Allice Lovania tak menyangka kalau dia ditakdirkan sebagai istri kedua Arsenio Mahardika, CEO berwibawa, suami sahabatnya sendiri. Namun, sebuah tragedi membuat Allice dituduh sudah membunuh istri pertama Arsen, tepat di malam pertama pernikahan dirinya. "Rupanya kamu bukan hanya wanita penggoda, tapi juga pembunuh! Jadi, nikmati saja dunia gelapmu ini, Nyonya Mahardika!” Arsen menatap Allice dengan seringai penuh kebencian. Sejak hari itu, Arsen menjadikan pernikahan mereka bagai neraka. Dia tak pernah memberikan cinta apalagi perhatian pada Allice sedikitpun, bahkan kerap menyakiti. Allice kira, dia akan terbebas dari dendam Arsen setelah dia memberikan keturunan. Tapi tidak, Arsen masih saja mengikatnya begitu erat dan menyesakkan. Akankah Allice bisa membuktikan jika dirinya bukanlah pembunuh? Atau kehadiran cinta dari anak mereka bisa mengalahkan dendam di hati Arsen? Follow Instagram author @ute_glider
View More“Pelan-pelan, Arsen. Sakiit!”
Seorang wanita memekik sakit saat tangannya ditarik kasar oleh suaminya.
Pria itu bernama Arsenio Mahardika. Tubuh tingginya berbanding terbalik dengan wanita berambut hitam di belakangnya. Telapak kekar Arsen terus saja menarik tangan wanita yang 24 jam lalu resmi menjadi istri keduanya.
Kaki mereka masih menginjak rumput di lokasi pemakaman yang becek. Sebab, beberapa menit lalu saat semua meninggalkan tempat peristirahatan terakhir, hujan mulai turun.
Hingga wanita yang terseok-seok sejak tadi akhirnya terpeleset dan terjatuh.
Arsen menghentikan langkahnya. Netra tajam di balik kacamata hitamnya itu menyorot penuh kebencian pada wanita bernama Allice.
“Aku sedang tak ingin bermain drama. Cepat berdiri!”
Arsen meraih tangan Allice lagi lalu dia paksa wanita itu untuk berdiri untuk meneruskan langkah mereka.
Rasa sakit pun menyengat di pergelangan kaki Allice.
“Arsen, kakiku terkilir. Please, berhenti!” Rasa sakit di kaki sekaligus dihatinya membuat air mata Allice keluar begitu saja. Meski sudah tertutup oleh derasnya air hujan, tetap saja Arsen bisa melihat itu.
Tapi apa dia peduli?
Arsen justru semakin muak!
“Oke,” sahut Arsen dingin.
Allice pikir, suaminya itu akan melepas atau membantunya.
Tapi yang ada justru Arsen membungkuk dan menjatuhkan tubuh Allice ke atas bahunya.
“Akh!” pekik Allice saat dirinya dibawa layaknya karung menuju parkiran tempat pemakaman.
Ya, mereka baru saja menjalani ritual persembahan terakhir untuk wanita bernama Safira, istri pertama Arsen. Wanita yang sangat, sangat dan sangat Arsen cintai.
Safira memang sebelumnya memaksa Arsen untuk menikah dengan sahabatnya yaitu Allice Lovania. Hal itu dikarenakan Safira tak bisa memberikan keturunan atas penyakit yang dia sembunyikan selama ini.
Begitu sulit meyakinkah Arsen, hingga akhirnya perjanjian pun terjalin. Arsen mau mengikuti kemauan Safira asal dia diperbolehkan menceraikan Allice saat anaknya sudah lahir kelak.
Pernikahan pun terjadi. Hanya saja, belum juga 24 jam pernikahan berlangsung. Arsen melihat Safira terjatuh dari balkon. Dan – orang yang patut mempertanggungjawabkan kematian Safira adalah Allice. Sebab, hanya Allice yang ada di lokasi kejadian.
***
Setelah menarik kasar dari pemakaman, Arsen membawa Allice ke rumahnya yang sudah sepi. Tak ada sisi lembut sedikitpun, Arsen kembali menggendong istri keduanya di bahu. Sampai perut Allice terasa sakit dan mual.
“Arsen, kita bisa bicara baik-baik! Turunkan aku!”
Allice memberontak pun percuma. Arsen dengan erat menahan bobot tubuh kecilnya itu di bahu tanpa mengucapkan satu patah kata.
Pelayan yang sempat melihat pun hanya bisa membungkuk. Mereka tak mungkin bertanya apa lagi ikut campur urusan majikannya.
Sesampainya di kamar, Arsen melempar Allice ke ranjang.
“Jadi kamu ingin menjadi istriku satu-satunya, hem? Baiklah, nikmati saja statusmu sekarang, Nyonya Mahardika!”
Suara robekan gaun hitam terdengar mengerikan di telinga Allice. Tubuhnya polos dalam satu waktu.
