Share

#5

Setelah dari rumah orang tua Ratih, Dirga langsung pulang. Seperti ucapan nya semalam, kalau dia akan membawa Laras ke apartemen miliknya.

Untuk pernikahannya dengan Ratih, mereka sudah sepakat untuk menikah seminggu lagi. Dirga sudah mengambil keputusan! Meski, nantinya akan menyakiti sang ibu, ia yakin lambat laun ibunya pasti akan mengerti dan merestui pernikahanya dengan Ratih.

"Sudah pulang kamu?" tegur Gandarai pada putranya yang baru saja pulang.

Dia benar-benar merasa kesal dengan putranya ini, bisa-bisanya dia meninggalkan istrinya, di hari pertama setelah menikah.

"Ma." Dirga lebih memilih menyapa dan menghampiri mamanya, lalu mencium punggung tanganya.

Gandari hanya menghela nafas pelan, dia mengerti dengan sikap sang anak. Apalagi, pernikahan ini dia yang memaksa.

Dan juga, Dirga belum sepenuhnya mengenal Laras dan sama sekali tak ada rasa suka ataupun cinta.

Jadi, dia berusaha untuk mengerti hal itu. Tetapi, dia yakin perlahan-lahan anaknya ini pasti akan luluh dengan menantunya itu.

"Sudah makan kamu?" tanya Gandari sedikit melunak.

"Belum Ma, makanya aku pulang untuk makan bersama mama dan setelah itu langsung pergi ke apartemen."

"Kamu yakin, ingin tinggal di apartemen?" tanya Gandari menatap serius pada sang anak.

"Iya Ma! bukankah, akan lebih baik jika aku dan Laras tinggal berdua saja, untuk kami bisa lebih saling mengenal?" Dirga mencoba memberi alasan yang logis.

"Ya, kau benar! tapi, mama hanya berpesan, perlakukan Laras dengan baik! mungkin, sekarang kamu belum bisa menerimanya! namun, lambat laun kamu pasti bisa menerima dan mencintainya! dengar Dirga, mama melakukan ini hanya demi kebaikanmu dan mama yakin kamu pasti akan menerima Laras dengan sepenuh hati!" nasehat Gandari panjang lebar.

"Ma, boleh aku tahu, kenapa mama kekeh ingin aku menikah dengan Laras?" tanya Dirga yang memang sudah sangat penasaran, alasan itu.

Gandari menghembuskan nafas kasar. "Ceritanya sangat panjang dan mama tidak bisa cerita sekarang! lebih baik, kamu fokus dengan Laras!"

"Baiklah!" Dirga habya bisa pasrah saat mamanya tak ingin memberitahu alasanya.

"Ma, makan malam sudah siap!" suara lembut menyapa indra pendengar keduanya.

Mereka menatap ke asal suara. Gandari tersenyum lembut dan segera menghampiri menantunya itu.

"Ayo, kita makan! mama juga sudah lapar." Gandari menatap anak laki-lakinya dan memberi isyarat untuk mengikuti mereka ke ruang makan.

Dirga yang mengerti, langsung berdiri dan mengikuti istri dan mamanya. Istri? ah, rasanya tak percaya kalau Dirga ini sudah memiliki istri.

Sementara Laras hanya melirik saja, tak berniat menyapa suami menyebalkannya ini. Sesampainya di ruang makan, Dirga dapat melihat berbagai menu makanan yang kebanyakan adalah menu kesukaannya.

"Laras, ambilkan makan untuk suamimu!"

"I-iya Ma," meski malas, Laras tetap melakukan perintah sang mama mertua.

"Terima kasih," ucap Dirga saat sepiring nasi lengkap dengan lauknya ada di hadapanya.

"Sama-sama om," jawabnya dan langsung duduk menikmati makanannya.

Dirga meringis, saat mendengar panggilan Laras yang ditujukan untuknya. Rasanya terdengar aneh dan geli di telinganya.

Mereka menikmati makanan mereka dengan tenang. Hanya dentingan sendok dan garpu saling beradu.

"Gimana rasanya enak?" tanya Gandari pada anaknya.

"Iya Ma, ini enak sekali! masakan mama memang paling enak!" pujinya.

"Tapi ini bukan mama yang masak!"

"Lalu siapa?" Dirga mengerutkan kedua alisnya bingung.

"Tentu saja istrimu!"

Ukhuk...

