Arsen hanya memutar-mutar chip itu di jemarinya. Dia berfikir, apa perlu melihat bukti entah apalah itu yang tertangkap di mobil Hexa?Pria itu akhirnya memilih meletakkan chip di laci meja kerjanya. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.Tapi gangguan selalu saja ada. Sebuah telefon masuk ke ponselnya.Pak Burhan. Dia adalah pemilik Night Club sekaligus rekan bisnis yang mengundangnya untuk party bersama semalam.Karena dipastikan apa yang akan dibahas Pak Burhan adalah penting, Arsen pun langsung mengangkatnya.“Halo, Pak Burhan. Bagaimana?” tanya Arsen langsung ketika benda pipih itu menempel di daun telinganya. Sedangkan tangan kanannya sedang menggoreskan tinta untuk tanda tangan di atas berkas.“Tuan Arsen, sebelumnya saya ingin memohon maaf karena minimnya penjagaan dan CCTV club masih belum aktif,” ucap Pak Burhan merasa tak enak pada Arsen.Dahi Arsen berkerut tipis. Dia tentu tau kalau itu club masih baru berdiri seminggu yang lalu. Memang belum sepenuhnya jadi. Diibaratk
Ulang tahun Safira? Arsen memejamkan matanya erat, memarahi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa tanggal ulang tahun istri pertamanya itu?Setiap tahun, semasa hidup Safira. Dia selalu berpesan pada Arsen. Kalau Safira akan selalu merayakan ulang tahunnya di panti asuhan tempatnya dibesarkan dulu.Bahkan, setelah kematian sang istri. Arsen masih saja melakukan hal serupa. Dia datang ke panti asuhan. Bermain dengan anak panti, berbagi dan hal lainnya. Makam Safira juga dikubur dekat dengan panti, jadi Arsen biasanya kesana dengan ibu panti.“Maaf Safira, aku hampir saja lupa,” ucap Arsen bermonolog. Tapi sekarang masalahnya adalah, Arsen sudah berjanji pada anak-anak akan membawa mereka berlibur akhir pekan.Arsen menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Dia memejam sembari memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut.Sampai dia menemukan sebuah keputusan.*** “Papa! Papa! Papa!” Anna melompat turun dari sofa ketika dia melihat Arsen baru dari arah ruang baca.Gadis kecil itu
“Apa aku bangun terlalu siang?” tanya Nadya ketika dia sampai di ambang pintu dapur. Allice berbalik membawa teflon berisi cah udang brokoli yang baru matang. Hingga sekilas dia bisa melihat Nadya disana. Gerakannya sempat terhenti sebelum menuangkan makanan itu ke wadah. Allice mengamati gaya berpakaian Nadya dari ujung kaki hingga kepala. Rok yang dipakai terlalu mini. Juga blazer itu terlalu ketat, hingga belahan dada Nadya terlihat menonjol. “Kau memakai baju kesempitan itu untuk bekerja?” tanya Allice kembali melanjutkan tujuannya, menuangkan sayuran. Nadya memperhatikan diri sendiri. “Ya, ada yang salah? Atau kamu iri tak bisa menonjolkan tubuh seksi sepertiku?” Allice tersenyum miring tanpa menghentikan kesibukannya di atas meja dapur. Yaitu mengisi dua kotak makan untuk bekal Anna dan juga Brian. “Untuk apa aku iri pada wanita sepertimu?” jawab Allice santai. “Wanita sepertiku?” beo Nadya merasa tak terima dengan dua kata yang tadi Allice ucapkan. Allice akhirnya kemba
Arsen tak tahan selama tiga hari ini Allice terus mengabaikannya. Dia pun menarik tangan wanita itu. Kemudian menahan pinggang serta tengkuk leher Allice. Dalam satu waktu, Arsen langsung menyerang bibir pink sang istri.“Mmmmh!” Allice terkejut, reflek mendorong dada Arsen. Tapi pria itu justru semakin memperdalam lumatan, meremas pinggang Allice. Serta menekan tengkuk leher wanita itu.Manis.Arsen merasakan itu.Apalagi ketika Allice tak lagi memberontak. Arsen terus melumat, meringankan tempo, namun dengan mata terpejam.Sebuah French kiss tak terencana. Ciuman yang sekedar gertakan dan hukuman. Kini justru cukup panas terpampang di area terbuka.Sampai Nadya yang berniat turun untuk mengambil minum, harus dikejutkan oleh tontonan itu.‘Apa-apaan ini?’ pekiknya dalam hati.Dengan perasaan kesal, Nadya kembali ke kamar yang yang terletak tak jauh dari kamar anak-anak.Hingga nafas keduanya hampir habis, Arsen baru melepas pagutannya.Tersadar, Allice pun langsung mendorong tubuh A
