar ketika Alex mendekat lantas melepas kemejanya yang sudah tak berkancing sejak tadi.
“Dia … dia … “ Elena mendadak tak bisa bicara.
Alex tiba-tiba naik ke ranjang, mendorong tubuh Elena. Kini dia sepenuhnya ada di atas tubuh Elena yang tak berdaya. Tanpa disadari Elena, Alex sudah menggerakkan lidahnya menelusuri leher Elena. Wanita itu tentu tidak siap, namun tubuhnya terasa melayang.
“Kuperingatkan sekali lagi, Elena Morgan. Jangan mencari tahu apapun, dan cukup menjadi seorang istri yang patuh. Mengerti?” bisik Alex tepat di telinga kanan Elena membuat tubuhnya gemetar seketika.
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se