Arsen benar-benar tak menjeda sedikitpun. Dia bahkan melepas kemejanya dengan kasar, hingga kancing-kancing dari dada hingga perut Arsen terlepas dan terlempar entah kemana.
Otot-otot kekar itu nampak begitu seksi. Tapi sama sekali tak memancing decak kagum seorang Allice Lovania.
“Arsen, jangan seperti ini!”
“Diam!”
Arsen membentak seraya menahan kedua tangan Allice di atas kepala hanya dengan satu genggaman tangannya.
Ini bukan karena gairah yang menggebu. Arsen tak sabar bukan karena menginginkan tubuh istri keduanya segera.
Tapi hatinya penuh dengan dendam, emosi dan duka yang mendalam. Dan – Allice harus menanggungnya saat ini juga.
Setelah itu, Arsen mengambil apa yang memang sudah menjadi haknya sebagai seorang suami. Namun, tak ada pembuka. Dia langsung ke bagian inti yang sangat menyakitkan.
“Akh! S-Sakiitt!” Allice merintih dengan mata terpejam. Air matanya semakin menderas ketika tubuhnya terasa terbelah dan pedih yang semakin menjadi.
Sedangkan pria yang berada di atasnya justru semakin kuat menghentak.
Tak ada tanda kenikmatan atas aktifitas ranjang yang terjadi di kamar pengantin itu. Yang ada justru amarah begitu pekat menyeruak di diri Arsen.
Allice mencengkeram sprei menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Air mata itu juga turut menunjukkan seberapa gila aksi kejam Arsen di malam pertama mereka.
Ini bukan malam pertama impian. Tapi justu malam pertama menuju neraka.
Arsen Mahardika, wajah tampan khas eropa itu terpampang nyata di depan Allice. Hidungnya mancung dan kokoh. Garis rahang Arsen juga begitu kuat bercampur dengan matanya yang tajam namun seksi.
Biasanya Allice tergila-gila dengan visual suaminya yang hampir menyentuh sempurna. Tapi kali ini, Arsen sangat menakutkan dan berbahaya.
“Ini kan, yang kamu inginkan, hem?” Arsen mengeram marah.
Allice menggeleng lemah penuh kesakitan.
“A-Arsen ... please, stop!”
Arsen tak mengindahkan permintaan Allice. Justru ini yang Arsen mau, melihat Allice kesakitan. Seperti rasa sakit Arsen atas meninggalkan istri tercinta.
Sampai akhirnya Arsen mendapat klimaks dan mengakhiri aktifitas panas mereka. Tak ada ekspresi puas sama sekali. Arsen tetap dingin dan siap untuk meninggalkan Allice begitu saja.
Tapi wanita itu mengumpulkan keberanian untuk mengangkat sedikit tubuh remuknya, lalu meraih lengan Arsen. Hingga sang suami berhenti.
“Tetap di sini. Dengarkan penjelasanku,” pinta Allice dengan nada bergetar lemah.
Mendengar kata-kata Allice, Arsen menoleh sinis ke arah wanita itu. Dia lalu menepis tangan Allice.
“Jangan banyak bicara. Aku pikir kamu hanyalah wanita penggoda. Tapi aku tak menyangka, kamu bahkan terlalu serakah hingga tega membunuh Safira!” ucapnya penuh penekanan. Mengingat itu, mata Arsen makin menajam.
“Aku tidak melakukan apapun padanya, Arsen. Sungguh! Aku –“
Pembelaan Allice tercekat saat Arsen tiba-tiba mencondongkan tubuhnya lalu mencengkeram rahang sang istri.
“Aku tak butuh pembelaan. Namun hal yang perlu kamu ingat, Allice. Mulai detik ini, aku adalah nerakamu. Aku tak akan membawamu ke kantor polisi. Tapi aku sendiri yang akan menjadikan hidupmu penuh dengan hukuman!”
Tangan Arsen makin kuat mencengkeram. Hingga wajah Allice memucat, pun mata memerah karena mulai kekurangan oksigen. Jantungnya juga bergetar kencang atas rasa takut yang menyelimutinya.
“Jangan harap bisa pergi dariku. Dan jangan pernah memimpikan ada cinta dalam hubungan kita. Aku membencimu, Allice. Aku sungguh membencimu dengan segenap jiwa ragaku!” Gigi Arsen sampai menggertak saat mengungkapkan perasaannya.
Tangan kekar Arsen bisa saja mencekik dan membunuh Allice dalam satu gerakan di rahang rapuh itu. Tapi tidak, Allice harus merasakan sakit hati yang Arsen derita.
Dia melepas kasar cengkeramannya. Hingga Allice terpental di atas ranjang. Lalu dia pergi menjauh.
Setelah terdengar bunyi pintu kamar mandi tertutup, Allice meringkuk dengan tangisan yang semakin menjadi. Dia sampai menutup mulutnya demi meredam suara pilunya itu.
“Aku tidak membunuhnya .... Aku tak melakukan apapun ...,” cicit Allice dengan segala kesakitan di hati juga tubuhnya.
BERSAMBUNG
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments