Di lorong rumah sakit yang terasa mencekam ini, Oscar berjalan mondar-mandir dengan wajah kusutnya. Berulang kali menyugar rambutnya kasar seolah frustasi dengan keadaan yang mencekiknya begitu erat.Bukan hanya Oscar yang tampak kehilangan kendali atas dirinya, sang adik kandung—Lexa, yang baru saja mendarat dari perjalanan panjang, pun juga terisak sesak mengetahui kabar tak menyenangkan ini."D-daddy hiksss ... Dad-daddy ..." Lexa menangis sampai sesegukan sembari menatap ruang ICU, tempat ayahandanya berjuang antara hidup dan mati.Lucetta yang berdiri di samping Lexa lantas merengkuh tubuh ringkih adik iparnya itu. "Sstt sabar, Lexa ... Daddy pasti akan baik-baik saja.""Kamu jangan menangis terus seperti ini. Daddy pasti tidak suka putrinya bersedih," bujuknya membuat Lexa perlahan menyeka air mata yang terus mengalir.Tak berselang lama setelah itu, pintu ruang ICU terbuka. Menampilkan seorang pria paruh baya berjas putih yang keluar bersama para perawat. Oscar bergegas mengha
Dengan emosi yang menggebu-gebu juga amarah yang telah memuncak, langkah besar Oscar membelah heningnya malam di lorong rumah sakit ini.Kedua tangannya terkepal erat. Rahangnya mengetat seiring dengan lava murka yang sebentar lagi pasti akan meledak."Di mana Lucetta?! Apa dia di dalam?! Minggir!" sentak Oscar begitu sampai di depan para bodyguard-nya yang berjaga-jaga di luar kamar inap Anthony.Namun, salah satu bodyguard mencegah langkah Oscar dengan tundukan hormat. "Maafkan saya, Tuan Muda.""Nyonya Lucetta melarang siapapun masuk karena ada sesuatu yang penting."Mendengar ungkapan dari pria berbadan kekar yang seharusnya tunduk padanya, Oscar tanpa ragu melayangkan satu bogeman dahsyat.Bughhh!Raut wajah Oscar memerah, amarahnya benar-benar sudah di ujung ubun-ubun. "Kalian siapa berani melarangku hah?!""Lucetta tidak lebih dari istriku. Kalian bekerja bukan atas perintahnya, tapi aku! Aku-lah yang berkuasa di sini!" murka Oscar yang saat itu juga menendang tulang kering bod
Rinai hujan perlahan turun membasahi bumi bagian utara. Tepatnya di Milan pukul delapan lebih tujuh menit, rombongan Oscar telah sampai di pemakaman keluarga besarnya.Suasana sendu, isak tangis yang menyesakkan, juga rintih pilu yang sejatinya menyiratkan betapa perpisahan yang tersulit adalah dengan maut.Oscar yang hadir dengan jas hitam legam juga kacamata senada mengambil langkah paling depan sembari membawa figura foto Anthony yang tampak tersenyum penuh wibawa.Bukan hanya hatinya yang hancur, tapi jiwa Oscar juga tergores begitu dalam. Kepergian sang ayah yang terlampau tiba-tiba jelas menyisakan luka yang membuatnya cukup trauma.Menghela napas berat, Oscar berhenti di liang lahat yang sudah dipersiapkan untuk ayahandanya. Peti mati Anthony telah dijunjung oleh beberapa pria yang bertugas dan prosesi pemakaman pun dimulai.Lexa tak kuasa menahan tangisnya. Deru kesakitan dan jerit pilu yang begitu keras berulang kali Lexa keluarkan. Perasaannya hancur, teramat sangat hancur.
Pintu ruang IGD terbuka bersamaan dengan lampu indikator di luar yang berubah warna hijau. Pertanda operasi dan tindakan medis telah selesai. Dokter berjas putih keluar, diikuti oleh beberapa perawat yang juga bertugas.Melihat hal tersebut, spontan saja Dev dan Satria yang semula tertunduk menunggu kini menghampiri dokter tersebut."Bagaimana keadaan Nadya, Dok?" berondong Dev dengan mimik khawatir.Serupa dengan Dev, mulut Satria pun tak tahan untuk memastikan tentang kabar Nadya. "Apa dia baik-baik saja? Bayinya juga selamat kan, Dok?"Pria paruh baya berjas putih tersebut tersenyum tipis. "Berkat doa dan keajaiban dari Tuhan, Nona Nadya dan bayinya selamat.""Meski demikian, bayinya masih dirawat intensif di inkubator dan Nona Nadya juga belum siuman," jelasnya yang detik itu juga disambut helaan napas lega dari Dev juga Satria."Apa kami bisa melihat kondisi Nadya sekarang, Dok?" tanya Satria sebab dirinya ingin menatap Nadya langsung.Biar bagaimanapun, hatinya sebagai sosok ora
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
“Pelan-pelan, Arsen. Sakiit!” Seorang wanita memekik sakit saat tangannya ditarik kasar oleh suaminya. Pria itu bernama Arsenio Mahardika. Tubuh tingginya berbanding terbalik dengan wanita berambut hitam di belakangnya. Telapak kekar Arsen terus saja menarik tangan wanita yang 24 jam lalu resmi menjadi istri keduanya. Kaki mereka masih menginjak rumput di lokasi pemakaman yang becek. Sebab, beberapa menit lalu saat semua meninggalkan tempat peristirahatan terakhir, hujan mulai turun. Hingga wanita yang terseok-seok sejak tadi akhirnya terpeleset dan terjatuh. Arsen menghentikan langkahnya. Netra tajam di balik kacamata hitamnya itu menyorot penuh kebencian pada wanita bernama Allice. “Aku sedang tak ingin bermain drama. Cepat berdiri!” Arsen meraih tangan Allice lagi lalu dia paksa wanita itu untuk berdiri untuk meneruskan langkah mereka. Rasa sakit pun menyengat di pergelangan kaki Allice. “Arsen, kakiku terkilir. Please, berhenti!” Rasa sakit di kaki sekaligus dihatinya memb