Dirga langsung tersedak mendengar ucapan mamanya. Secara tidak langsung dia sudah memuji Laras.

Laras dengan cepat menyodorkan segelas air pada sang suami dan Dirga langsung menerimanya lalu meminumnya hingga tandas.

"Pelan-pelan om! masih banyak, jangan takut kehabisan!" celetuk Laras membuat Dirga mendengus kesal.

"Siapa yang mau dengan masakan rasa garam ini?" ketusnya.

"Rasa garam, tapi nambah berkali-kali!" cibir Laras.

Gandari hanya tersenyum melihat interaksi anak dan menantunya ini. Sangat menggemaskan.

"Sudah-sudah, jangan berantem! ayo lanjut makan lagi."

Mereka berdua langsung menghentikan perdebatan mereka dan lanjut makan lagi. Bebera menit kemudian, mereka sudah menyelesaikan makannya dan kembali ke kamar mereka masing-masing.

"Kau sudah mengemasi barang-barangmu?" tanya Dirga saat sudah sampai di dalam kamar mereka.

"Sudah!"

"Kalau begitu, kita langsung berangkat!"

Laras hanya mengangguk, ia segera mengambil tas kecil yang cukup untuk beberapa pakaiannya.

Laras memang tak membawa baju terlalu banyak, lagi pula dia juga tak memiliki stok banyak baju.

"Ma, aku pamit ya! mama jangan lupa meminum obat dan selalu jaga kesehatan." Laras berpamitan pada Gandari.

"Tentu mama akan jaga kesehatan mama! mama kan ingin melihat kamu hamil dan masih ingin menggendong cucu mama!" jawab Gandari dengan antusias.

Dirga dan Laras saling berpandangan, lalu tersenyum kaku menatap Gandarai yang tersenyum dengan lebar, menatap keduanya secara bergantian.

"Mama harap, kalian tak menundanya."

"I-iya Ma," jawab keduanya dengan ragu.

"Dirga, jaga menantu mama dengan baik! sering-sering main ke rumah mama!"

"Tentu saja Ma, kami akan sering main kesini!" Dirga menjawab dengan yakin.

Setelah berpamitan, mereka langsung pergi menuju apartemen Dirga. Selama perjalanan tak ada yang membuka suara, hanya keheningan yang menyapa.

Hingga tak terasa, mobil yang ditumpangi mereka sampai tujuan. Dirga turun dari mobilnya, mendahuli Laras dan tak berniat untuk membantu istrinya untuk membawakan barang-barang milik Laras.

Dirga memencet tombol angka, sandi apartemennya, tak lupa ia mengatakan pada Laras untuk mencatat dan menyimpannya baik-baik.

Meski mereka menikah karena paksaan, mereka tetap tinggal bersama. Jadi, mau tidak mau Dirga harus memberitahu kata sandinya pada Laras.

Dia hanya tidak ingin direpotkan dengan masalah kecil seperti ini. Laras hanya mengangguk dan mencatat di ponsel miliknya.

"Di sini kamarmu dan di sana adalah kamarmu! ingat, sesuai perjanjian, kau tak boleh mencampuri urusan pribadiku! jadi, jangan pernah mencoba untuk masuk ke kamarku!" peringat Dirga dan Laras hanya diam saja.

"Ini kartu atm dan uang cash untukmu! aku rasa itu cukup untuk kebutuhan dapur dab kebutuhanmu selama sebulan. Setiap tanggal satu, aku akan mengisi kartu itu!" Dirga menyerahkan beberapa uang lembar merah.

Karena dia yakin, kalau Laras tidak memegang uang sama sekali. Setelah menjelaskan semuanya pada Laras, Dirga kembali ke kamarnya untuk meng-istitarahatkan tubuh lelahnya.

Laras menatap punggung Dirga yang perlahan menghilang dari balik pintu. Ia lalu menghembuskan nafas kasar, setelah kepergian suaminya.

Suami? apa pantas, Dirga disebut sebagai suaminya? sementara, lelaki itu sama sekali tak bisa menerimanya sebagai istri.

Memang dirga memberikan nafkah lahir, tapi bukankah pernikahan tak cukup dengan uang saja?

"Ah, sudahlah! lebih baik, aku fokus kuliah saja! perlahan, aku akan mendekati om Dirga pasti lambat laun dia akan menerimaku," gumamnya.

Laras lebih memilih merebahkan tubuh lelahnya dan segera menjemput mimpi malam ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status