Kiara melanjutkan langkahnya setelah beberapa detik terhenti karena ucapan konyol papanya Cantika.
"Dia pikir aku ini apa? Jadi mamanya Cantika? Heh, yang benar saja!" Batin Kiara terus menggerutu hingga langkahnya terhenti di depan motor matic kesayangannya.Gadis itu mengambil helm dan memakainya. Saat kunci sudah tertanam di tempatnya, tiba-tiba ada sebuah tangan berotot yang mencabutnya tanpa izin. Spontan Kiara menoleh dan mendapati sosok dengan muka datar itu sudah berdiri di samping motornya dengan memainkan kunci."Maaf, Tuan saya harus segera pulang," ucap Kiara masih mencoba untuk menjaga kesopanannya."Saya belum selesai bicara, Bu guru. Kenapa Anda pergi begitu saja?" Samudra memasukkan kunci motor Kiara ke dalam saku celana membuat gadis berhijab itu melotot tak suka."Apa yang Anda inginkan, Tuan? Kenapa Anda menghalangi saya?" Kali ini intonasi suara Kiara berubah datar tapi penuh penekanan.Tidak peduli meski pria yang saat ini ada di samping motornya itu adalah papanya Cantika. Orang yang telah memberikan pekerjaan dengan gaji tinggi. Melihat sikap semena-mena lelaki itu saja sudah membuat respect Kiara memudar."Apa perkataan saya tadi belum cukup jelas, Bu guru? Jadilah mamanya Kiara agar besok punya alasan untuk izin dari sekolah."Kiara membuka mulutnya tanda sadar. Mungkin saat ini wajahnya tampak jelek karena hal itu. Belum lagi dengan kedua bola matanya yang ikut melebar. Menambah aneh ekspresi gadis berhijab itu."Dia pikir menikah urusan sesimpel memakai baju? Kenapa pria yang tampak cerdas ini bisa berkata demikian?" batin Kiara.Tiba-tiba Kiara merasakan mulutnya ditutup telapak tangan milik seseorang. Pada saat yang sama sebuah bisikan di telinga membuat tubuhnya menegang."Jangan terlalu lebar membuka mulutnya, Bu guru. Kita belum resmi menjadi pasangan suami istri."Seketika itu juga Kiara ingin menenggelamkan diri ke perut bumi. Wajahnya sudah sangat merah, entah karena malu atau marah."Anda jangan bersikap kurang ajar pada saat, Tuan!" tekan Kiara. "Jangan menyentuh saya karena kita bukan mahram."Bukannya marah, pria itu justru tertawa terbahak-bahak mendengar protes Kiara. Hal itu semakin membuat Kiara kesal. Ternyata pria di hadapannya ini memang tak tahu malu."Rupanya Bu guru sudah tidak sabar untuk dijadikan sebagai mahram. Kalau begitu, malam ini juga mari kita menikah!" ucap Samudra dengan santainya."What the hell! Apa kata dia tadi, aku sudah tidak sabar? Hello? Bukankah dia yang memaksa saya untuk menikah dengannya? Kenapa dunia begitu tidak berpihak padaku, Tuhan?" batin Kiara memprotes.Kiara menarik nafas panjang. Meraup udara sebanyak-banyaknya karena mendadak dadanya merasa sesak. Wanita yang memiliki lesung pipi di kiri itu melirik jam di tangannya dan seketika rasa bersalah menjalar ke dalam sanubarinya. Seharusnya ia segera ke rumah sakit karena sejak pagi dia belum menemui ayahnya. Sejak selesai operasi kemarin, Kiara terlalu sibuk memikirkan cara mencari uang tambahan sehingga tidak sempat untuk menengok sang ayah yang katanya sudah siuman."Maaf, Tuan saya harus segera pulang. Tolong berikan kunci motor saya!" Kiara menengadahkan tangan kanannya kepada pria yang bergelar ayah itu.Dengan wajah yang tetap datar, Samudra meraih tangan itu lalu mengecupnya sekilas. "Will you marry me?"Mendadak otak Kiara buntu. Saraf-saraf di tubuhnya seolah lumpuh karena aksi pria tersebut. Kiara kehilangan reflek berpikir dan geraknya sehingga saat ini dirinya lebih mirip seperti patung."Saya akan siapkan pernikahan kita secepatnya. Malam ini kita akan menikah di rumah sakit. Ayahmu sudah siuman, kan?"Kesadaran Kiara langsung timbul. Kenapa pria ini bisa tahu kalau ayahnya di rumah sakit."Anda menyelidiki saya, Tuan?" Kiara menetap pria di sampingnya penuh selidik."Tentu saja. Saya tidak akan sembarangan membiarkan putri saya diajar oleh guru yang tidak saya ketahui asal usulnya," ujar Samudra santai.Tidak heran jika pria itu tahu segalanya tentang Kiara. Sebagai pebisnis sukses dengan kekuasaan yang ia miliki pula, sangat mudah untuk menelusuri kehidupan pribadi seseorang termasuk Kiara."Anda benar-benar tidak sopan, Tuan.""Saya akan membayar semua biaya rumah sakit ayahmu. Dan kamu juga tidak perlu menjual rumahmu."Seketika tubuh Tiara menjadi kaku. Dia memang