Share

Bab 7 Dipaksa Membalas Kebaikan

"Tidurku nyenyak sekali."

Bangun tidur, Celine langsung duduk. Perempuan itu menggosok matanya, lalu merenggangkan tubuh sembari mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.

Tapi, sebuah kejutan langsung menyambutnya ketika dia membuka matanya ...

"Ini ... dimana?"

Mata elangnya menyapu seluruh ruangan. Tempat ini begitu asing. Bingung, kaget, semuanya bercampur jadi satu. Terlebih setelah melihat logo yang terpampang di nakas.

Seingatnya, dia pergi ke bar semalam. Tapi kenapa sudah ada di kamar hotel saat dia bangun? "Apa aku memesan kamar dalam keadaan mabuk?"

Masih dalam keadaan bingung, Celine melangkah. Tujuannya adalah jendela yang masih tertutup gorden. Tapi, langkahnya terhenti ketika dia melihat pantulan dirinya di cermin.

"T-tunggu ... apa yang terjadi?" Matanya memelotot. Dia bahkan langsung menutup mulutnya karena kaget. "Kemana perginya pakaianku?"

Glek.

Celine menelan ludahnya dengan kasar. Wajahnya memucat. "Apakah aku tidur dengan pria hidung belang?"

Celine mulai panik. Takut kalau-kalau hal mengerikan itu terjadi semalam. Dia pun memeriksa tubuhnya sendiri.

Memang tak ada bekas atau tanda apapun disana, tapi Celine bisa menghirup aroma pria yang tertinggal di tubuhnya.

"Tidak. Itu tidak mungkin." Celine mulai frustasi. Wanita itu terlihat mondar-mandir. "Ini pasti hanya mimpi."

Plak ...

Celine memukul dirinya sendiri. Terkejut karena semua ini kenyataan. "Ya Tuhan ... Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh itu, kan?"

Dan, tiba-tiba ...

Tok tok tok

"Nona Celine, Anda sudah bangun?"

"S-siapa diluar?" Sigap, Celine memperbaiki piyamanya. Tak lupa memakai luaran piyamanya dan mengikat talinya kuat-kuat.

"Ada apa?" tanya Celine setelah melihat siapa yang datang.

Ternyata, itu adalah pelayan hotel. Celine tidak tahu kenapa pelayan itu mencarinya. Tapi yang jelas, pelayan itu membawa sesuatu di tangannya.

"Tuan Earl meminta kami mengantar pakaian Anda, Nona."

"Apa?" Dahi Celine tiba-tiba mengkerut. Apa pelayan ini baru saja menyebut nama Presdirnya yang arogan itu? "Tuan Earl? Maksudmu ... Sebastian Earl Sanders?"

"Benar. Semalam, Tuan Earl yang membawa Nona kemari." Pelayan itu tersenyum, lalu menyerahkan pakaian Celine yang sudah bersih dan wangi. "Ini untuk Anda, Nona."

"Ah ... terimakasih." Celine menerima pakaiannya. Akhirnya dia tahu siapa pria brengsek yang membawanya ke hotel. "Kamu boleh pergi sekarang."

Setelah mandi dan mengganti pakaian, Celine pun bergegas. Dia ingin menemui Earl untuk meminta penjelasan.

Tapi sesuatu yang kurang menyenangkan terjadi saat Celine hendak meninggalkan hotel. "Kenapa aku tidak boleh pergi?"

"Karena Anda belum membayar biaya sewanya, Nona!" kata petugas yang menahannya.

"B-belum?" Wajah Celine memerah menahan malu. Untung dia tak pernah lupa membawa dompetnya. Tapi masih ada kejutan lain yang menantinya di belakang. "Jadi, berapa biaya sewanya semalam?"

"Tujuh belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, Nona."

'Apa? Sebenarnya ... pria itu ingin menolongku atau membunuhku, sih?' batin Celine

**

Sesampainya di kantor, Celine langsung menemui Earl di ruangannya. Sepertinya pria itu sangat senggang hari ini. Karena di jam kerja seperti ini dia malah asyik membaca buku.

"Presdir, ada yang ingin kutanyakan padamu."

Celine menghirup nafas panjang. Lalu duduk di hadapan pria itu. Tahu hal ini akan terjadi, Earl pun menutup bukunya.

Tanpa rasa bersalah, pria itu tersentum lalu menyapa Celine. "Bagaimana tidurmu semalam, Celine? Apakah nyenyak?"

"Tentu saja."

Awalnya, tujuan Celine kemari adalah meminta penjelasan. Tapi niat itu urung dilakukan.

Tak ada tanda-tanda bahwa pria ini sudah melecehkannya. Satu-satunya yang membuat Celine penasaran adalah siapa yang mengganti pakaiannya dan kenapa ada aroma pria di tubuhnya.

Tapi Celine sedang tidak ingin membahas itu karena adal hal penting lainnya yang ingin dia bicarakan. "Presdir, apa kamu tidak ingin meminta maaf?"

