Share

Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin
Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin
Author: Cahaya Asa

Bab 1

Author: Cahaya Asa
last update Last Updated: 2023-12-01 19:28:51

"Kalau nggak bisa naik motor jangan berkendara di jalan raya!"

Seperti tuli, gadis berhijab yang masih memakai seragam mengajar bergegas menegakkan kembali motornya, tanpa melihat ke arah pengendara mobil yang ia tabrak akibat ia tidak menyadari bahwa ia melajukan motor matic merahnya di jalur yang salah.

Tanpa mengatakan satu patah kata pun, Kiara Ramadhani kembali menaiki motornya dan melajukan benda itu kembali, mengabaikan ucapan-ucapan dari sosok berpakaian mewah yang ia tabrak tadi.

"Hei! Kamu mau ke mana? Kamu terluka!" teriak pria tersebut.

Meski awalnya marah-marah, melihat gadis yang bertabrakan dengannya terluka, sisi kemanusiaan pria itu tersentil.

Akan tetapi, Kiara sudah telanjur pergi. Gadis itu bahkan tidak merasakan sakit, padahal darah merembes di bagian lutut dan sikunya yang tadi terbentur aspal jalanan.

Air mata Kiara terus mengalir. Pandangan matanya membuaram karena terhalang oleh genangan air yang tak berhenti mengalir. Bayangan sang ayah yang tergolek lemah di rumah sakit terus menjajah pikirannya.

Ia belum akan tenang sebelum mengetahui nasib ayahnya.

Sesampainya di rumah sakit, Kiara memarkir motornya begitu saja dan langsung mendatangi ibunya yang menunggu di depan ruang ICU.

"Bu, bagaimana keadaan Ayah?" Kiara langsung bersimpuh di hadapan ibunya.

Kiara melihat wajah sembab sang ibu dan menggenggam tangan wanita paruh baya itu lebih erat, mencoba menguatkan.

Wanita paruh baya itu menghela napas panjang sebelum mengatakan, "Kata dokter, ayahmu terkena serangan jantung.”

Sepasang mata Kiara membelalak. "Ke-kenapa bisa, Bu?"

Namun, pertanyaan itu tidak langsung mendapat jawaban karena detik itu, Siska, wanita yang melahirkan Kiara menyadari kondisi putrinya yang terlihat kacau.

"Sayang, kenapa ada banyak darah di bajumu?” tanya Siska panik. Sejenak ia melupakan kondisi suaminya yang belum sadar di dalam sana. “Apa yang terjadi, Nak?"

Spontan Kiara melihat dirinya. Kedua bola matanya langsung membelalak melihat noda darah yang cukup banyak di bagian siku dan lututnya.

Baru saat itu ia mulai merasakan perih yang mendera.

"Kamu kenapa, Sayang? Katakan pada Ibu!" Siska mengguncang bahu Kiara yang masih mematung menatap dirinya sendiri.

"Ta-tadi Kia jatuh, Bu," ucap gadis itu lirih.

"Astaghfirullah, bagaimana bisa? Sekarang ayo kita ke UGD! Lukamu harus segera diobati biar nggak infeksi!"

"Tidak, Bu! Kia mau lihat kondisi ayah dulu!" Gadis itu menolak. Pikirannya masih belum bisa tenang sebelum bisa memastikan keadaan ayahnya.

"Tapi ayahmu juga belum bisa ditemui.” Sang ibu terdengar tegas. “Ayo, sebaiknya kita obati dulu lukamu. Jangan membuat Ibu semakin khawatir, Nak."

Kali ini Kiara menurut karena tidak tega dengan tatapan memohon dari sang ibu.

"Apa yang terjadi sama Ayah, Bu?" tanya Kiara lagi setelah luka-lukanya diobati. Siku dan lututnya terluka akibat jatuh tadi. Tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat dua organ itu harus diperban.

Siska kembali menghela napas, seakan-akan ada beban yang terlampau berat di dada.

"Perusahaan ayahmu bangkrut. Manajer keuangan melarikan uang perusahaan hingga menyebabkan kerugian yang cukup besar,” jelas sang ibu dengan suara pelan. “Ayahmu langsung pingsan mendengar berita itu.”

"Astaghfirullahaladzim,” ucap Kiara. Ia menutup mulutnya, tidak percaya dengan kabar tersebut. “Kenapa tega sekali orang itu, Bu? Bukankah selama ini Ayah sudah memperlakukan para karyawannya dengan baik?"

Ibu Kiara menggeleng pelan. “Ibu tidak tahu, Nak. Yang jelas … sekarang para karyawan menuntut gajinya yang belum dibayar.” Tangis Siska yang sejak tadi berusaha ia bendung, akhirnya jebol juga. “Kalau sampai seminggu ke depan belum dibayarkan … ayahmu akan dituntut.

Kiara diam. Yang terdengar hanyalah suara tangis sang ibu.

Gadis itu sedang berusaha memproses sederet informasi baru yang masuk. Tentang ayahnya, tentang manajer yang kabur, tentang tuntutan karyawan ….

Semuanya terlalu tiba-tiba.

Perusahaan ayahnya sebenarnya tidak terlalu besar, tapi jika bangkrut … sudah pasti kerugiannya juga tidak sedikit.

“Sayang, dari mana kita dapat uang sebanyak itu?"

Suara sang ibu kembali menyadarkan Kiara, hingga gadis itu akhirnya mengambil keputusan.

"Kita jual saja rumah kita, Bu," ucap Kiara.

Spontan Siska menatap putrinya tak percaya.

Rumah itu satu-satunya aset berharga yang mereka seharusnya mereka pertahankan hingga akhir.

Jika rumah itu ikut dijual juga, di mana mereka akan tinggal selanjutnya?

"Tapi, Nak–"

"Bu, Ayah lebih penting dari rumah itu. Kia nggak mau Ayah masuk penjara." Gadis berhijab itu menatap sang ibu dengan penuh keyakinan.

"Harusnya manager itu yang masuk penjara!" tukas wanita paruh baya itu.

"Benar, Bu. Tapi dia sudah kabur kan? Sembari mencari orang itu, lebih baik kita segera selesaikan dulu urusan ini. Kia nggak mau Ayah semakin sakit kalau sampai para karyawan menuntutnya, Bu.”

Kiara menatap manik wanita yang melahirkannya ke dunia itu dengan penuh permohonan. "Percayalah, Bu. Kita pasti bisa bangkit lagi."

Gadis itu berusaha meyakinkan sang ibu..

"Nanti sisanya bisa kita pakai untuk mengontrak rumah sederhana, Bu. Untuk pengobatan Ayah biar Kia yang berusaha untuk mencarinya.”

Namun, meski begitu, tak ayal hati Kiara meringis ngilu.

Jika ayahnya harus dioperasi, pasti membutuhkan uang yang tidak sedikit. Dari mana dia mencari uang sebanyak itu dalam waktu dekat sedangkan honornya mengajar masih akan ia terima awal bulan depan? Itu pun jumlahnya tidak seberapa.

Tampaknya, pemikiran Kiara disadari oleh sang ibu.

Tatapan mata Siska pada putrinya semakin sendu. Seharusnya di usia putrinya yang sekarang, gadis itu bisa menikmati masa mudanya dengan bersenang-senang.

Akan tetapi, putri semata wayangnya itu terpaksa harus banting tulang untuk mencari uang demi keluarga.

Hati ibu mana yang tidak sedih melihat betapa tersiksanya sang buah hati?

"Tapi gajimu tidak akan cukup untuk membiayai pengobatan ayahmu, Sayang. Apalagi kalau sampai operasi," ucap Siska kemudian.

Rasanya wanita itu tak tega membiarkan putri satu-satunya itu harus bekerja keras sendirian sedangkan dirinya tidak mampu lagi untuk ikut bekerja karena fisiknya yang juga tidak terlalu kuat.

"Kia akan mencari pekerjaan tambahan, Bu. Alhamdulillah barusan Kia mendapatkan informasi pekerjaan dengan gaji dua kali lipat dari sekolah."

Kedua mata Siska membelalak mendengar pengakuan putrinya.

"Pekerjaan apa?" tanya Siska. Perasaannya mulai tak nyaman sekarang.

"Mengajar les di rumah orang kaya, Bu. Setiap sore, Kia harus mengajari anak itu. Doakan Kia bisa diterima ya, Bu. Agar bisa melunasi biaya rumah sakit ayah," jawab Kiara tersenyum sembari membayangkan wajah cantik murid barunya.

Helaan nafas lega terdengar dari mulut sang ibu. Setidaknya, bukan pekerjaan aneh-aneh yang dimaksud putrinya. Meski dalam keadaan sulit sekalipun, ia tak mau putrinya terjerumus dalam lembah dosa.

"Maafkan ibu dan ayah, Sayang. Seharusnya kamu tak perlu menanggung semua ini sendiri. Harusnya kamu fokus untuk dirimu sendiri, bukan malah menjadi tulang punggung begini." Mata Siska tampak sudah basah kembali.

"Jangan bicara seperti itu, Bu. Kia anak Ayah dan Ibu satu-satunya. Sudah jadi kewajiban Kia untuk menggantikan Ayah di saat Ayah sakit begini. Tolong doakan Kia ya, Bu. Doakan Kia bisa mendapatkan uang banyak agar kita nggak perlu menjual rumah."

Kia meraih tangan ibunya dan meletakkan di atas kepalanya. Ada rasa hangat saat tangan berlumur kasih sayang itu mengelusnya pelan. Untuk sesaat beban yang ia rasakan seperti terangkat.

"Keluarga Bapak Hadi?" Suara perawat menginterupsi ibu dan anak itu.

"Bagaimana keadaan Ayah saya, Sus?" tanya Kiara dengan tatapan harap-harap cemas.

"Ada penyumbatan di jantung, jadi harus dilakukan tindakan operasi secepatnya."

Bahu Kiara langsung terkulai mendengar penjelasan itu. Meskipun sudah memprediksi sebelumnya, tapi mendengar langsung dari pihak rumah sakit tetap saja membuatnya syok.

Perawat itu menjelaskan mengenai apa yang harus dilakukan oleh Kiara, termasuk mengurus administrasi.

Pikiran Kiara tak lagi mampu bekerja dengan benar. Ia membubuhkan tanda tangan pada setiap tempat yang ditunjukkan tanpa membaca lagi isinya. Tatapan gadis itu tampak kosong.

"Untuk sementara mbaknya bisa deposit 50 juta dulu. Selebihnya bisa dibayarkan kalau pasien sudah boleh pulang."

Mendengar nominal yang harus dibayarkan saat ini membuat bahu Kiara terkulai lemas.

Jika sekarang harus deposit 50 juta, itu artinya biaya yang dibutuhkan lebih dari itu. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Moelyanach Moelyanach
kyknya menarik, msh cb2 bca
goodnovel comment avatar
Moelyanach Moelyanach
kyknya menarik
goodnovel comment avatar
Thias Ni Mulan
menarik dan penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin   Bab 134 - Tamat

    Sudah sebulan sejak ingatan Kiara pulih sepenuhnya. Rumah kembali terasa hangat, dipenuhi canda tawa dan kisah-kisah baru yang terus mereka rajut setiap hari. Meski rutinitas mulai kembali seperti semula—Samudra ke kantor, Cantika ke sekolah, dan Kiara mulai menulis kembali—ada satu hal yang membuat segalanya lebih istimewa.Pagi itu, Samudra pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa sekotak roti hangat dan segelas jus jeruk, seperti yang biasa diminta Kiara sejak pagi-pagi belakangan ini.“Kamu bangun pagi, langsung ke dapur?” tanya Kiara, duduk di teras belakang sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.Samudra duduk di sebelahnya dan mencium kening istrinya. “Khusus buat mama dari dua bayi kecil ini,” jawabnya sambil meletakkan tangan di atas perut Kiara.Kiara tertawa lembut. “Masih nggak nyangka bakal hamil anak kembar...”“Aku juga.” Samudra menatapnya penuh rasa syukur. “Tapi rasanya seperti hadiah dari Tuhan setelah semua yang kita lewati.”Kia

  • Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin   Bab 133

    Langit pagi bersih. Udara segar menyapa dari celah-celah jendela saat Kiara duduk di kursi roda, mengenakan gamis cream longgar dan kerudung instan yang nyaman. Wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih hidup dari sebelumnya. Di belakangnya, Samudra berjalan perlahan, mendorong kursi roda itu menuju mobil yang telah menunggu di depan rumah sakit.Cantika berdiri di dekat pintu mobil, melambaikan tangan dengan semangat. “Mama, ayo cepat pulang! Aku udah bersihin kamar Mama dan nambahin bunga kesukaan Mama!”Kiara tersenyum. Senyum yang belum sepenuhnya pulih, tapi tulus. “Bunga kesukaan Mama? Yang mana?”Cantika mengedipkan mata. “Rahasia. Tapi nanti Mama ingat sendiri deh!”Mobil melaju tenang di antara hiruk-pikuk kota yang mulai ramai. Di bangku depan, Samudra sesekali melirik ke belakang, memastikan istrinya nyaman. Sementara Cantika duduk di samping Kiara, menggenggam tangannya erat.“Aku senang Mama pulang. Rasanya kayak lebaran,” gumam Cantika.Kiara mengusap rambut anak itu deng

  • Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin   Bab 132

    Langit sore mulai meredup saat warna jingga menguasai jendela kamar rumah sakit. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyorot wajah Kiara yang kini tengah memandangi tangannya—tangan yang tadi digenggam erat oleh Cantika. Wajahnya tampak kosong, namun dalam sorot matanya mulai tumbuh gelisah yang tidak bisa ia jelaskan.“Mama haus? Aku ambilin minum ya,” ucap Cantika yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara mengangguk pelan. Begitu Cantika turun dari ranjang, Kiara menatap punggung gadis kecil itu—perlahan, samar, ada percikan rasa hangat dalam dadanya yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Perasaan itu aneh, seperti kerinduan yang tak tahu asal.Samudra menutup laptopnya dan beranjak mendekat. Ia meletakkan laptop di meja kecil, lalu duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Kiara.“Kiara...” panggilnya dengan nada hati-hati.Wanita itu mengalihkan pandangannya, menatap pria yang katanya adalah suaminya. Tatapan mereka bertaut sesaat. Tak ada kata yang langsung terucap, hanya d

  • Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin   Bab 131

    Sudah tiga hari sejak Kiara sadar, Samudra dan Cantika tetap setia mendampingi meskipun wanita itu masih belum bisa mengingatnya. Komunikasi mereka juga sudah lumayan baik meski Kiara seperti masih menjaga jarak pada Samudra. Sepulang sekolah, Cantika akan selalu minta diantar ke rumah sakit untuk mendampingi dan menghibur Kiara. Kali ini dia bahkan membawa album foto-foto kebersamaan mereka untuk membuat Kiara percaya jika mereka adalah keluarga. "Mama gimana kabarnya hari ini? Apa sudah tidak ada yang sakit lagi?" Cantika duduk di kursi yang ada di samping brankar dengan sebuah album foto di tangan.Kiara mengulas senyum lalu berusaha untuk duduk. Hanya dengan gadis kecil ini dia bisa berbicara banyak meskipun kadang hanya membicarakan hal-hal random. "Aku, baik. Sudah mendingan kok."Cantik membuka album yang dibawa di hadapan Kiara. Wanita yang masih mengenakan baju pasien itu menatap benda itu dalam diam. Lembar pertama menampilkan foto Cantik dan Kiara yang sedang duduk di ay

  • Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin   Bab 130

    "Bagaimana kondisi istri saya, Sus?"Perawat itu tersenyum. "Alhamdulillah, pasien sudah sadar tapi ..." Ia menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa, Sus?""Pasien mengalami amnesia.""Apa?!"Kiara menatap ke sekeliling. Ruangan serba putih dan infus serta sekantong darah mengalir melalui selang yang tertancap di lengan kirinya. Pandangannya mengernyit ketika menatap seorang pria tampan yang berdiri di sisi brankar. Ia mencoba untuk menggali ingatannya tentang pria ini. Namun tak ada satupun informasi yang tersimpan di dalam memorinya. Lalu tatapannya beralih pada Melinda, mamanya Samudra. Kiara semakin bingung karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya. Suara seorang gadis kecil yang memanggilnya mama memaksanya untuk mengalihkan pandangan dari wanita paruh baya itu. "Sebenernya siapa mereka semua? Kenapa ada di sini? Di mana ayah dan ibu?" Kiara membatin. Samudra mendekat. Tatapan penuh penyesalan itu semakin membuat otak Kiara seperti benang kusut. Sungguh ia benar-benar tak me

  • Terjebak Pernikahan dengan Duda Dingin   Bab 129

    Samudra segera menghubungi setiap orang yang dikenalnya termasuk kolega bisnis yang dimiliki. Ya segera menyebarkan pengumuman meminta bantuan donor darah untuk sang istri. Sekitar 30 menit berlalu ada beberapa karyawan perusahaan yang datang ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya. Samudra bernapas lega karena akhirnya nyawa sang istri tertolong. Meski demikian Kiara masih dalam keadaan koma. Wanita yang ia cintai itu baru saja melalui masa kritisnya. Berjuta penyesalan berjalan di dalam dada hingga membuat lelaki itu tak berdaya. "Anda tadi aku bisa menahan emosi sedikit saja dan membiarkannya untuk mengistirahatkan tubuhnya dulu, mungkin kecelakaan ini nggak akan pernah terjadi," gumam Samudra. Lelaki itu hanya bisa duduk di ruang tunggu dengan tangan menyangga kepala sambil menunduk. Bayangan kejadian saat mereka berguling-guling di tangga terus berputar-putar di otaknya seperti kaset film. "Ini semua salahku. Ini semua salahku," ucap Samudra berulang sembari menjambak rambut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status