Share

Bab 4

"Saya terima nikah dan kawinnya Kiara Ramadhani binti Hadi Wijaya dengan mas kawin uang tunai sebesar 2 miliar rupiah dan logam mulia seberat 2 kg dibayar tunai!"

Tangis haru mengiringi prosesi sakral yang dilakukan di dalam ruang rawat di rumah sakit tersebut. Kiara dengan gaun putih dan kerudung putih serta mahkota di kepalanya tampak begitu cantik dan menawan. Namun tidak ada raut bahagia di wajahnya mengingat pernikahan yang dilakukan secara dadakan.

Hadi Wijaya tersenyum lembut menatap Putri semata wayangnya kini sudah menjadi istri orang. Tanggung jawab atas Putri tunggalnya itu kini sudah beralih pada seorang pria bernama Samudra.

"Nak Samudra tolong jaga putri saya satu-satunya ini. Dia adalah harta yang paling berharga bagi kami. Tolong bahagiakan dia seperti saya selalu memprioritaskannya. Jika nanti sudah tak ada lagi cinta pulangkan dia dengan cara baik-baik sebagaimana Samudra memintanya dengan cara baik-baik pula," ucap Hadi Wijaya dengan suara parau.

Pria paruh baya itu sesekali menahan sakit. Namun Dinar bahagia tanpa begitu nyata pada wajah kecap lelaki itu.

"Terima kasih Ayah sudah mengizinkan saya untuk menjadi pendamping putri Ayah," ucap Samudra sembari mencium tangan hati yang tidak tertancap jarum infus. "Saya pasti akan memperlakukan putri Ayah dengan baik karena dia sekarang sudah menjadi tanggung jawab saya."

Meskipun pernikahan ini masih berstatus pernikahan siri mengingat semuanya dilakukan secara mendadak dan tidak ada waktu untuk mengurus administrasi ke KUA tapi rasa sakralnya tetap tidak bisa hilang.

Malam itu juga Tiara langsung diboyong ke rumah Samudra. Ada perasaan berat kalau gadis yang baru saja berubah status itu harus meninggalkan kedua orang tuanya.

"Mama, malam ini Mama tidur sama Cantik, kan?" Tiba-tiba Cantika bertanya di tengah keheningan dalam kendaraan.

Kiara melirik pria yang baru beberapa menit lalu menghalalkan dirinya. Ia berharap lelaki itu mengizinkan dirinya tidur bersama Cantika karena Kiara sendiri masih merasa canggung harus sekamar dengan Samudra.

"Jangan malam ini, Sayang. Malam ini Cantika tidur sama Oma dulu ya?" Melinda menjawab permintaan cucunya karena putra dan menantunya hanya terdiam.

"Kenapa, Oma? Padahal sudah sangat lama Cantik ingin tidur ditemani mama. Dibacakan cerita sebelum tidur seperti teman-teman Cantik." Bocah berumur 5 tahun itu menunduk dengan mata sudah berkaca-kaca.

"Tu-tuan, boleh 'kan?" lirih Kiara meminta persetujuan pada suaminya.

"Terserah!" jawab Samudra acuh tak acuh.

Entah mengapa mendapatkan jawaban seperti itu membuat hati Kiara berdenyut nyeri.

"Emangnya apa yang kamu harapkan dari pernikahan ini, Kiara? Lelaki dingin itu hanya ingin kamu menjadi mamanya Cantika. Jangan berharap lebih." Kiara memperingati dirinya sendiri.

"Nak, kamu tidak harus-"

"Tidak apa-apa, Ma. Biarkan Kiara tidur sama Cantika malam ini. Itung-itung latihan menjadi ibu," potong Samudra cepat.

"Asik! Kiara tidur sama Mama. Nanti Mama bacakan cerita untuk Cantik ya, Ma!" Seketika gadis kecil itu bersorak girang. Bersamaan dengan mobil yang berhenti di halaman rumah mewah milik Samudra.

Kiara turun lebih dulu. Jangan pernah membayangkan adegan romantis pasangan pengantin baru seperti di novel-novel dimana sang pria akan membukakan pintu untuk wanitanya. Hal itu jelas tidak akan terjadi mengingat pernikahan mereka hanya sebatas simbiosis mutualisme.

