"Yuk sekarang kita mulai belajarnya.” Kiara mengeluarkan kartu huruf yang akan dijadikan sebagai alat peraga untuk pembelajaran kali ini. “Hari ini kita belajar merangkai huruf ya."
Beberapa hari, setelah operasi ayahnya dinyatakan berhasil, Kiara secara berkala mendatangi alamat yang membutuhkan guru les sesuai informasi yang ia terima. Beruntung sebelumnya ia masih punya tabungan setengah dari uang deposit yang dipinta, jadi ayahnya bisa operasi.Namun, biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan pasti lebih banyak lagi. Hasil penjualan rumah akan dialokasikan untuk membayar gaji.Inilah satu-satunya jalan yang bisa diusahakan kembali oleh Kiara.Untungnya, Cantika, gadis cilik yang menjadi murid les Kiara itu sangat manis. Meskipun mereka memang sedang belajar serius, tapi bocah itu merasa seperti sedang bermain sehingga tidak mudah bosan. Tampak jelas bahwa Cantika menyukai kehadiran Kiara dan antusias belajar bersama gurunya tersebut.Meskipun, di awal pertemuan, Cantika sempat salah memahami kehadiran Kiara."Mama? Apa dia mamaku, Oma?" tanya bocah itu di awal pertemuan dengan mata berbinar-binar.Waktu itu, Kiara sendiri hanya bisa terpaku mendengar pertanyaan dari gadis kecil dengan rambut dikuncir kuda itu. Tatapan mata polosnya menghipnotis Kiara yang baru saja melihatnya."Bukan, Sayang. Dia Bu guru yang akan mengajari Cantika baca tulis," jawab Melinda, wanita paruh baya yang dipanggil Oma oleh Cantika.Seketika binar di mata bocah itu langsung meredup, seakan harapannya kembali pupus kala wanita cantik yang ia kira mamanya itu adalah guru baru yang akan mengajarnya. Dan Kiara bisa melihatnya dengan jelas.Apakah bocah cilik ini tidak pernah bertemu ibunya?"Bu Guru, besok temani Cantik lomba di sekolah ya?" Tiba-tiba Cantika bertanya, menyadarkan Kiara dari ingatan saat ia pertama kali datang ke rumah ini di hari yang sama ayahnya masuk rumah sakit.Bocah itu menatap Kiara dengan bola matanya yang polos dan penuh binar."Lomba?" tanya Kiara balik."Iya, Bu Guru. Semua siswa harus datang sama mamanya atau papanya,” jelas bocah cilik itu. Binar di matanya tiba-tiba menghilang, berubah sayu. “Papa sibuk, Cantika nggak ada yang dampingi.”"Acara di sekolah sudah tentu pagi. Sedangkan aku pagi ada jadwal ngajar sampai istirahat," batin Kiara.Akhirnya, Kiara berkata, "Maaf Cantik, Bu guru kalau pagi harus mengajar juga di sekolah.” Suaranya lembut dan membujuk. “Cantik datang sama Oma saja ya?"Sebenarnya Kiara tak tega melihat genangan air mata yang sudah menumpuk di mata bulat bocah itu. Namun, dia juga punya tugas sendiri di sekolah. Tugasnya di sini hanya sebagai guru les, bukan menggantikan posisi mamanya."Tapi pasti nanti Cantika kalah kalau lomba," protes Cantika. Sedetik kemudian tangis gadis kecil itu pecah.Kiara bingung harus menjawab apa karena dia memang tidak bisa sembarangan izin pada kepala sekolahnya. Meskipun menolak anak manis itu rasanya juga tak tega.Akhirnya, Kiara hanya memeluk bocah cilik tersebut sambil berusaha menenangkan."Bisa tidak turuti saja permintaan putri saya? Saya membayar mahal Anda agar putri saya suka belajar."Sebuah suara bariton mendadak terdengar dari pintu. Setelahnya sosok pria tinggi dengan sepatu mengkilap dan jas mahal yang membingkai tubuh atletisnya berjalan mendekat. Untuk beberapa saat Kiara terpaku pada sosok tersebut.Tiba-tiba mata pria asing di hadapannya tersebut memincing saat sepasang mata tajamnya beradu dengan milik Kiara."Kamu,” ucap pria itu. “Bukankah kamu yang menabrak mobil saya kemarin?"Mulut Kiara terbuka, tapi kemudian tertutup lagi tanpa mengatakan apa pun. Tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya karena masih mencerna apa yang ada di hadapannya saat ini. Kemarin dia bahkan tidak memerhatikan pria itu sama sekali.Takdir apa yang mengantarkan dirinya untuk bertemu dengannya lagi?"Ma-maafkan saya, Tuan. Kemarin saya sedang terburu-buru kemarin," ujar Kiara.Gadis itu tak mau terlibat permusuhan dengan pria ini karena sangat berharap dengan pekerjaan barunya ini.Pria bertubuh tegap itu tak merespons ucapan Kiara. Namun sebaliknya, ia justru mengatakan sesuatu yang tidak Kiara sangka."Apa sesulit itu mengabulkan permintaan anak kecil, Bu Guru?" ucap Samudra datar.Tatapan mengintimidasi pria itu membuat bulu kuduk Kiara berdiri. Otaknya mendadak blank. Seluruh sistem sarafnya mendadak lumpuh ketika pria tampan tapi dingin itu membunuh jarak di antara mereka."Saya pikir Anda memiliki hati yang baik, lantaran putri saya selalu memuji-muji Anda setiap hari sejak Anda bekerja di sini,” kata Samudra lagi. “Namun, ternyata Anda sama saja dengan wanita lain yang tidak memiliki empati!"Mendengar tuduhan tak berdasar dari pria yang tidak ia ketahui namanya itu, hati Kiara memanas. Saraf-sarafnya yang sempat lumpuh mendadak kembali berfungsi. Ingin rasanya gadis itu membalas ucapan pedas pria di depannya ini. Namun ia masih punya hati untuk tidak mempertontonkan perdebatan di hadapan balita."Anda salah paham, Tuan. Tugas saya di sini hanya mengajar les untuk Cantika."Walau sebenarnya gadis itu ingin sekali menyumpal mulut tajam pria tersebut, dia tetap berusaha untuk bersikap santun mengingat dirinya hanya bekerja di rumah ini. Ditambah lagi dia sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk membantu menutup kekurangan biaya rumah sakit ayahnya."Saya tahu. Tapi apakah permintaan semudah itu saja tidak bisa Anda kabulkan?" Samudra menatap putrinya yang masih tertunduk lesu karena keinginannya belum dipenuhi."Masalahnya saya besok pagi harus bekerja, Tuan." Kiara memalingkan wajahnya agar tidak bersitatap dengan mata elang itu."Tidak bisa izin sehari saja? Saya akan tambah gaji Anda dua kali lipat dari sebelumnya." Kali ini suara Samudra melunak. Terlebih ketika melihat putri semata wayangnya bergerak memeluk Kiara dari belakang setelah ia menaikkan nada suaranya tadi.Kiara menelan ludahnya susah payah mendengar penawaran menggiurkan itu. Namun akal sehatnya kembali berfungsi untuk tidak menerimanya begitu saja. Dia sudah memiliki komitmen dengan pihak sekolah dan tidak bisa melanggarnya begitu saja."Jangan marahin Bu Guru, Papa,” ucap Cantika tiba-tiba. “Cantik nggak papa kok nggak ikut lomba. Biasanya Cantik juga gak pernah ikut, kan?"Namun siapa sangka, kalimatnya yang begitu lirih justru menggetarkan hati dua manusia dewasa tersebut. Kiara membalikkan badannya hingga kini posisi Cantika berada dalam dekapannya. Menyaksikan pemandangan itu, hati Samudra rasanya berdenyut-denyut.Cantika kehilangan sosok ibu sejak lahir. Seharusnya di usianya yang sekarang, Cantika memperoleh kasih sayang dari seorang ibu. Dia tahu jika selama ini Cantika sangat merindukan sosok ibu dalam hidupnya.Semalam, putri