Share

4

Here we go!

Setelah berkutat dengan kisah Langit dan Ratu yang sesuai judul kita kupas perlahan.

Hari baru kembali milik Leora dan Raja.

Pagi itu ... pekerjaan Leora begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial kecuali statusnya yang sudah berubah; istri. Dari belum kawin menjadi sudah kawin. Tapi Leora lupa pada beberapa ingatan masa lalunya. Yang entahlah menurutnya tidak ingin dirinya angkat menjadi topik cerita. Begini saja sudah cukup membuatnya bahagia. Cukup dengan melihat ramainya kedai kopi miliknya. Hilir mudik pengunjung di siang ini terbilang stabil tapi masih mampu menghiburnya.

Ia sesap kopi Arabica kesukaannya dengan sepiring roti goreng yang menemani. Jari lentiknya selaras dengan ketikan di atas keyboard laptopnya. Matanya bergerak awas ketika lonceng bel di pintunya berbunyi.

Pasangan muda mudi—mahasiswa mungkin—terlihat bergandengan tangan. Memilih tempat duduk yang memojok dekat jendela—pasti untuk menambah kesan romantis dengan latar mobil dan orang-orang yang berlalu lalang.

“Mbak.” Leora menoleh. “Ini laporan bulanannya.” Aren namanya. Pemuda berumur dua puluh tahunan. Mahasiswa tingkat akhir yang Leora percayakan mengurus segala kebutuhan kedainya. “Bulan ini lumayan ada kenaikan di banding bulan lalu,” jelasnya. Leora memeriksa.

“Makasih Ar. Kamu boleh pulang.” Ya, pergantian shift telah usai. Akan ada pengganti Aren yang bertugas usai ini. Leora juga bergegas. Ia akan menilik laporan di kedainya yang lain sebelum meluncur ke kantor papinya.

Yang paling Leora benci dalam hidup ini adalah kepura-puraan. Dalam konteks apapun Leora membenci hal itu. Entah menutupi tangisnya dengan senyuman agar terlihat baik-baik saja. Atau tertawa lebar di kala masalah mendera tetap saja itu pura-pura. Dan yang namanya pura-pura tidak pernah masuk dalam daftar terijin Leora. Ketimbang pura-pura, Leora lebih suka pengungkapan penuh kejujuran. Bukan dirinya sok kuat atau berceramah mengenaik kejujuran. Leora bukan orang terbuka yang mudah menyatakan apa yang dirinya rasakan. Ia tipe pemendam. Menyelesaikan segalanya sendiri dalam diam.

Sayangnya, seorang Raja Anggoro benar-benar manipulatif akut. Ia bisa berubah baik ketika di depan keluarganya. Berlagak harmonis pada hubungannya seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelum dan sesudah ini. Itu kualifikasi pura-pura bagi Leora.

“Jadi kapan mau ngasih papi cucu?”

Siapa yang sangka kedatangan Leora di barengi dengan Raja yang tengah membicarakan bisnis. Tahu begitu, Leora hendaknya urung saja.

“Secepatnya.”

Leora berdecih tanpa ada yang mendengar. Raja sok-sok’an merangkul bahunya, meremasnya perlahan agar terlihat akur. Astaga! Leora ingin memuntahkan seluruh isi makanan dalam lambungnya.

Hubungan ini, sudah Leora jamin sejak awal tidak akan berhasil. Baik sebelum maupun sesudah pada apa yang menimpa Raja. Sebelum kehilangan atau sesudah kehilangan. Ada banyak kegelapan yang belum Leora s***k. Memilih diam Leora jadikan sebuah jalan terbaik. Leora akan kembali menjadi bayangan. Menjaga Raja dari jauh. Memperhatikan dengan penuh kehati-hatian. Diam meski mendengar. Tersenyum meski sakit.

“Kamu mau, kan sayang?”

“Eh?” Leora tergagap di tempatnya. Pikirannya berkelana sehingga acuh pada ucapan sang papi.

“Kalian harus bulan madu. Harusnya pengantin baru seperti itu bukan malah kerja.”

Sagitarius Yudantha sejak dulu tidak bisa ditentang maunya. Jangankan anak, istrinya saja sangat sulit mengendalikan kecuali ancaman ampuh di angkat ke permukaan. Barulah papinya itu anteng.

“Kerjaan aku lumayan banyak pi. Kebetulan mau buka resto baru di Anyer. Jadi aku …”

“Aku sudah pesan tiket dan semuanya. Kita tinggal berangkat.”

Sagi bertepuk tangan. Alis Leora mengerut dalam.

Apa-apaan lelaki ini? Kenapa mulutnya sangat lancar tanpa bisa memfilter segala tata letak rangkaian kalimat yang akan meluncur? Tidak bisakah dia berpikir jika kekecewaan seseorang adalah ketika di bohongi habis-habisan?

Di mana letak otaknya?

