Mag-log inBerat.Terlalu pusing untuk bergerak. Aurora mengerang pelan, merasakan denyut kepalanya yang mengencang. Aroma antiseptik menguar pekat, kabut tipis di pandangannya perlahan tersibak. “Aku di mana?” Suara Aurora sedikit serak, tenggorokannya tercekat.“Nyonya Vireaux, Anda bisa mendengarku?”Aurora mengenyit, lalu mengangguk pelan. “Luther…”Luther tak segera menjawab. Ia dengan cepat menekan tombol perawat beberapa kali. “Anda di rumah sakit saat ini. Tuan Vireaux yang membawa Anda kemari.”Rumah sakit? Aurora mengerjap matanya beberapa kali. Ah, benar. Pertengkarannya dengan Kael pagi ini, Celeste yang menindihnya. Ah, sial. Rasanya sesak. Tunggu. Dua orang yang menerobos kamarnya. Aurora mengingat jelas ketika mereka tiba-tiba menyerangnya. Tangannya dengan cepat meraba leher. Tajamnya belati masih bisa ia rasakan, tapi syukurlah tak sampai menggoresnya. Lalu, benturan di kepalanya ketika terjatuh ke lantai. Ah, benar. Pasti dari situ ia kehilangan kesadaran.Aurora mencoba ban
Suara gebrakan pintu membuat Ezra dan Celeste menoleh cepat. Kael, dengan wajah kusut dan rambut berantakan melangkah cepat. Ezra segera melompat berdiri, wajahnya tegang.“Bagaimana Aurora??” tanyanya, tanpa basa-basi. Celeste yang baru menyesap teh panasnya pun ikut berdiri—dengan memeluk bantal sofa kecil.Suara Kael bergetar, tak seperti biasanya. “Bersama Luther. Dia… keguguran.”Ezra terdiam. Celeste benar, Aurora hamil. Ia tahu, cemburu ataupun rasa tidak terima yang tengah ia rasakan bukanlah haknya. Namun sebagai seorang yang memiliki perasaan pada Aurora, ia tak menyukai kenyataan bahwa hubungan antara Aurora dan Kael lebih dalam daripada yang ia kira.“Dia baik-baik saja?” Ezra bertanya dengan mata nanar menatap lantai.“Baik.” Kael menghela napas. “Dia masih dalam pengaruh obat bius. Aku segera pergi begitu dia dipindah ke ruang perawatan. Di mana dua orang itu?”Ezra mengepalkan kedua tangannya. “Tetap di ruangan tadi. Aku dan Celeste mengikatnya di sana.”Kael tak menja
Tenang, semuanya sedang diatasi. Hanya itu ucapan yang dari tadi didengar oleh Kael.Damn it!Bagaimana bisa tenang jika Aurora terbaring pucat di dalam sana?!“Nyonya Aurora pasti baik-baik saja.” Luther kembali mengingatkan.Tangan Kael mengepal kuat. Ucapan Luther hanya terdengar seperti gumaman dari dalam gelembung kecemasan. Tak ada satu kata pun yang mampu menenangkannya saat ini. Sampai akhirnya dokter keluar dari ruangan tindakan. “Dokter Warren, katakan apa yang terjadi pada Aurora?!” Kael bergegas menanyakan, sorot matanya jelas terlihat cemas.Dokter Warren tak segera menjawab. Situasi seperti ini hampir sering ia alami—menyampaikan berita buruk pada pasien. Namun jika menyangkut tentang keluarga Vireaux, secara tidak langsung harus memilih kata yang tepat agar emosi Kael tak meledak.“Apakah Anda tahu kalau nyonya Vireaux sedang hamil?”Apa? Hamil?Pandangan Kael bergetar. Sampai detik ini, ia belum pernah mendengar itu dari mulut Aurora. Mungkinkah istrinya benar-benar h
Kesadaran Kael berangsur kembali. Nyeri di tengkuk masih terasa, sementara Ezra menindih tangannya yang terikat ke belakang. Punggung mereka saling berhimpitan, sementara Kira masih mendebat sikap Nick yang sudah keluar dari rencana.“Taruhannya nyawa kita!” sentak Kira, sambil menyibak kasar rambutnya ke belakang.“Tidak jika kita habisi dulu nyawa mereka semua.” Nick terdengar santai, kontras dengan Kira yang meledak-ledak.“Semua? Pria berambut hitam itu bagian dari kita juga, kan?” Kira melirik sekilas ke arah Ezra. “Kau juga mau membunuhnya?”“Bos bilang bunuh semua yang ada di rumah ini. Dia ada di sini, berarti dia juga termasuk target.” Nick kembali mengikat tali di pergelangan tangan Aurora.Kira menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Aurora yang kehilangan kesadarannya. “Harusnya kau menurut sejak ancaman pertama dikirim. Sekarang kau harus menanggung risikonya, Princess.”Rahang Kael mengetat saat mendengar ucapan Kira. Dadanya bergemuruh, tak tahan dengan ocehan sampah
Membutuhkan beberapa saat bagi Aurora untuk memutuskan keluar kamar. Meskipun sebenarnya ada perasaan enggan untuk melihat wajah Kael, tapi pria itu pasti butuh masuk kamar untuk menyiapkan diri sebelum berangkat kerja.Bunyi klek pelan terdengar ketika Aurora memutar kunci. Hening. Tak ada suara sama sekali ketika ia melangkah. Sofa yang seharusnya menjadi tempat tidur Kael pun kosong. Kemana pria itu? Apa mungkin pria itu berada di ruang kerjanya?Penasaran, langkah Aurora mendekat pada ruangan yang selalu tertutup itu. Namun pagi ini pintunya terbuka sedikit—tidak biasanya. Tangan wanita itu meraih gagang pintu tanpa banyak berpikir, namun napasnya tertahan saat menatap hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Kael?” Suara Aurora bergetar, berhasil membuat Kael menoleh cepat, wajahnya terlihat panik. Sementara Celeste yang menindih pria itu menyeringai puas ketika Aurora membelalak di ambang pintu. “Apa yang kalian lakukan?” Suara Aurora pecah, terdengar penuh luka.Lengan K
Hanya karena pria memiliki insting berburu, bukan berarti ia bebas memburu siapa pun dan menerkamnya, kan? Ada aturan dan norma dalam sebuah hubungan—setidaknya bagi Aurora. Bercinta tanpa cinta, bagaimana bisa Kael melakukannya?Pria itu tak mengejarnya. Cukup mengecewakan, tapi juga melegakan. Saat ini Aurora tak ingin menatap wajahnya. Bayangan Kael dan Celeste sedang bergelut di atas kasur, membuatnya murka. Bagaimana pria itu mengecup, mengecap, dan menghentak. Oh, shit! Aurora tak sanggup membayangkannya.“Rora?”Aurora buru-buru menghapus air matanya. “Kau kah itu?” Ezra mendekat, menyusuri dermaga kayu menuju tepi danau—tempat Aurora dan Kael menikmati sunset waktu itu.Tak ada jawaban, hanya dehaman pelan untuk menyamarkan suara yang serak setelah terisak.“Benar kau,” ucap Ezra, lalu duduk di sebelah Aurora. “Sedang apa di sini? Ada masalah dengan Kael? Aku mendengar kalian saling teriak.”Desah frustrasi menjadi jawaban pertama yang lolos dari bibir Aurora. Tangannya salin