cantiknya itu terus bercerita tentang Kiara yang baik dan tulus padanya. Senyum Cantika terus mengembang membuat semua penghuni rumah ini ikut bahagia. Tak bisa dipungkiri kehadiran Kiara dalam hidup putrinya membawa pengaruh yang sangat signifikan.Jika sebelumnya gadis kecil itu selalu murung dan kurang semangat, berbeda dengan hari kemarin yang nampak ceria dan penuh tawa. Sebagai orang tua tunggal, Samudra tidak sampai hati mengambil kembali kebahagiaan putri satu-satunya itu."Sayang, sekarang kamu masuk dulu main sama Oma, ya? Papa mau ngomong sama Bu Guru." Samudra membungkuk lalu mengelus puncak kepala buah hatinya penuh sayang.Kiara mengerjab-ngerjabkan matanya menyaksikan interaksi anak dan papanya itu. Sikap Samudra berbanding terbalik dengan caranya berbicara dengan dirinya. Sungguh menakjubkan. Ia pikir pria dingin itu tak bisa bersikap lembut. Nyatanya apa yang barusan ia saksikan sungguh membuatnya tak bisa berkata-kata."Apa penawaran saya masih kurang?"Kiara tersentak. Lamunannya langsung buyar mendengar suara tegas itu. Pria di hadapannya ini berubah ke mode dingin saat Cantika sudah tidak di dekatnya lagi."Ini bukan soal uang, Tuan," ucap Kiara tak kalah tegas. Dia tak mau ditindas oleh orang lain padahal dirinya tidak melakukan kesalahan apapun."Lalu?""Sudah saya katakan, saya tidak bisa izin sembarangan tanpa alasan yang jelas, Tuan." Kiara menantang pria itu dengan dagu terangkat."Katakan saja sedang mengantar anak saya ke sekolahnya," jawab Samudra enteng.Kiara menggeleng, bibirnya terangkat sebelah. Jelas gadis itu sedang meremehkan Samudra dalam hati. "Tidak bisa, Tuan. Sekolah tidak akan ngasih izin kecuali hal penting.""Apa anak saya tidak penting?" Samudra menatap tajam Kiara. Manik hitamnya menyorot lurus pada gadis berhijab yang tampak gugup karena tatapan intimidasinya."Bu-bukan begitu, Tuan. Hanya saja, antara saya dan putri anda hanya sebatas guru dan murid. Tidak ada kepentingan saya di sini." Kiara mencoba untuk mempertahankan suaranya agar tidak bergetar karena takut. Entah mengapa keberaniannya mendadak surut tatkala pria itu tak melepas sorot matanya dari gadis berhijab itu.Sungguh ditatap tajam seperti itu membuatnya kehilangan reflek berpikirnya. Tiba-tiba otaknya berjalan lambat mencerna setiap kata yang diucapkan oleh pria arogan di hadapannya ini.Bukankah seharusnya Kiara tidak perlu terlibat jauh dengan urusan keluarga ini karena tugasnya hanya sebagai guru? Kenapa pula dia harus bertanggung jawab atas kebahagiaan putri tuan rumah ini? Ya, walaupun dia sangat menyukai Cantika, tapi bukan berarti harus menambah peran sebagai ibu juga baginya. Masalah yang ia hadapi sudah sangat pelik dan dia tak mau menambahnya lagi dengan berurusan dengan keluarga kaya ini."Kalau begitu tidak usah izin. Bolos saja! Saya akan kasih tambahan gaji sebagai bonus di luar gaji yang saya naikkan menjadi dua kali lipat tadi.""Saya bisa dipecat kalau bolos, Tuan."Meskipun berkata demikian, tapi dalam hati Kiara menghitung nominal yang akan dia terima jika tawaran itu ia terima.Mau bagaimana lagi? Ia butuh uang."Kalau dipecat ya sudah. Kenapa repot?" Samudra duduk dengan santai sembari menyilangkan kakinya. Sejak tadi ia berbicara sambil berdiri dan itu membuat kakinya pegal.Kiara kembali ke dunia nyata. Bayangan jumlah rupiah ayang akan ia terima kembali musnah ketika