Sekian lama Samudra merangkai kata sekadar untuk mengungkapkan perasaannya pada wanita yang dinikahinya ini. Namun ia tak memiliki kemampuan untuk itu. Namun saat ia bisa mengungkapkannya, kenapa harus dalam kondisi seperti ini?Kiara masih termangu di depan pintu. Otaknya berusaha mencerna kata-kata suaminya barusan. Namun, hatinya berusaha menyangkal apa yang sudah ia dengar. Kalimat keramat yang selama ini ia tunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Senang? Entahlah. Setelah apa yang terjadi pada dirinya, Kiara justru berharap tidak akan pernah mendengar kalimat sakral itu dari bibir suaminya. Susah payah Kiara membangun benteng tinggi-tinggi dalam hatinya. Jika akhirnya sang suami justru membuatnya luluh, ia khawatir benteng itu akhirnya hancur dan dia kembali terjerumus pada jurang yang sama. Akal dan batin Kiara saling berperang. Akal memintanya untuk pergi sejauh mungkin dari kehidupan Samudra tapi hati menentangnya. "Ayolah, Kiara apa kamu rela suatu saat nanti kamu mati sia-sia
Dengan senang hati Samudra langsung naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Cantika sehingga posisi gadis kecil itu sekarang diapit oleh kedua orang tuanya. Sesuatu yang sudah sangat lama ia impikan. Tidur bersama kedua orang tuanya.Dalam hati Samudra bersorak senang. Ada untungnya sang buah hati mimpi buruk sehingga bisa menahan kepergian Kiara. "Mama, bacain cerita," ujar Cantika mengedarkan lamunan Kiara. "Cerita apa, Sayang? Bukankah semua cerita sudah Mama bacakan?" Meskipun suasana hatinya sedang tidak baik, tapi Kiara juga tak mampu menolak permintaan putrinya. Wanita itu selalu lemah jika berurusan dengan Cantika. Dan hal itu dimanfaatkan oleh Samudra yang mulai memahami kelemahannya ini. "Ceritakan tentang pangeran air dan putri api," mohon Cantika. Mau tak mau Kiara menuruti permintaan Cantika walau sebenernya dia sudah sangat tidak nyaman berada dalam satu ranjang dengan suaminya. "Dahulu ada seorang pangeran dari negeri air. Dia sangat tampan dan cerdas. Namun
"Sam!" teriak Melinda dari lantai bawah membuat sepasang suami istri itu langsung berlari ke bawah. "Ada apa, Ma?" tahya Samudra dengan wajah panik. Melinda tidak mwnjawab. Hanya tatapan matanya yang mengarah pada sebuah batu yang dibungkus kertas di dekat jendela dengan kaca yang sudah pecah berserakan. Samudra dan Tiara mengikuti arah pandangan Melinda hingga akhirnya mereka tahu bunyi nyaring yang terdengar sampai ke lantai atas tadi. Samudra langsung memungut benda yang menjadi penyebab kegaduhan itu. Kemudian membuka kertas pembungkus batu yang berisi sebuah pesan. "Tinggalkan Samudra atau mati!" Itu adalah bunyi pesan yang tertulis dalam kertas tersebut. Tiara yang ikut membaca tulisan itu, tubuhnya menjadi gemetar. Ia mundur dan menjauhi tempat tersebut tanpa ada seorangpun yang menyadari kepergiannya. "Kurang ajar masih berani dia mengancamku?" geram Samudra."Siapa dia, Sam? Apa kamu mengenalnya?" tanya Melinda. Wanita paruh baya itu juga tampak ketakutan. Baru kemarin