Cantika langsung menarik tangan Mama barunya ketika sudah sampai di dalam rumah. Dengan perasaan campur aduk, Kiara melangkah menapaki tangga satu per satu mengikuti anak tirinya. Baru dua hari dirinya bekerja di sini dan belum pernah memasuki rumah ini sampai ke dalam. Karena selama dua hari itu pula dirinya hanya mengajar di ruang tamu.

Rumah ini begitu mewah dengan ornamen yang sangat elegan. Belum lagi furniture mahal yang melengkapi rumah ini.

"Ini kamarnya Cantik, Mama! Semoga Mama suka tidur di kamar Cantik, ya?" Suara ceria Cantika mengembalikan jiwa Kiara pada dunia nyata.

"Kamarnya cantik sekali, Sayang. Mama pasti betah berlama-lama di sini," sahut Kiara jujur.

Baru saja Kiara hendak menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kasur empuk dengan cover warna pink bergambar princess itu, pintu kamar sudah terbuka menampilkan sosok tinggi tegap dengan tatapan datar.

"Kamar kita ada di sebelah. Selisih satu ruangan dengan kamar ini jika kamu sudah selesai menidurkan Cantika!" ucap Samudra membuat darah Kiara berdesir hebat.

"Sa-saya akan tidur di sini," lirih Kiara.

"Dengan baju seperti itu?" Samudra menaikkan sebelah alisnya.

Spontan Kiara menatap dirinya sendiri. Benar, dia masih menggunakan gaun yang dipakai untuk akad nikah tadi. Ah, Kiara sampai lupa hal itu.

"Cepat selesaikan urusanmu dengan Cantika. Saya tunggu di kamar!"

Ucapan Samudra lagi-lagi menciptakan riak gelombang di dalam dada Kiara. Kata "saya tunggu di kamar" membuat pikirannya jadi traveling ke mana-mana.

"Mama, Cantik mau dibacakan buku ini!" Entah sejak kapan gadis kecil itu sudah mengambil buku cerita.

"Ganti baju dulu sayang terus kita gosok gigi baru Mama bacakan ceritanya," ujar Kiara.

Gadis berhijab yang baru saja berupa status menjadi seorang mama itu harus menyibukkan diri dengan putrinya agar ucapan Samudra tidak kembali terngiang-ngiang di kepala.

Dengan patuh Cantika meletakkan buku cerita yang ia pegang lalu berjalan menuju lemari. Mengambil baju yang bisa ia jangkau tanpa meminta pertolongan kepada Kiara. Sepertinya bocah itu sudah terlatih mandiri sehingga semua bisa dilakukan sendiri padahal umurnya baru 5 tahun.

"Mama bisa bantuin Cantik membuka baju ini? Tangan Cantika tidak nyampai, Mama!" Cantika menunggui Kiara agar wanita itu bisa leluasa membuka resleting di punggungnya.

Dengan telaten Tiara membantu untuk mengganti baju putrinya. Ada rasa yang tak bisa tergambarkan ketika ia melakukan hal itu. Sungguh Kiara benar-benar merasa bahagia berperan menjadi seorang ibu meskipun anak itu bukan lahir dari rahimnya tapi Kiara merasakan ikatan batin yang cukup kuat. Mungkin karena Cantika menerimanya dengan sukacita sehingga dirinya juga merasa dibutuhkan.

Baru setengah buku cerita yang ia bacakan, rupanya Cantika sudah tidak tahan untuk menahan kantuk. Gadis kecil itu tertidur di samping Mama barunya.

Kiara bangun dengan sangat pekan karena takut gadis cantik itu ikut terbangun. Setelah menyelimuti tubuh Cantika, lalu menyetel suhu ruangan agar sesuai. Mencium kening Cantika dengan lembut dan membisikkan sesuatu di telinga gadis tersebut.

"Good night, anak Mama. Have a nice dream."

Kiara menutup pintu dengan sangat pelan. Lalu melangkah ragu menuju kamar suaminya. Saat kakinya sampai di depan pintu, jantungan gadis itu berdetak sangat kencang. Dalam hati ia terus merapal do'a berharap sang suami sudah tertidur.

Dengan gerakan sangat pelan, Kiara membuka pintu. Kedua matanya membola kala sosok yang ia harapkan sudah terlelap sedang duduk bersandar di atas ranjang dengan mata menyorot tajam padanya.

"Kenapa lama sekali?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status