Share

5

Semalam itu … bencana.

Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.

Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.

Astagfirullah Akhi!

Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.

Sedang dirinya?

Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bukan itu perkaranya. Leora terlihat seperti penguping karena acap kali telinganya ia tempelkan di daun pintu dan mendengarkan. Dengan maksud, apakah mereka sudah pergi.

Aish, cara ini nggak elegan sekali. Justru sangat syalandd. D-nya double ya biar ketika di ucapkan terdengar syahdu aduhai indehoi. Oke skip.

Sepertinya sudah selesai. Lima menit berselang setelah telinganya mempertajam terakhir kalinya. Wajahnya mendadak berbinar-binar. Liurnya akan menetes. Begitu pintu di buka, jantung Leora hendak melompat dari tempatnya.

Sejak kapan tiang listrik pindah tempat di depan kamarnya?

“Mau ke mana kamu?”

Mengaduh setelah bokongnya bersalam ria dengan keramik yang keras, suami durhakanya memang tiada akhlak. Bukannya menolong malah nyelonong.

“Siap-siap. Kita ke pantai.”

Pantai endasmu!

Dengkusan Leora di perdengarkan. Tanpa peduli si empu yang melirik dengan tajam.

Teros! Lihat teros nyampe itu mata pindah tempat.

Keturunan Barella Yuduntha sungguh bebal. Karena ibunda tercinta ratu bebal di seluruh kerajaan, maka Leora pantas menggantikan peran sang mami ketika pension nanti. Tanpa mengindahkan perintah mas suami yang aduhai seksinya, mulutnya sibuk mengunyah. Satu tangan menuang jus buah segar, satu tangan lagi mencomot apa-apa saja yang sekiranya cocok bercokol di perutnya.

“Leora?!” Geraman panggilan yang tertahan Leora abaikan saja. Perutnya butuh asupan. Mulutnya sibuk mengunyah. “Saya minta kamu siap-siap.”

“Agku laghie makhan. Buta?”

Jawaban depan tidak jelas. Tapi yang terakhir sungguh mendatangkan perang bratayudha. Pasalnya, Raja ngamuk. Tanpa ampun membanting piring yang ada di dekat jangkauannya. Leora, sih, cuek saja. Dengan anteng makan.

“Lu nggak bisa, ya, nurut? Sekali saja.”

Oh tentu! Bukan gaya seorang Leora Yudantha untuk menurut dengan tunduk kepatuhan. Ada yang bisa mengaturnya; orangtuanya. Ada yang bisa mengendalikannya; orangtuanya. Jadi ketika perempuan murahan yang suaminya pakai semalam menegur dirinya, sudut bibir kananya terangkat ke atas.

Tangannya bertopang dagu sedang mulutnya masih terus mengunyah. Mata kecilnya bernetra sebening air kali menelisik dari atas ke bawah. Penilaian yang akan Leora sematkan kepada seseorang ketika berani memberinya perintah.

“Anda siapa?”

Perempuan berambut grey dengan sentuhan violet di depan sana mendengus. Awalnya tertegun. Itu kentara dari ekspresinya.

“Terkadang, kamu perlu mengunci mulut untuk diam ketimbang membuang tenaga untuk bicara. Mau tahu sesuatu?” Sekali jalang … berbuat baik pun akan tetap jalang.

“Kamu percaya diri sekali.”

“Sure! Aku istrinya. Sah secara agama dan hukum. Kita legal.”

“Yang tidak di sentuh sama sekali.”

“Jauh lebih baik.” Aku bukan jalang sepertimu. Inginnya Leora sambungkan kalimat itu. Tapi hatinya tertohok. Entah terhimpit oleh apa, dadanya tertusuk sakit. Benda tak kasat mata sedang mengorek luka yang selama ini dirinya tutupi. Sembuh total saja belum. Namun kembali menganga oleh sebuah robekan.

“Kenapa kamu keras kepala?”

“Karena itulah mamiku malahirkanku.” Kamu pikir menjadi kuat terlahir dari perempuan lemah?