Demi kebaikan Tiara dan menjaga kesehatan mentalnya, dengan berat hati Samudra mengizinkan Tiara pergi. Tentu saja pria itu tidak akan membiarkan sang istri hilang dari pantauannya. Dia segera menghubungi orang-orang kepercayaannya untuk memantau dan mengikuti Kiara. Ibu dan anak itu melepas kepergian sosok wanita yang sangat berharga bagi mereka dengan air mata haru. Sebenarnya tidak rela membiarkan Tiara pergi karena kedatangannya ke rumah ini membuat warna tersendiri dalam keluarga Samudra. "Kalau Cantika bertanya bagaimana, Mas?" tanya Samudra dengan wajah sendu."Biar nanti mama yang jelaskan sama Cantika. Ya pasti mengerti karena kemarin saat teror tikus itu datang ada Cantika juga di sini. Anakmu itu meski umurnya masih belia tapi dia sangat cerdas."Samudra mengangguk membenarkan ucapan namanya. Emang bener cantik adalah anak yang cerdas. Bahkan gadis kecil itu sangat mudah untuk memahami pembicaraan orang lain. Terlebih setelah Kiara mendidiknya gadis itu semakin terlihat k
"Ada apa, Bro?" tanya Vino.Pria berkaca mata itu menunggu sahabatnya berbicara. Dari raut wajahnya npak ada sesuatu yang terjadi. "Benar katamu, Vin. Dari informasi yang dikumpulkan Dion, Melisa didukung seseorang yang memiliki kekuatan. Kamu tahu siapa dia? Pasti kamu akan shock kalau tahu orang yang membantunya selama ini," ujar Samudra."Siapa?" Samudra memberikan ponselnya pada Vino yang berisi bukti-bukti keterlibatan seseorang yang membantu setiap aksi Melisa. "Gila ini sih? Kenapa kamu bisa kecolongan, Bro? Selama ini kamu selalu teliti dalam bertindak. Kenapa sekarang kamu bisa kecolongan seperti ini?"Samudra menyugar rambutnya kasar. Entah kenapa semenjak menikah dengan Kiara, Samudra menjadi gila kerja. Hal itu ia lakukan semata-mata demi menjaga jarak dengan wanita yang sudah dia jerat sendiri dalam kehidupan pernikahan yang sebenarnya juga tak diinginkan oleh Kiara. "Entahlah. Akhir-akhir ini aku fokus pada proyek baru. Karena menurutku Misa hanya sebatas rekan kerja
"Pak, Nyonya sedang melapor ke pak RT. Sepertinya sudah mendapat kenalan warga sini," lapor pria yang mengikuti Kiara pada atasannya."Pantau terus. Jangan sampai lengah. Laporkan setiap kali istri saya bertemu dengan orang baru. Jangan sampai kecolongan!" balas Samudra."Siap, Pak."Beberapa menit kemudian tampak Kiara keluar dari rumah pak RT dengan wanita bernama Santi. Keduanya tampak akrab seperti teman yang sudah dekat bertahun-tahun. Bahkan kini wajah Kiara tampak sumringah dibandingkan ketika masih berada di rumah. Semua itu tak luput dari bantuan anak buah Samudra. Mendengar laporan dari orang-orang kepercayaannya hati Samudra berdenyut nyeri. Terlebih ketika mereka mengatakan kalau Kiara lebih bahagia saat ini dibandingkan sebelumnya. Tentu saja sebagai suami harga dirinya terasa diinjak-injak karena seorang istri lebih bahagia di luar saat jauh darinya dibandingkan berada di dalam rumahnya. Tapi sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan sang istri. Semua ini terjadi juga k
Sudah 2 bulan Kiara mengasingkan diri di rumah minimalis yang jauh dari peradaban hirup ibukota. Ada rasa rindu di dalam hati Kiara terhadap kedua orang tuanya. Selama 2 bulan itu pula dia hanya berhubungan dengan kedua orang tuanya melalui telepon. Dia juga mengatakan kalau dirinya baik-baik saja dan hidup bahagia bersama suaminya. Andai Ayah dan ibunya tahu kalau saat ini dirinya pergi dari rumah suaminya entah apa yang akan mereka pikirkan. Hari ini Kiara berencana untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Selama 2 bulan itu pula dia juga tidak pernah berhubungan dengan samudra. Sengaja dia menutup akses untuk lelaki yang telah membuat hidupnya menderita. Kiara sudah mengganti nomor ponselnya dengan nomor yang baru sehingga tidak ada seorangpun yang bisa menghubungi dirinya kecuali kedua orang tuanya. Dengan menggunakan bus, Kiara berangkat menuju rumah orang tuanya. Karena jalur bus menuju kedua orang tuanya tidak bisa sampai depan rumah, maka dia berhenti di sebuah mall. Terlebih