“Papi setuju.”

Lebih sialan lagi untuk papinya. Kerang ajaib Spongebob saja tidak berkutik melihat tingkah ajaib sang papi. Perkara cucu apa sesenang ini? Proses membuatnya saja Leora enggan membayangkan.

“Ayo, kita siap-siap.”

Yang Raja ulurkan tangannya. Leora hendak menolak. Tapi wajah semringah sang papi mengurungkan niatnya untuk menolak. Yang amat terpaksa Leora terima lalu di lepaskan paksa begitu keluar ruangan.

Ia kumpulkan kekuatan untuk berbicara dengan tenang. Degupan jantungnya menggila.

“Lain kali, nggak perlu pakai topeng. Kita nikah saja …”

“Siapa yang bilang itu pura-pura?”

Syaland syekalee Kakanda Prabu ini. Membuat Leora mendengus sedemikian keras dan mual di perutnya tambah bergejolak.

“Nggak ada, ya, bulan madu atau apalah itu!”

“Nggak ada, ya, istri nolak apalagi ngatur suami.”

Suami ndasmu! Yang Leora suarakan dalam hati saja.

***

Memang benar terlaksana dengan baik. Bulan madunya di Bali, dekat saja atau hemat biaya?

Leora tidak peduli. Yang dirinya tolak kunci vila pemberian Raja. Dalihnya seperti ini: “Aku punya teman di sini. Mau nginap di sana.”

Urus saja dirimu sendiri, jelas dalam hati. Leora terlalu banyak membatin sejak bersama Raja.

Lagi pula, dirinya masih waras. Raja gilanya akar dua pangkat tiga. Membawa perempuan lain di malam pertama ke rumahnya, Leora sungguh biasa saja. Kini mendapati wanita lain yang nimbrung di acara bulan madunya … olala maaf saja. Yang hendak berzina, Leora melipir.

Tidak akan sudi dirinya melihat kenistaan mereka secara live. Dirinya mungkin bukan suci layaknya Dewi-dewi kayangan. Karena itu ia enggan menimbuk dosa.

“Kamu nggak bisa seenak hati pergi.” Raja mengejarnya. Mencekal tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam vila. “Harus nurut sama aku. Ini perintah!”

“Lepas sialan!”

Kali ini Raja menggendongnya. Tidak ingin Leora lolos dalam jangkauannya.

“Kamu harus di hukum buat selalu patuh.”

“Aku bukan budak!”

“Kamu istri saya. Tolong diingat.”

Dengusan Leora tanpa di tutup-tutupi menyentil harga diri Raja. Ia lempar tubuh kecil Leora di atas ranjang. Sampai kepalanya terantuk kepala ranjang yang keras, rintihan sakit tidak Raja pedulikan. Biadab!

“Kamu pilih. Diam di sini atau saya eksekusi sampai kaki kamu pincang.”

Jika ada kesempatan untuk kabur, Leora akan segera berlari. Tidak sudi berada di sini. Satu atap dengan iblis berparas tampan aduhai Raja.

“Lo itu … serius keturunan Papi Radit?” pertanyaan Leora memancing percikan api yang memadam. “Papi Radit nggak sekasar ini untuk ukuran seorang lelaki.”

“Tahu apa soal keluarga saya?” Tangan Raja terulur menarik rambut panjang Leora. Mata elangnya menelisik lebih dalam dan dewa batinnya bersuara cantik. Otaknya pasti geser lima puluh derajat. “Rambut kamu cantik.” Terlepas dan di elus dengan sayang. “Jangan di potong. Usahakan leher ini tidak ada yang meliriknya. Kamu milik saya seutuhnya.”

***

Tubuh Leora merinding secara keseluruhan. Ucapan Raja mempengaruhi sistem kerja dalam merespon. Ini pasti berlebihan. Karena sampai malam terus terngiang di telinganya. Sampai suara desahan di kamar sebelah—teriakan lebih tepatnya—terdengar otak Leora tumpul dalam berpikir.

Ia tidak bisa memutuskan untuk pergi padahal kesempatan berlari sudah di depan mata. Bukankah ini waktunya? Raja sedang melampiaskan napsu binatangnya. Leora hanya perlu pergi—persetan dengan barang bawaannya. Uangnya lebih dari cukup untuk membeli kebutuhan yang baru.

Hanya saja, setelah ini, apa yang akan terjadi?

Raja akan membantai dirinya habis-habisan. Perkataan eksekusi saja sudah membuat otaknya blank. Apalagi jika terjadi secara nyata?

“Kenapa kamu?”

Pasalnya tubuh Leora bergerak gelisah entah karena apa. Sampai rungunya mendengar suara familiar yang menyapa tanpa peduli jika aktivitas kamar sebelah telah senyap.

“Kamu … serius?”

Astaga … saus tar-tar ini kenapa bicaranya sangat enteng?

“Mau saya puasin?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status