logikanya kembali berjalan."Saya bisa kehilangan pekerjaan kalau begitu, Tuan.""Ya nggak papa. Toh kamu sudah bekerja di sini dengan gaji yang cukup tinggi kan? Apa itu masih kurang?" Lagi-lagi Samudra membantah ucapan Kiara."Maaf, Tuan. Pekerjaan saya sangat berarti bagi saya. Ada kedua orang tua saya yang berharap banyak pada saya. Sekali lagi saya mohon maaf, Tuan. Saya tidak bisa mengantar Cantika besok. Permisi, Assalamualaikum!" Kiara berdiri dan hendak keluar."Kalau begitu, mari kita buat agar kamu dan Cantik memiliki hubungan,” ucap Samudra berhasil menghentikan langkah kaki Kiara.“Jadilah mamanya Cantika."Sudah sebulan sejak ingatan Kiara pulih sepenuhnya. Rumah kembali terasa hangat, dipenuhi canda tawa dan kisah-kisah baru yang terus mereka rajut setiap hari. Meski rutinitas mulai kembali seperti semula—Samudra ke kantor, Cantika ke sekolah, dan Kiara mulai menulis kembali—ada satu hal yang membuat segalanya lebih istimewa.Pagi itu, Samudra pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa sekotak roti hangat dan segelas jus jeruk, seperti yang biasa diminta Kiara sejak pagi-pagi belakangan ini.“Kamu bangun pagi, langsung ke dapur?” tanya Kiara, duduk di teras belakang sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.Samudra duduk di sebelahnya dan mencium kening istrinya. “Khusus buat mama dari dua bayi kecil ini,” jawabnya sambil meletakkan tangan di atas perut Kiara.Kiara tertawa lembut. “Masih nggak nyangka bakal hamil anak kembar...”“Aku juga.” Samudra menatapnya penuh rasa syukur. “Tapi rasanya seperti hadiah dari Tuhan setelah semua yang kita lewati.”Kia
Langit pagi bersih. Udara segar menyapa dari celah-celah jendela saat Kiara duduk di kursi roda, mengenakan gamis cream longgar dan kerudung instan yang nyaman. Wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih hidup dari sebelumnya. Di belakangnya, Samudra berjalan perlahan, mendorong kursi roda itu menuju mobil yang telah menunggu di depan rumah sakit.Cantika berdiri di dekat pintu mobil, melambaikan tangan dengan semangat. “Mama, ayo cepat pulang! Aku udah bersihin kamar Mama dan nambahin bunga kesukaan Mama!”Kiara tersenyum. Senyum yang belum sepenuhnya pulih, tapi tulus. “Bunga kesukaan Mama? Yang mana?”Cantika mengedipkan mata. “Rahasia. Tapi nanti Mama ingat sendiri deh!”Mobil melaju tenang di antara hiruk-pikuk kota yang mulai ramai. Di bangku depan, Samudra sesekali melirik ke belakang, memastikan istrinya nyaman. Sementara Cantika duduk di samping Kiara, menggenggam tangannya erat.“Aku senang Mama pulang. Rasanya kayak lebaran,” gumam Cantika.Kiara mengusap rambut anak itu deng
Langit sore mulai meredup saat warna jingga menguasai jendela kamar rumah sakit. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyorot wajah Kiara yang kini tengah memandangi tangannya—tangan yang tadi digenggam erat oleh Cantika. Wajahnya tampak kosong, namun dalam sorot matanya mulai tumbuh gelisah yang tidak bisa ia jelaskan.“Mama haus? Aku ambilin minum ya,” ucap Cantika yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara mengangguk pelan. Begitu Cantika turun dari ranjang, Kiara menatap punggung gadis kecil itu—perlahan, samar, ada percikan rasa hangat dalam dadanya yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Perasaan itu aneh, seperti kerinduan yang tak tahu asal.Samudra menutup laptopnya dan beranjak mendekat. Ia meletakkan laptop di meja kecil, lalu duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Kiara.“Kiara...” panggilnya dengan nada hati-hati.Wanita itu mengalihkan pandangannya, menatap pria yang katanya adalah suaminya. Tatapan mereka bertaut sesaat. Tak ada kata yang langsung terucap, hanya d
