Kiara terlonjak mendengar ucapan dingin lelaki yang baru saja menjadi suaminya. Jantungnya berdebar kencang ketika sorot mata pria tersebut seperti menembus tubuhnya. Langkah kaki Kiara terasa sangat berat. Tentu saja karena ini adalah malam pertama mereka. Bayangan ritual malam pertama dengan pria yang baru dikenalnya itu membuat aliran darah Kiara perpacu deras bersamaan keringat dingin yang mengucur di seluruh pori-pori kulitnya.b
"Ma-maaf, Tuan saya harus menidurkan Cantika dulu," cicit Kiara.Suaranya tersangkut di tenggorokan sehingga lebih mirip seperti kucing sedang terjepit. Kiara melangkah masuk dengan kaki gemetar. Ditambah lagi pandangan pria itu terus mengikuti setiap pergerakan Kiara.Saat Kiara tengah kebingungan hendak melakukan apa, tiba-tiba pria dingin itu melempar bantal dan selimut padanya."Kamu tidur di sofa!" ucap Samudra dingin."Tap-""Kita menikah karena Cantika. Saya lihat dia sangat menyayangimu. Dia juga menjadi lebih ceria setelah bertemu denganmu, jadi saya harap kamu paham dengan situasi ini," lanjut Samudra.Kiara menghela nafas panjang. Tidak menyangka pernikahannya akan berjalan seperti ini. Tidak ada malam pertama yang indah layaknya pengantin baru sesungguhnya. Kiara harus menerima keadaan ini demi keluarganya. Ya, dia menerima pernikahan ini juga bukan karena cinta melainkan karena tawaran menggiurkan dari sosok yang sudah menghalalkan dirinya tersebut.Demi bisa membayar biaya rumah sakit sang ayah, juga untuk mempertahankan rumah agar tidak terjual, Kiara rela menikah dengan pria yang tidak dicintai. Namun dia sama sekali tidak pernah berpikir jika dirinya tidak dianggap sebagai istri oleh suaminya."Memangnya apa yang sedang kamu harapkan, Kiara? Lelaki itu butuh mama untuk putri kesayangannya. Dan kamu butuh uang untuk kelangsungan hidup keluargamu. Bukankah itu adalah kesepakatan yang bagus? Jangan pernah menuntut lebih," batin Kiara memperingatkan dirinya sendiri.Dengan senyum tipis, Kiara menerima bantal dan selimut itu. Lalu berjalan menuju sofa untuk membaringkan tubuhnya yang terasa pegal. Beberapa hari ini dia sudah bekerja keras. Dan sekarang ia merasakan tubuhnya sangat letih."Kamu mau tidur dengan pakaian seperti itu?" Suara bariton Samudra menghentikan gerakan Kiara.Wanita berhijab itu menatap dirinya sendiri lalu mendesah pelan. Saking sibuknya memikirkan situasi yang terjadi saat ini, Kiara sampai lupa masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia pakai saat ijab kabul di rumah sakit tadi.Tak mau membuat suaminya ilfeel, Kiara segera bangkit menuju tas yang teronggok di sudut ruangan. Hanya ras ransel berisi dua setelah baju karena dia tak sempat untuk membawa lebih dari itu. Semua serba dadakan dan tak ada waktu untuk mempersiapkan semuanya.Samudra tampak sibuk membalas email dari gawainya ketika Kiara keluar kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Aroma sabun mandi menguar memenuhi indera penciumannya. Bohong jika Samudra tidak mngagumi wajah cantik alami Kiara. Hanya saja dia bukan tipe pria yang mudah tertarik pada wanita.Lima tahun menduda nyatanya tidak membuat Samudra yang tampan dan sukses menjadi petualang perempuan. Atau seperti pria-pria kaya di luaran sana yang akan membeli wanita sekadar untuk memuaskan kebutuhan biologisnya."Ma-maaf, Mas arah kiblatnya sebelah mana ya?" tanya Kiara.Samudra tergeragap. Dalam hati merutuki kebodohannya yang telah mengagumi wajah sang istri."Ya itu