Kosong.Semua ruangan sunyi.Aurora terus membuka semua pintu villa dengan cepat. Tatapannya panik, gerakannya tergesa, tidak lucu jika Kael menghilang setelah mimpi buruk yang menyentaknya pagi ini.“Kael?” Hening.Napas Aurora semakin memburu ketika pintu terakhir dibuka. Tidak ada.“Kael!!!”Hanya suara deru angin dari pintu belakang yang terbuka. Helai rambut Aurora berantakan, tangannya menyibak pelan—tampak bergetar.“Kael….”Suara putus asa itu berganti dengan isak tangis pelan. Kakinya tak lagi kuat untuk melangkah. Ia terjatuh, lututnya membentur keras lantai kayu. Serat kayunya yang halus, tetap terlihat menjejak di kulitnya; dikelilingi memar memerah.“Kau bilang tidak akan pergi,” isaknya. “Tapi kenapa… kenapa?!”Angin berhenti berembus. Telinganya bahkan sampai berdenging berkat sunyi. Satu kelebat sontak membuat Aurora menoleh. Dan ketika itu, seorang pria dengan setelan hitam bertudung untuk menyembunyikan wajah berlari cepat, derapnya membuat Aurora tercekat. Dan saa
Langkah tegap Luther menjadi satu-satunya sumber suara saat melewati lorong kantor pusat Vireaux Group. Sepi, tak ada satu pun orang lagi di jam hampir tengah malam ini. Setelah kembali dari villa milik ibunya tadi, ia harus menyelesaikan pekerjaannya di ruangan Kael. Sebuah rahasia, yang harus dilakukannya dengan cepat.“Luther Osborn.”Satu suara menghentikan langkah orang kepercayaan Kael itu. Gerakannya tetap tenang, meski jujur saja, ia sedikit terkejut.“Tuan Vireaux,” sapa Luther setelah ia menoleh, menyapa pria tua yang kini menghampirinya perlahan.“Cukup aneh melihatmu berjalan sendiri tanpa Kael.” Bastien berhenti tepat di hadapan Luther. Senyum tipisnya jelas terlihat dipaksakan. “Di mana Tuanmu itu?”Luther tersenyum ramah, tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya sekarang. Tatapan matanya lurus mengarah pada pandangan Bastien, tapi dengan sorot lembut. “Tuan Kael sedang menikmati waktu yang sangat luar biasa dengan Nyonya Aurora.”“Oh, really?” Bastien menyentak satu al
Sementara Kael dan Luther berusaha menjauhkan Aurora dari kekacauan, di tempat lain, seorang pria terengah dalam ruangan gelap tanpa penerangan. Cahaya malam yang menyusup melalui celah angin-angin menjadi satu-satunya yang mampu menampilkan lekuk samar wajahnya yang kini penuh memar dan lelehan merah pekat di pelipis, menjejak kental, menyebar bau anyir tipis.Napas terengah dan geraman menjadi suara yang mendominasi. Kali ini disertai dengan suara retakan nyaring dari rahang yang dihantam buku jari milik Bastien Vireaux. Sudut bibir pria itu pecah—darah menciprat, memercik para bidang kosong di tembok yang menghimpit.“Mereka… tahu ka-kau pelakunya… Tuan,” sengal pria itu. Rambutnya basah terkena peluh, menutup semua sisi wajahnya yang tertunduk.“Dan kau yang akan menanggung akibatnya karena pekerjaanmu yang tidak becus!” Pukulan demi pukulan semakin agresif. Pria muda itu tak lagi memiliki tenaga untuk berontak atau hanya sekedar meminta ampun. Kebas di tiap pukulan telah menggant
Luther tidak berbohong dengan senja yang tidak seharusnya dilewatkan di halaman belakang villa tua peninggalan keluarganya. Semburat jingga dengan gradasi ungu pekat dan merah muda menyebar serentak—seakan sedang berada di dunia lain.“Aku tidak pernah menyangka Vallmont memiliki senja yang nyaris tanpa cela.” Mata Aurora tak lepas dari gradasi langit yang terus berubah sepersekian detiknya.Di sebelahnya, Kael duduk di kursi santai yang sama dengan Aurora. Tangan kanannya memegang cangkir kopi dan menyesapnya pelan. Hanya kopi sachet karena villa ini tidak memiliki mesin kopi canggih seperti di penthouse—tapi lucunya—rasanya terasa lebih nikmat.“Bisa d
“Aku tak pernah tahu kau memiliki tempat seperti ini.” Langkah Aurora pelan, sedikit gelisah ketika menjejakkan kaki di halaman basah yang penuh dengan rumput liar. Kakinya bahkan sampai berjinjit beberapa kali untuk menghindari genangan air. Kael di depannya tampak tak terpengaruh dengan hal itu, seakan ia telah seringkali datang ke tempat ini.“Aku tak pernah memilikinya.” Kael mendorong pintu kayu dengan banyak goresan di bagian bawah. Entah apa yang telah terjadi sebelumnya, sedangkan cat di bagian atas telah sedikit mengelupas. “Dan aku baru sekali ini datang ke tempat ini.”“Lalu?” Aurora mengerutkan kening, masih mengikuti Kael dengan penuh pertanyaan. “Kau menerobos masuk begitu saja? Aku tidak tahu kau memiliki attitude yang jelek, Husband.”Kael menyibak kain putih yang menutup seluruh perabot di dalam. Cukup mengejutkan ketika situasi di dalam lebih terlihat… manusiawi. “Dan aku sudah menyangka jika kau selalu protes dengan semua hal yang baru kau hadapi, My Dear.”Dengusa
“Kau harus siap menanggungnya jika benar-benar menginginkanku.” Dalam, suara Kael mengunci logika Aurora dengan penuh kesadaran.Deru napas yang semakin cepat, seakan menjadi jawaban. Aurora tak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya—menatap Kael dalam.Saat rengkuhan Kael semakin rapat, tak ada lagi kesempatan untuk mundur. Ketika Aurora telah membuka jalan menuju hal terdalam pada dirinya, saat itulah ia jatuh ke dasar pesona Kael tanpa perlu dipaksa.Sesapan menyentuh bibir Aurora perlahan—lembut, basah. Semua hal yang beberapa terakhir ini mereka tahan, saat ini tak ada sekat yang perlu dipertahankan. Kael menarik tubuh Aurora, menggulingnya perlahan sampai berganti posisi.Dalam sekejap, Aurora telah duduk di atas pria dengan sejuta rahasia itu. Sesapan yang sempat terputus, kembali disambar menjadi lumatan penuh desah. Tubuh mereka tak berjarak, kulit yang telah polos bersentuh—dipenuhi desiran tak tertahankan.“Kau tak bisa lari dariku setelah ini,” geram Kael rendah.Erangan