Kiara menatap rumah berlantai dua di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Cukup lama dia berdiri di depan pagar karena memikirkan alasan apa yang akan dia sampaikan pada kedua orang tuanya nanti jika ditanya kenapa datang sendirian. Tiba-tiba, saat dia termenung pintu pagar terbuka, lalu muncul seorang wanita paruh baya dengan wajah teduh. Kedua mata wanita paruh baya itu membelalak lebar melihat putrinya berdiri di depan pagar seperti orang linglung. "Kiara? Kenapa kamu berdiri di sini, Nak? Kenapa tidak masuk?" Kiara tergeragap. Tidak menyangka ibunya akan keluar. Dengan gerakan cepat ia langkah menghambur ke dalam pelukan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. "Ibu, Kiara kangen sama Ibu," lirih Kiara diiringi Isak tangis kerinduan. Bahu Kiara berguncang karena tangis yang tertahan. Masalah yang menimpanya akhir-akhir ini membuat beban dalam hati Kiara terasa sangat berat. Saat ia berpelukan dengan ibunya, rasanya ingin sekali menumpahkan segala resah yang membuatnya
"Kak Dam, kenapa baru muncul sekarang. Bukankah dulu kamu sudah berjanji untuk selalu ada untukku jika aku mengalami kesulitan?" Entah mengapa dada Kiara merebak. Di saat seperti itu, pintu ruangannya terbuka. Buru-buru Kiara mengusap pipinya yang basah. Mengingat setiap momen masa kecilnya membuat wanita itu tak bisa menahan haru. Setelah beratus purnama terpisah, kini mereka dipertemukan lagi dengan kondisi Kiara yang sudah memiliki suami. "Sayang, mau makan siang ke luar atau pesan antar saja?" Samudra masuk dengan senyum mengembang di bibirnya. Kiara yang menatapnya dengan tatapan kosong karena sedang memikirkan temn masa kecilnya terkesiap mendengar suara suaminya. Seketika dia mengucapkan istighfar dalam hati berkali-kali karena telah memikirkan lelaki lain. "Kayaknya makan di kantor aja deh, Mas. Pesan antar aja ya? Soalnya habis jam makan siang ada meeting lagi." Kiara menutup laptopnya lalu berjalan menuju ke sofa sambil meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Lal
Wanita itu segera berkutat dengan deretan angka yang membuat pusing kepala bagi yang tidak memahaminya. Namun Kiara sepertinya sangat menikmati pekerjaan sebagai CFO ini hingga tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.50. Liana kembali masuk."Sudah waktunya meeting, Bu."Kiara mendongak lalu merentangkan kedua tangannya yang mulai pegal. "Ah, iya. Ayo!"Kiara berjalan mendahului Liana. Saat memasuki lift, ternyata di dalam lift ada seseorang yang menatapnya dengan tatapan intens.Kiara menggeser tubuhnya hingga mepet ke dinding lift, sementara Liana berada di belakangnya. Pria yang sudah beberapa kali bertemu dengan Kiara itu memilih diam dan hanya melirik sekilas padanya. Pun dengan Kiara, dia hanya mengangguk hormat sebagai sapaan.Tak butuh waktu lama lift berhenti di lantai 13. Di lantai inilah ruang meeting dan aula berada. Kiara keluar lebih dulu diikuti oleh asistennya. Tak berselang lama lelaki dengan penampilan bak eksekutif muda itu juga keluar. Dia berusaha untuk me