sudah benar. Posisimu sekarang sudah menghadap kiblat," jawab Samudra datar.Kiara lalu menunaikan shalat isya' yang tertunda. Dalam doanya ia selipkan permintaan agar pernikahannya ini sakinah mawadah warahmah. Meskipun pernikahan ini dilakukan bukan atas dasar cinta, tapi bagi Kiara pernikahan tetap harus dijaga sampai maut memisahkan.Selesai shalat, gadis itu melanjutkan dengan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Suaranya ia buat sepelan mungkin agar tidak menggangu suaminya yang mungkin sudah tertidur.Tak bisa dipungkiri, ada sesuatu yang menenangkan menyusup dalam sanubari Samudra. Hanya saja dia memilih diam sambil menikmati lantunan ayat-ayat itu. Sudah cukup lama lelaki bergelar ayah itu melupakan kewajibannya sebagai hamba. Dia sibuk dengan urusan dunia dan cara membahagiakan putri semata wayangnya.Kini kehadiran Kiara dalam hidupnya sedikit banyak membantu Samudra mengurangi beban sebagai orang tua tunggal. Putri tunggalnya itu adalah prioritas utama dalam hidup. Namun ia tak paham cara membahagiakan buah hatinya kecuali dengan memenuhi seluruh kebutuhan hidup dengan kemewahan. Belakangan ia sadar bahwa yang dibutuhkan Cantika bukan hanya kemewahan, tapi kasih sayang dari orang tua yang lengkap."Sudah cukup beribadahnya. Tidurlah, karena mulai besok tugasmu sebagai seorang ibu dimulai. Jangan sampai Cantika kecewa memiliki mama yang tidak perhatian padanya!" ujar Samudra bersamaan dengan ayat terakhir yang dibaca Kiara.Wanita itu menoleh sekilas lalu mengangguk begitu saja. Sebagai istri baru, tentu Kiara harus belajar memahami karakter suaminya."Iya, Tuan.""Sampai kapan kamu memanggilku dengan sebutan itu? Berasa menikah dengan pembantu saja!" Aura dingin mendadak menguar di dalam ruangan serba hitam itu."Ma-maaf, Ma-mas," lirih Kiara kikuk."Satu lagi, berhenti mengucap maaf!" Setelah mengatakan hal itu Samudra meletakkan ponselnya di nakas lalu membaringkan tubuhnya membelakangi Kiara yang masih terpaku di tempatnya.Kiara hanya bisa menghela nafas panjang dengan sikap suaminya. "Ini baru permulaan, Kiara. Kamu harus kuat," batinnya.***"Selamat pagi cantiknya Mama," bisik Kiara di samping telinga Cantika yang masih tertidur pulas.Mendengar suara lembut dari Mama barunya, Cantika mengerjap-ngerjapkan matanya. Seketika senyumnya mengembang melihat wanita yang ia sayangi sudah ada di sampingnya."Mama! Ini beneran ya? Berarti Cantika nggak mimpi punya Mama baru?" Gadis kecil itu langsung melompat dalam pelukan Kiara."Iya, Sayang. Ini bukan mimpi. Mandi yuk! Katanya mau ikut lomba," ucap Kiara sembari menjawil hidung Cantika yang mancung seperti papanya."Tapi dimandiin Mama ya?" Kedua bola mata Cantika berbinar-binar memandang Kiara yang begitu dekat.Gadis itu bahkan tidak mau melepas tangannya dari leher Kiara seolah takut ditinggal pergi. Tak hanya itu, Cantika juga menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Kiara yang tertutup khimar."Mama wangi," celetuk Cantika sembari terus mengendus-endus Kiara membuat gadis berhijab itu kegelian sendiri.Tanpa mereka ketahui, dibalik pintu yang terbuka sedikit ada sosok yang mengamati dari tadi. Melihat kedekatan buah hati dengan mama barunya itu membuat hati Samudra menghangat."Mama senang akhirnya Cantika bisa tersenyum lagi," ujar Melinda yang entah sejak kapan juga sudah berdiri di ambang pintu. Tangan wanita paruh baya itu mengelus bahu putranya."Dia wanita yang baik. Jangan sia-siakan dia