membutuhkan banyak uang saat ini demi kesembuhan sang ayah dan juga kelangsungan hidupnya tapi iya dianya harus menerima tawaran pria itu? Bukankah itu sama aja dengan menjual diri?Gadis itu mulai goyah ketika mendengar penawaran yang sangat menggiurkan. Untuk sesaat otaknya berusaha untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar lalu menimbang-nimbang apakah dia akan menerima tawaran itu atau tidak. Jika dia menerimanya maka dia akan menikah dengan pria yang tidak dia cintai sama sekali namun jika ia menolak mungkin kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali."Ya Allah beri hamba petunjukmu. Kalau hamba menerima lamaran lelaki ini apakah hamba berdosa karena telah mempermainkan pernikahan demi untuk mendapatkan uang?""Bagaimana, Bu guru? Saya tidak akan memberikan penawaran ini dua kali. Putuskan sekarang atau tidak sama sekali. Saya tahu Anda sedang butuh banyak uang, kan?" Merasa kemenangan berada di pihaknya Samudra mencoba untuk menekan Kiara.Lelaki itu tahu saat ini Kiara sedang goyah maka ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan terus menggunakan kelemahan Kiara sebagai senjatanya. Ya, kelemahan Kiara saat ini adalah keluarganya. Jika sudah menyangkut urusan keluarga maka biar akan menomorsatukan hal itu meski dia sendiri harus berkorban tanpa henti.Cara menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Bayangan sang ayah yang tergolek lemah di rumah sakit silih berganti dengan raut sendu ibunya."Bismillahirohmanirohim. Baiklah kalau begitu," lirih Kiara.Sudut bibir Samudra tertarik tipis lalu ia berbalik menuju ke teras rumahnya meninggalkan Kiara yang masih mematung di tempat.Setelah beberapa detik akhirnya Kiara sadar dari keterpakuannya. "Tuan kunci motor saya!" teriaknya sembari berjalan mendekati terasSamudra memberikan kunci motor Kiara dengan sorot mata tajamnya."Bukankah baru saja dia melamarku? Kenapa sikapnya masih saja dingin seperti itu?" batin Kiara bersenandika."Ya sudah, pulanglah! Nanti malam kita akan menikah di rumah sakit agar besok kamu bisa mengantar putri saya ke sekolahnya."Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Kiara mengangguk lalu berjalan menuju motornya kembali dengan membawa sejuta tanya di dalam benaknya."Apa sudah benar keputusan yang kuambil ini?"Saat Kiara sudah hampir menstarter motornya tiba-tiba teriakan dari teras membuat jantungnya berdetak lebih kencang."Mama, Cantik tunggu nanti malam, ya!"Sudah sebulan sejak ingatan Kiara pulih sepenuhnya. Rumah kembali terasa hangat, dipenuhi canda tawa dan kisah-kisah baru yang terus mereka rajut setiap hari. Meski rutinitas mulai kembali seperti semula—Samudra ke kantor, Cantika ke sekolah, dan Kiara mulai menulis kembali—ada satu hal yang membuat segalanya lebih istimewa.Pagi itu, Samudra pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa sekotak roti hangat dan segelas jus jeruk, seperti yang biasa diminta Kiara sejak pagi-pagi belakangan ini.“Kamu bangun pagi, langsung ke dapur?” tanya Kiara, duduk di teras belakang sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.Samudra duduk di sebelahnya dan mencium kening istrinya. “Khusus buat mama dari dua bayi kecil ini,” jawabnya sambil meletakkan tangan di atas perut Kiara.Kiara tertawa lembut. “Masih nggak nyangka bakal hamil anak kembar...”“Aku juga.” Samudra menatapnya penuh rasa syukur. “Tapi rasanya seperti hadiah dari Tuhan setelah semua yang kita lewati.”Kia
Langit pagi bersih. Udara segar menyapa dari celah-celah jendela saat Kiara duduk di kursi roda, mengenakan gamis cream longgar dan kerudung instan yang nyaman. Wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih hidup dari sebelumnya. Di belakangnya, Samudra berjalan perlahan, mendorong kursi roda itu menuju mobil yang telah menunggu di depan rumah sakit.Cantika berdiri di dekat pintu mobil, melambaikan tangan dengan semangat. “Mama, ayo cepat pulang! Aku udah bersihin kamar Mama dan nambahin bunga kesukaan Mama!”Kiara tersenyum. Senyum yang belum sepenuhnya pulih, tapi tulus. “Bunga kesukaan Mama? Yang mana?”Cantika mengedipkan mata. “Rahasia. Tapi nanti Mama ingat sendiri deh!”Mobil melaju tenang di antara hiruk-pikuk kota yang mulai ramai. Di bangku depan, Samudra sesekali melirik ke belakang, memastikan istrinya nyaman. Sementara Cantika duduk di samping Kiara, menggenggam tangannya erat.“Aku senang Mama pulang. Rasanya kayak lebaran,” gumam Cantika.Kiara mengusap rambut anak itu deng