Allice sempat kesulitan berjalan pada awalnya ketika turun dari ranjang menuju kamar mandi. Ini semua tentu karena kegilaan Arsen semalam. Tapi sekarang, setelah Allice berendam air hangat di bathup. Tubuhnya kembali segar. Tak lagi peduli kemana Arsen berada, karena itu hanya membuat dia sakit hati. Allice keluar kamar berniat membantu Bibi Suci memasak sarapan.Namun langkahnya melambat ketika melewati kamar anak-anak. Suara gaduh terdengar disana.Allice pun mendekatkan telinganya ke pintu yang masih tertutup rapat.“Mereka sedang apa, ya? Biasanya weekend masih tidur,” gumamnya.Saat dia konsentrasi untuk mendengar kegaduhan lagi, pintu tiba-tiba terbuka. “Kau sedang apa?” Suara bariton Arsen membuat Allice memejamkan matanya dan masih dengan posisi miring ke pintu.“Hehehe!” Allice langsung berdiri tegap, meringis menunjukkan deretan gigi putih nan rapi.“Aku hanya penasaran kalian sedang melakukan apa.”Wajah Allice reflek memerah malu karena Arsen justru terus menatapnya. Pad
Allice mencoba mengangkat tubuhnya untuk naik ke permukaan laut. Tapi kakinya sungguh teramat sakit jika bergerak. Ingin pula berteriak memanggil Brian, namun dia berada di dalam air. Sayangnya gerakan Allice yang berlebihan membuat air laut perlahan masuk ke selang udara. Sementara Brian sudah semakin jauh, jagoan kecil itu hobi berenang. Jadi dia bisa dengan lihai bermain disana. Memperhatikan penyu, tanpa menyentuh. Karena penyu merupakan hewan yang sensitif jika sembarang disentuh. Setelah beberapa menit, Brian baru sadar jika mamanya tidak mengikuti. ‘Mama dimana, ya?’ pikirnya dalam hati. Akhirnya Brian naik ke permukaan melihat ke sekitar. “Kak Brian!” Anna nampak sumringah melambaikan tangan pada saudara kembarnya itu. Tapi Brian justru menunjukkan ekspresi panik lalu kembali menyelam. Kode itu membuat Arsen mengerutkan keningnya tajam. Dia sudah mulai merasa ada yang tak beres. Terlebih dia tidak bisa melihat selang udara Allice yang seharusnya nampak di permukaan. Ti
Allice sejak tadi memikirkan kenapa Arsen tidak ada di rumah sakit. Pria itu hanya meminta salah satu anak buahnya untuk menjemput dan mengantar ke resort.Ingin dia menghubungi suaminya itu, tapi tas dan ponsel kata pengawal sudah Arsen bawa.“Ma, kenapa melamun?” tanya Brian melihat ibunya diam sejak mobil keluar dari area rumah sakit.“Melamun? Tidak. Mama hanya mengantuk,” jawab Allice berbohong.Dia lalu menunduk, melihat Anna yang tidur dengan menjadikan pahanya sebagai bantal. Sedangkan kaki Anna berada di pangkuan Brian.“Kamu tidak mengantuk, Sayang?” Allice kembali menatap Brian, memberikan senyuman hangatnya untuk pria kecil itu.Brian menggeleng. “Kalau aku mengantuk, nanti mama bagaimana? Susah gendong kita bersamaan.”“Ah, anak mama ini suka sok dewasa,” canda Allice mengulurkan tangan kanan untuk mengusap kepala Brian.“Hish, mama jangan buat rambut aku berantakan.” Brian langsung membenarkan rambutnya.“Hahaha ... oke oke. Gimana kalau kita main tebak-tebakan supaya ti
Nadya mengatakan kalau ada beberapa preman yang datang ke panti asuhan. Kemudian mengacak-acak panti itu. Hingga membuat ibu panti terluka.Arsen tak bisa menolak untuk tidak segera datang. Bagaimanapun, ibu panti adalah ibu angkat Safira dan Nadya. Tak mungkin Arsen tutup mata membiarkan wanita yang Safira sayang itu sakit.Kini semua sudah membaik. Arsen baru bisa masuk ke kamar yang selalu disediakan untuknya kalau sedang bermalam di panti ini.“Allice masih belum menjawab pesanku?” gumam Arsen seraya menarik ponsel dari dalam sakunya.Entah mengapa dia merasa tak tenang melihat tak ada balasan apapun dari Allice. Juga wanita itu tidak menelfon balik.Padahal biasanya Allice kalau marah selalu mengirim banyak pesan. Hingga Arsen makin kesal dan menganggap semua pesan itu hanyalah sampah.Tapi sekarang, tak ada satupun. Apa Allice tidak marah? Atau justru kali ini lebih marah dari biasanya? Pikir Arsen.“Ck! Apa peduliku?” Arsen melempar ponselnya ke atas ranjang. Kemudian dia melep