apapun alasan kamu menikahinya," bisik Melinda lalu pergi meninggalkan Samudra yang masih betah di tempatnya.Entah terbuat apa hati pria itu. Meski sudah nampak di depan mata sang buah hati begitu bahagia bersama Kiara, tapi hatinya masih belum bisa menerima wanita itu. Tak ada getaran saat mata saling bertatap. Tak ada sengatan saat kulit saling bersentuhan. Meski hanya sekali saat bersalaman setelah ijab qabul kemarin."Papa!" Samudra urung membalikkan badan saat suara putrinya memanggil."Sini masuk! Lihat Mama menguncir rambut cantik! Bagus nggak, Pa?" Gadis kecil itu meminta pendapat papanya atas penampilan barunya."Iya, bagus. Cantika selalu cantik dalam kondisi apapun," jawab Samudra datar."Kalau Mama cantik nggak, Pa?"Spontan sepasang pengantin baru itu saling tatap.Sudah sebulan sejak ingatan Kiara pulih sepenuhnya. Rumah kembali terasa hangat, dipenuhi canda tawa dan kisah-kisah baru yang terus mereka rajut setiap hari. Meski rutinitas mulai kembali seperti semula—Samudra ke kantor, Cantika ke sekolah, dan Kiara mulai menulis kembali—ada satu hal yang membuat segalanya lebih istimewa.Pagi itu, Samudra pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa sekotak roti hangat dan segelas jus jeruk, seperti yang biasa diminta Kiara sejak pagi-pagi belakangan ini.“Kamu bangun pagi, langsung ke dapur?” tanya Kiara, duduk di teras belakang sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.Samudra duduk di sebelahnya dan mencium kening istrinya. “Khusus buat mama dari dua bayi kecil ini,” jawabnya sambil meletakkan tangan di atas perut Kiara.Kiara tertawa lembut. “Masih nggak nyangka bakal hamil anak kembar...”“Aku juga.” Samudra menatapnya penuh rasa syukur. “Tapi rasanya seperti hadiah dari Tuhan setelah semua yang kita lewati.”Kia
Langit pagi bersih. Udara segar menyapa dari celah-celah jendela saat Kiara duduk di kursi roda, mengenakan gamis cream longgar dan kerudung instan yang nyaman. Wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih hidup dari sebelumnya. Di belakangnya, Samudra berjalan perlahan, mendorong kursi roda itu menuju mobil yang telah menunggu di depan rumah sakit.Cantika berdiri di dekat pintu mobil, melambaikan tangan dengan semangat. “Mama, ayo cepat pulang! Aku udah bersihin kamar Mama dan nambahin bunga kesukaan Mama!”Kiara tersenyum. Senyum yang belum sepenuhnya pulih, tapi tulus. “Bunga kesukaan Mama? Yang mana?”Cantika mengedipkan mata. “Rahasia. Tapi nanti Mama ingat sendiri deh!”Mobil melaju tenang di antara hiruk-pikuk kota yang mulai ramai. Di bangku depan, Samudra sesekali melirik ke belakang, memastikan istrinya nyaman. Sementara Cantika duduk di samping Kiara, menggenggam tangannya erat.“Aku senang Mama pulang. Rasanya kayak lebaran,” gumam Cantika.Kiara mengusap rambut anak itu deng
Langit sore mulai meredup saat warna jingga menguasai jendela kamar rumah sakit. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyorot wajah Kiara yang kini tengah memandangi tangannya—tangan yang tadi digenggam erat oleh Cantika. Wajahnya tampak kosong, namun dalam sorot matanya mulai tumbuh gelisah yang tidak bisa ia jelaskan.“Mama haus? Aku ambilin minum ya,” ucap Cantika yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara mengangguk pelan. Begitu Cantika turun dari ranjang, Kiara menatap punggung gadis kecil itu—perlahan, samar, ada percikan rasa hangat dalam dadanya yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Perasaan itu aneh, seperti kerinduan yang tak tahu asal.Samudra menutup laptopnya dan beranjak mendekat. Ia meletakkan laptop di meja kecil, lalu duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Kiara.“Kiara...” panggilnya dengan nada hati-hati.Wanita itu mengalihkan pandangannya, menatap pria yang katanya adalah suaminya. Tatapan mereka bertaut sesaat. Tak ada kata yang langsung terucap, hanya d