Sudah tiga hari sejak Kiara sadar, Samudra dan Cantika tetap setia mendampingi meskipun wanita itu masih belum bisa mengingatnya. Komunikasi mereka juga sudah lumayan baik meski Kiara seperti masih menjaga jarak pada Samudra. Sepulang sekolah, Cantika akan selalu minta diantar ke rumah sakit untuk mendampingi dan menghibur Kiara. Kali ini dia bahkan membawa album foto-foto kebersamaan mereka untuk membuat Kiara percaya jika mereka adalah keluarga. "Mama gimana kabarnya hari ini? Apa sudah tidak ada yang sakit lagi?" Cantika duduk di kursi yang ada di samping brankar dengan sebuah album foto di tangan.Kiara mengulas senyum lalu berusaha untuk duduk. Hanya dengan gadis kecil ini dia bisa berbicara banyak meskipun kadang hanya membicarakan hal-hal random. "Aku, baik. Sudah mendingan kok."Cantik membuka album yang dibawa di hadapan Kiara. Wanita yang masih mengenakan baju pasien itu menatap benda itu dalam diam. Lembar pertama menampilkan foto Cantik dan Kiara yang sedang duduk di ay
"Bagaimana kondisi istri saya, Sus?"Perawat itu tersenyum. "Alhamdulillah, pasien sudah sadar tapi ..." Ia menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa, Sus?""Pasien mengalami amnesia.""Apa?!"Kiara menatap ke sekeliling. Ruangan serba putih dan infus serta sekantong darah mengalir melalui selang yang tertancap di lengan kirinya. Pandangannya mengernyit ketika menatap seorang pria tampan yang berdiri di sisi brankar. Ia mencoba untuk menggali ingatannya tentang pria ini. Namun tak ada satupun informasi yang tersimpan di dalam memorinya. Lalu tatapannya beralih pada Melinda, mamanya Samudra. Kiara semakin bingung karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya. Suara seorang gadis kecil yang memanggilnya mama memaksanya untuk mengalihkan pandangan dari wanita paruh baya itu. "Sebenernya siapa mereka semua? Kenapa ada di sini? Di mana ayah dan ibu?" Kiara membatin. Samudra mendekat. Tatapan penuh penyesalan itu semakin membuat otak Kiara seperti benang kusut. Sungguh ia benar-benar tak me
Samudra segera menghubungi setiap orang yang dikenalnya termasuk kolega bisnis yang dimiliki. Ya segera menyebarkan pengumuman meminta bantuan donor darah untuk sang istri. Sekitar 30 menit berlalu ada beberapa karyawan perusahaan yang datang ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya. Samudra bernapas lega karena akhirnya nyawa sang istri tertolong. Meski demikian Kiara masih dalam keadaan koma. Wanita yang ia cintai itu baru saja melalui masa kritisnya. Berjuta penyesalan berjalan di dalam dada hingga membuat lelaki itu tak berdaya. "Anda tadi aku bisa menahan emosi sedikit saja dan membiarkannya untuk mengistirahatkan tubuhnya dulu, mungkin kecelakaan ini nggak akan pernah terjadi," gumam Samudra. Lelaki itu hanya bisa duduk di ruang tunggu dengan tangan menyangga kepala sambil menunduk. Bayangan kejadian saat mereka berguling-guling di tangga terus berputar-putar di otaknya seperti kaset film. "Ini semua salahku. Ini semua salahku," ucap Samudra berulang sembari menjambak rambut