Langit sore mulai meredup saat warna jingga menguasai jendela kamar rumah sakit. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyorot wajah Kiara yang kini tengah memandangi tangannya—tangan yang tadi digenggam erat oleh Cantika. Wajahnya tampak kosong, namun dalam sorot matanya mulai tumbuh gelisah yang tidak bisa ia jelaskan.“Mama haus? Aku ambilin minum ya,” ucap Cantika yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara mengangguk pelan. Begitu Cantika turun dari ranjang, Kiara menatap punggung gadis kecil itu—perlahan, samar, ada percikan rasa hangat dalam dadanya yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Perasaan itu aneh, seperti kerinduan yang tak tahu asal.Samudra menutup laptopnya dan beranjak mendekat. Ia meletakkan laptop di meja kecil, lalu duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Kiara.“Kiara...” panggilnya dengan nada hati-hati.Wanita itu mengalihkan pandangannya, menatap pria yang katanya adalah suaminya. Tatapan mereka bertaut sesaat. Tak ada kata yang langsung terucap, hanya d
Sudah tiga hari sejak Kiara sadar, Samudra dan Cantika tetap setia mendampingi meskipun wanita itu masih belum bisa mengingatnya. Komunikasi mereka juga sudah lumayan baik meski Kiara seperti masih menjaga jarak pada Samudra. Sepulang sekolah, Cantika akan selalu minta diantar ke rumah sakit untuk mendampingi dan menghibur Kiara. Kali ini dia bahkan membawa album foto-foto kebersamaan mereka untuk membuat Kiara percaya jika mereka adalah keluarga. "Mama gimana kabarnya hari ini? Apa sudah tidak ada yang sakit lagi?" Cantika duduk di kursi yang ada di samping brankar dengan sebuah album foto di tangan.Kiara mengulas senyum lalu berusaha untuk duduk. Hanya dengan gadis kecil ini dia bisa berbicara banyak meskipun kadang hanya membicarakan hal-hal random. "Aku, baik. Sudah mendingan kok."Cantik membuka album yang dibawa di hadapan Kiara. Wanita yang masih mengenakan baju pasien itu menatap benda itu dalam diam. Lembar pertama menampilkan foto Cantik dan Kiara yang sedang duduk di ay
"Bagaimana kondisi istri saya, Sus?"Perawat itu tersenyum. "Alhamdulillah, pasien sudah sadar tapi ..." Ia menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa, Sus?""Pasien mengalami amnesia.""Apa?!"Kiara menatap ke sekeliling. Ruangan serba putih dan infus serta sekantong darah mengalir melalui selang yang tertancap di lengan kirinya. Pandangannya mengernyit ketika menatap seorang pria tampan yang berdiri di sisi brankar. Ia mencoba untuk menggali ingatannya tentang pria ini. Namun tak ada satupun informasi yang tersimpan di dalam memorinya. Lalu tatapannya beralih pada Melinda, mamanya Samudra. Kiara semakin bingung karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya. Suara seorang gadis kecil yang memanggilnya mama memaksanya untuk mengalihkan pandangan dari wanita paruh baya itu. "Sebenernya siapa mereka semua? Kenapa ada di sini? Di mana ayah dan ibu?" Kiara membatin. Samudra mendekat. Tatapan penuh penyesalan itu semakin membuat otak Kiara seperti benang kusut. Sungguh ia benar-benar tak me
Samudra segera menghubungi setiap orang yang dikenalnya termasuk kolega bisnis yang dimiliki. Ya segera menyebarkan pengumuman meminta bantuan donor darah untuk sang istri. Sekitar 30 menit berlalu ada beberapa karyawan perusahaan yang datang ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya. Samudra bernapas lega karena akhirnya nyawa sang istri tertolong. Meski demikian Kiara masih dalam keadaan koma. Wanita yang ia cintai itu baru saja melalui masa kritisnya. Berjuta penyesalan berjalan di dalam dada hingga membuat lelaki itu tak berdaya. "Anda tadi aku bisa menahan emosi sedikit saja dan membiarkannya untuk mengistirahatkan tubuhnya dulu, mungkin kecelakaan ini nggak akan pernah terjadi," gumam Samudra. Lelaki itu hanya bisa duduk di ruang tunggu dengan tangan menyangga kepala sambil menunduk. Bayangan kejadian saat mereka berguling-guling di tangga terus berputar-putar di otaknya seperti kaset film. "Ini semua salahku. Ini semua salahku," ucap Samudra berulang sembari menjambak rambut