"Kenapa aku harus meminta maaf?"

"Karena kamu membuatku bangkrut dalam semalam."

"Bangkrut?" Earl pura-pura terkejut. "Apa maksudnya?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu pasti sengaja, kan?" Celine menunjukkan bukti pembayaran yang sengaja dia simpan. Memasang wajah cemberut agar Earl tahu kalau dia sangat marah. "Aku tidak menyangka harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tidur singkat yang tidak aku ingat bagaimana prosesnya."

"Apa uang itu lebih berharga dari dirimu?" tanya Earl.

Meskipun sama-sama duduk. Tapi Earl tetap lebih tinggi. Celine pun harus mendongak jika ingin melihatnya. "Tentu saja diriku lebih berharga dari uang. Tapi bukan berarti aku boleh menghamburkan uang secara cuma-cuma, kan?"

Karena Celine menyalahkan dirinya, Earl pun memberinya timpukan menggunakan buku yang dia pegang. "Jadi, kamu lebih suka kalau aku meninggalkanmu di bar?"

Pria itu kembali merubah posisinya. Kali ini dia bersandar di kursi dengan kaki menyilang. Tak lupa memberikan teguran keras untuk Celine. "Seharusnya kamu berterimakasih. Bukannya protes."

"A-aku ... aku tidak protes, kok."

"Lalu, yang barusan itu apa?" Alis Earl menukik tajam. Setajam tatapannya membuat nyali Celine menciut.

Tak ingin imej yang dia bangun kemarin hancur, Celine pun langsung mengubah ekspresi dan cara bicaranya. "Presdir, maksudku adalah, kenapa Presdir tidak mengantarku pulang ke rumah saja. Kenapa harus membawaku ke hotel bertarif mahal itu?"

"Bagaimana caraku mengantarmu ke rumah. Aku kan tidak tahu alamatmu."

"Presdir kan bisa bertanya pada Pak Felix."

"Felix?" Earl langsung berdiri mendengar nama Felix disebut. Pria itu mengitari meja, lalu berdiri tepat di depan Celine yang mulai berkeringat dingin.

"Kenapa Felix bisa tahu alamat rumahmu?" Pria itu mendekatkan wajahnya. Memindai Celine dengan tatapan menyelidik.

"I-itu, karena Pak Felix pernah mengantarku pulang." Yah, hal itu memang pernah terjadi. Hari itu Celine pulang larut malam dan hujan turun dengan lebatnya. Mungkin Felix kasihan padanya, jadi dia mengantarnya pulang.

Tapi jawaban itu tidak membuat Earl puas. "Apa kalian sedang berkencan?"

"A-apa? K-kencan?" Mata Celine memelotot. Selama ini, Felix memang baik dan perhatian. Dan dia adalah tipe idealnya. Tapi bukan berarti Celine memiliki hubungan khusus dengannya. "Presdir, tolong jangan menyebar gosip."

"Jadi, kalian tidak pacaran?"

"Tentu saja tidak." Dengan tegas Celine menyangkal tuduhan itu. Toh, memang tidak ada hubungan apa pun diantara mereka.

"Bagus. Karena aku paling tidak suka pegawaiku terlibat hubungan asmara di kantor." Akhirnya, Earl menjauh. Tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Itu adalah sebuah pesan masuk dari seseorang.

Celine tidak tahu siapa orang itu, Celine juga tidak tahu apa isi pesannya, tapi ekspresi Earl berubah setelah membaca isinya. "Sialan!"

Ponsel mahal itu dia letakkan dengan kasar. Takut terkena imbasnya, Celine pun buru-buru pamit undur diri.

"Presdir, a-aku baru ingat kalau ada hal yang harus kukerjakan." Wanita itu bangkit dari duduknya. "Terimaksih. Dan, maaf sudah merepotkanmu semalam."

" ... "

Tak ada jawaban, Celine pun beranjak. Tapi tangan kekar milik pria itu mencekal tangannya saat dia akan pergi. "Tunggu dulu. Bukankah kamu harus membalas kebaikanku sebagai ucapan terimakasih?"

"I-iya, seharusnya memang begitu." Celine menelan ludahnya dengan kasar. Lalu tersenyum sambil mengajukan sebuah pertanyaan untuk Earl. "I-itu ... bagaimana caraku membalas kebaikanmu, Presdir?"

"Akhir pekan nanti, temui aku di tempat ini pukul 3 sore." Earl menyerahkan sebuah alamat. "Ingat, kamu tidak boleh terlambat. Mengerti?"

"B-baiklah. Aku mengerti."

Akhirnya, Celine keluar dari ruangan itu. Lega rasanya. Tapi, sangat menyesal karena dia lupa bertanya siapa yang mengganti pakaiannya semalam. "Apa mungkin pelayan hotel yang menggantikannya untukku??"

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status