Sudah tiga hari sejak Kiara sadar, Samudra dan Cantika tetap setia mendampingi meskipun wanita itu masih belum bisa mengingatnya. Komunikasi mereka juga sudah lumayan baik meski Kiara seperti masih menjaga jarak pada Samudra. Sepulang sekolah, Cantika akan selalu minta diantar ke rumah sakit untuk mendampingi dan menghibur Kiara. Kali ini dia bahkan membawa album foto-foto kebersamaan mereka untuk membuat Kiara percaya jika mereka adalah keluarga. "Mama gimana kabarnya hari ini? Apa sudah tidak ada yang sakit lagi?" Cantika duduk di kursi yang ada di samping brankar dengan sebuah album foto di tangan.Kiara mengulas senyum lalu berusaha untuk duduk. Hanya dengan gadis kecil ini dia bisa berbicara banyak meskipun kadang hanya membicarakan hal-hal random. "Aku, baik. Sudah mendingan kok."Cantik membuka album yang dibawa di hadapan Kiara. Wanita yang masih mengenakan baju pasien itu menatap benda itu dalam diam. Lembar pertama menampilkan foto Cantik dan Kiara yang sedang duduk di ay
"Bagaimana kondisi istri saya, Sus?"Perawat itu tersenyum. "Alhamdulillah, pasien sudah sadar tapi ..." Ia menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa, Sus?""Pasien mengalami amnesia.""Apa?!"Kiara menatap ke sekeliling. Ruangan serba putih dan infus serta sekantong darah mengalir melalui selang yang tertancap di lengan kirinya. Pandangannya mengernyit ketika menatap seorang pria tampan yang berdiri di sisi brankar. Ia mencoba untuk menggali ingatannya tentang pria ini. Namun tak ada satupun informasi yang tersimpan di dalam memorinya. Lalu tatapannya beralih pada Melinda, mamanya Samudra. Kiara semakin bingung karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya. Suara seorang gadis kecil yang memanggilnya mama memaksanya untuk mengalihkan pandangan dari wanita paruh baya itu. "Sebenernya siapa mereka semua? Kenapa ada di sini? Di mana ayah dan ibu?" Kiara membatin. Samudra mendekat. Tatapan penuh penyesalan itu semakin membuat otak Kiara seperti benang kusut. Sungguh ia benar-benar tak me
Samudra segera menghubungi setiap orang yang dikenalnya termasuk kolega bisnis yang dimiliki. Ya segera menyebarkan pengumuman meminta bantuan donor darah untuk sang istri. Sekitar 30 menit berlalu ada beberapa karyawan perusahaan yang datang ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya. Samudra bernapas lega karena akhirnya nyawa sang istri tertolong. Meski demikian Kiara masih dalam keadaan koma. Wanita yang ia cintai itu baru saja melalui masa kritisnya. Berjuta penyesalan berjalan di dalam dada hingga membuat lelaki itu tak berdaya. "Anda tadi aku bisa menahan emosi sedikit saja dan membiarkannya untuk mengistirahatkan tubuhnya dulu, mungkin kecelakaan ini nggak akan pernah terjadi," gumam Samudra. Lelaki itu hanya bisa duduk di ruang tunggu dengan tangan menyangga kepala sambil menunduk. Bayangan kejadian saat mereka berguling-guling di tangga terus berputar-putar di otaknya seperti kaset film. "Ini semua salahku. Ini semua salahku," ucap Samudra berulang sembari menjambak rambut