"Ada apa ini?" Tiba-tiba sosok pria datang menghampiri mereka.Salah seorang pimpinan polisi menunjukkan surat perintah penangkapan. "Kami mendapat laporan penyekapan anak-anak di bawah umur di sini. Tolong kerjasamanya untuk tidak menghambat tugas kami." Pria bertubuh tegap dengan penampilan serba hitam itu sedikit menyunggingkan senyumnya. Pembawaannya sangat tenang meski ia tahu anak buahnya telah ditangkap dan anak-anak yang disekap ikut dibawa. Alih-alih panik karena rahasianya terbongkar, pria itu justru terlihat sangat santai. "Tidak ada penyekapan di sini. Mungkin anda salah info," ujarnya santai."Semua bukti-bukti sudah ada. Anda lebih baik ikut kami sekalian." Tanpa diduga, pria itu langsung naik ke mobil polisi tanpa membantah. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya bagi anak buahnya. Sedangkan para polisi tampak senang karena penangkapan tidak terlalu mendapatkan perlawanan. Terlebih mereka langsung mendapatkan pimpinannya tanpa drama yang berarti. Tanpa mereka tah
Sementara di rumah penyekapan terjadi kehebohan yang luar biasa. Setelah pamit mengantar Cantika, Kipli tak kunjung kembali. Salah seorang dari empat orang rekannya yang sedang santai setelah bosan bermain kartu akhirnya menyadari jika Kipli sudah terlalu lama ke belakang. Awalnya mereka bersikap masa bodoh, tapi setelah sekitar satu jam tidak kunjung kembali, mereka merasa ada yang janggal. "Hei, Anto! Coba Lo susul Kipli, cuma nganter boker aja sampai menahun. Jangan-jangan dimakan binatang buas lagi mereka!" ucap salah satu dari empat penjaga itu asal. Anto yang sejak tadi sudah mulai gelisah karena Kipli tak kunjung kembali seperti mendapat angin segar. Dadanya membuncah bahagia karena akhirnya dia memiliki kesempatan juga untuk kabur dari sana. Walau bagaimanapun, dia sama dengan Kipli. Menerima tawaran pekerjaan ini karena terdesak kebutuhan ekonomi. Ditambah lagi bayarannya cukup tinggi. Lama kelamaan Anto merasa ada yang salah dari profesinya ini. Dia merasa kasihan setiap
"Anggap saja gue sudah tidak punya utang Budi apapun lagi sama Lo!" jawabnya santai. Andai Samudra bukan lelaki yang tegas, dia pasti sudah menghambur ke pelukan pria berambut gondrong itu. Namun karena dia adalah pria dan tidak ingin menunjukkan kelemahannya, dia hanya tersenyum dengan tatapan yang menyiratkan rasa terima kasih yang teramat dalam.Setelah selesai memberi instruksi pada Jack, Samudra memilih untuk kembali ke kamar rawat putrinya. Dia ingin mendengar sendiri dari mulut putrinya bagaimana dia bisa mendadak tergeletak di pinggir jalan, tempat di mana dia ditemukan. Dengan sangat hati-hati lelaki bergelar ayah itu membuka pintu. Tatapannya langsung tertuju pada tiga wanita beda generasi yang sangat ia cintai. Hatinya merebak. Lalu tiba-tiba hatinya gerimis. Samudra melangkah masuk sembari mengusap sudut matanya diam-diam. Hampir saja pria ini frustasi saat sang buah hati tak kunjung ditemukan kemarin. Kini, melihat orang-orang yang dia cintai telah berkumpul membuat hat
"Ada apa?" tanya Kiara terus mendesak mereka. "Tidak apa-apa, Nyonya. Tuan sedang mengantar Nona kecil untuk tes laboratorium," ujar salah satu pria yang semuanya memiliki postur dan tinggi tubuh hampir serupa. "Apa yang terjadi? Apa sangat parah sampai harus di tes laboratorium?" Kiara tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Sebelum bertemu langsung dengan putrinya, wanita yang dulu sempat menjadi seorang guru itu tidak bisa tenang. Pikirannya terus dihantui dengan hal-hal yang buruk mengenai buah hatinya. Meski Cantika bukan putri kandung bagi Kiara tapi dia sudah menganggap anak itu seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan rasa cintanya pada sang anak melebihi cintanya pada diri sendiri. Suara langkah kaki yang mendekat membuat kepala Kiara spontan menoleh padanya. Di sana, di ujung lorong ia melihat Samudra mendorong kursi roda yang di atasnya duduk seorang gadis kecil dengan kepala menyandar ke belakang. Menunggu mereka sampai ke hadapan rasanya terlalu lama bagi Kiara sehingga