“Cih!” Leora mendengarnya. “Kamu bermimpi terlalu tinggi. Tidurmu pasti nyenyak semalam.”

“Ya … setidaknya tubuhku aman. Tidak babak belur, tidak sakit apalagi meninggalkan lebam.”

Salah tingkah. Itu yang Leora tangkap. Secara sigap perempuan berambut grey violet itu menutupi pergelangan tangannya. Percuma! Leora sudah melihatnya.

“Pasti servismu sangat oke. Aku melihat senyum menawan si wajah suamiku. Siapa pun namamu, terima kasih. Karena sudah mau bersakit-sakit ria menggantikan peranku. Oh, berapa nomor rekeningmu? Atau di mana aku bisa menghubungimu?”

Terdengar sangat sarkas.

Raja yang diam-diam mendengarkan sangat puas. Papinya tidak salah memilihkan jodoh. Istrinya sangat pandai tanpa bisa di intimidasi sedikit pun. Dalam batinnya meraung, membenarkan bahwa mereka pasangan serasi dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Nanti, anak-anak mereka akan mewarisi sifat kedua orangtuanya.

Ah sialan!

Cepat-cepat Raja lengser. Kian mendengarkan adu mulut istri dan jalangnya, otak Raja konslet. Pergeserannya bertambah parah. Dari lima senti meluncur ke serratus senti alias sepenuhnya gesrek. Itu tidak baik untuk kerja tubuhnya. Responnya akan begitu konyol seperti semalam.

Melihat Leora yang bergerak gelisah di atas kasur, sesuatu terbangun dengan cepat. Tapi melakukan penyatuan bukan jalan terbaik atau Leora akan terkapar di bangkar rumah sakit.

***

Karena Raja seorang diktaktor, menyeret Leora menjadi suatu awalan yang akan dirinya jadikan sebuah kebiasaan.

Perempuan mungil yang dirinya nikahi beberapa hari lalu itu sangat berkepala batu.

“Kenapa nggak ngajak selingkuhan kamu saja, sih?!”

Dia sangat cerewet. Batin Raja. Itu terbukti dengan ocehannya sepanjang jalan menuju butik.

“Kita suami isti, lupa?”

“Di atas kertas doang.”

“Marah?”

“Sudi banget!”

Leora hendak kabur. Sayangnya, tangkapan Raja lebih gesit. Jadi para penonton, bayangkan saja apa akibatnya ketika dirinya di peluk di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Di Bali yang ramai selalu dan mata-mata para turis justru berdecak kagum. Ada bisikan jika cara Raja memeluk dirinya amatlah romantis. Penuh cinta.

Yasalam.

“Lepas!”

“Janji jangan kabur lagi.”

“Lu lebay.”

“Itu nggak sopan Leora. Saya suami kamu.”

Manusia satu ini mulutnya suka tergelincir dengan bebas, Kadang ‘aku’, kadang ‘saya’.

“Kamu bau!”

“Saya selalu wangi meski tanpa mandi.”

“Dewa Yunani berdarah-darah mengetahui tingkat kepedean kamu.”

“Bukannya kamu yang jatuh cinta?”

Dahlah. Yo wes! Sudah. Leora kiceup. Diam.

“Kita sampai.”

Fokus dengan pelukan yang mendadak melingkupi tubuh mungilnya dengan aman, Leora di ajak berhenti di sebuah butik. Sudah berada di dalam ruangan dan para perempuan yang melayani melirik manja pada suaminya … yang sedater papan gerusan.

Mampus! Rasain!

“Gaun yang sudah saya pesan.” Perkataan Raja segera di turuti sang pelayan. Dan kembali dengan bungkusan cantik berpita merah. “Coba sana.”

Mata Leora mendelik. Perintah Raja nggak ada kalem-kalemnya.

“Nggak mau!”

“Leora?!”

“Apa?!”

“Ganti atau saya yang lucuti pakaian kamu di sini?”

Bergidik negri, segera Leora sambar kotak berpita merah. Setelahnya mendumel sepanjang menuju ruang ganti yang rasanya punggunnya akan bolong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status