Cantika terus berlari dengan kaki kecilnya menyusuri hutan rimba yang cukup sepi. Meski dalam hati ketakutan dan ingin menangis tapi gadis kecil itu lebih takut lagi kalau kembali di rumah penyekapan. Nafasnya sudah mulai memburu padahal baru setengah jalan sebelum bertemu dengan jalan raya. "Apa Mama cantik takut." Melangkahkan kakinya yang kecil gadis itu terus meneriakkan nama papa dan mamanya sambil berderai air mata. Sementara di pelabuhan speed boat yang mengejar kapal yang diduga membawa Cantika sudah semakin dekat. Anak buah Samudra sebagian sudah melompat ke atas kapal dan baku hantam tak terelakkan. Cek yang memimpin pasukan memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah kapal tersebut. Sementara dirinya melawan orang-orang yang masih tersisa. "Bagaimana?" tanya Jack ketika sudah bisa melumpuhkan musuh."Tidak ada, Bos. Nona muda tidak ada di manapun!' sahur salah satu anak buahnya yang sudah mencari ke semua penjuru kapal. "Tapi ... saya menemukan ini, Bos!" lanjutnya sera
"Lo lihat wajah polos anak-anak itu? Bayangkan kalau salah satu diantara mereka adalah anak kita. Apa Lo nggak merasa kasihan? Hari ini kita menculik anak orang lain, bagaimana kalau suatu saat anak kita yang jadi korbannya?" bisik pria yang sudah mulai sadar akan perbuatannya itu. Sedangkan pria bernama Anto yang sejak tadi berusaha untuk tetap terjaga karena kantuk yang menyerang mulai goyah dengan ucapan temannya. Dia juga memiliki anak-anak seusia mereka. Bahkan anaknya kembar dan baru kelas 2 SD. Demi mereka dia rela melakoni pekerjaan haram ini. Namun tak pernah terpikir dalam benaknya suatu ketika anak yang di perjuangkan hidupnya akan bernasib sama dengan anak-anak ini.Tatapan Anto jatuh pada Cantika yang tampak lemas. Gadis kecil itu terus merengek dan tidak mau makan sehingga kehilangan banyak tenaga. Mendadak rasa kasihan menyusup ke dalam relung jiwanya. Wajah Cantika berubah seperti wajah anaknya yang tengah menangis minta tolong. Entah karena efek kantuk yang menggelay
"Mas, coba lacak lewat GPS. Tadi pagi Cantik memakai jam tangan yang sudah dipasang GPS," usul Kiara. Samudra sendiri baru sadar jika dia telah menasang alat pelacak di jam tangan dan sepatu Cantika. Karena kalut dia sampai lupa hal sepenting ini. Seketika harapannya terbit. Dengan alat pelacak itu, dia bisa menemukan posisi sang buah hati saat ini. Lelaki itu segera menyalakan smartwatch yang dipakainya. Ia membuka aplikasi untuk melacak keberadaan putrinya. Kedua alis lelaki bergelar ayah itu tertaut ketika melihat titik ordinat keberadaan putrinya. "Aku ikut, Mas!" Kiara tak bisa berdiam diri menunggu kabar sementara putri kesayangannya dalam bahaya."Sayang, kamu tunggu di rumah. Misi penyelamatan ini cukup berbahaya, Sayang." Samudra berusaha membujuk sang istri yang tetap kekeh ingin ikut. Pria yang masih memakai jas lengkap itu menatap mata sendu wanita yang ia cintai dengan tatapan yang meyakinkan. Dia tak ingin keselamatan Kiara terancam. Di saat Cantika, putri semata way