Share

Chapter 2 Kemana?

“Biasa, rumah,” jawab Carl sambil lalu. Pria itu melangkah menjauh. Ponselnya kembali berdering.

“Ya, Tuan Drake.”

Kate mengamati wajah lelah Carl yang kembali menghadapnya. Usai mengucapkan kata ‘saya segera ke sana’, Carl menutup panggilan itu.

“Orang-orang suruhan Alfred sudah ditangkap, termasuk para preman yang tadi mengejar kita. Aku harus ke kantor polisi sekarang bersama Tuan Drake untuk memberi keterangan. Besok kau dan Nona Elena diminta datang ke kantor polisi.”

“Aku bisa ikut denganmu ke sana sekarang.”

Pria dengan garis rahang tegas itu mendekati Kate dan tersenyum. Tangannya menepuk pundak Kate.

“Kau datang besok saja, istirahatlah.”

Wanita berambut cokelat itu tak ingin menambah beban kepada Carl, jadi, ia menurut saja. Wajah sendunya tak bisa disembunyikan saat Carl melangkah keluar dari apartemen mewah itu.

***

Kate berjalan bolak balik ke sana kemari. Pikirannya mencoba mencerna keadaan sekitar. Profesi bodyguard, apartemen mewah milik sendiri, bahkan kamar yang lengkap dengan pakaian wanita yang Kate tempati sekarang, menimbulkan tanda tanya besar. Belum lagi telepon yang kerap membuat pria pemilik apartemen ini berubah tegang dan terganggu, panggilan yang kerap terjadi saat keduanya masih tinggal di apartemen Kate.

“Kehidupan Carl membuatku ingin banyak bertanya.”

Mengingat ekspresi lelah saat Carl tadi pergi membuat Kate urung bertanya. Pria itu sudah membantunya lari dari para preman yang dikirim Alfred, musuh bebuyutan Elena, presdir Kate. Dalam perebutan posisi CEO di kantornya, antara Elena dan Alfred, Kate yang merupakan sekretaris Elena harus ikut terseret dalam pertarungan berdarah itu. Entah apa jadinya jika ia tak memiliki bodyguard sebaik Carl.

Rasa lelah, takut dan cemas yang menguras energi Kate sejak tadi, membuatnya merebahkan diri di ranjang. Ia hanya ingin merelakskan otot tubuhnya sejenak. Hingga tak sadar ia terlelap dalam mimpi.

Dengan tiba-tiba, Kate terbangun usai bermimpi kembali dikejar para preman persis seperti tadi. Napasnya terengah begitu terbangun. Jam dinding menunjukkan pukul 1 lebih dini hari. Kate yang jantungnya berdegup keras turun dari ranjang. Berniat mengambil air putih di dapur.

Langkah Kate terpaku di tempatnya saat melihat postur pria yang bertelanjang dada itu melongok dan membuka lemari pendingin. Saat berbalik, Carl tersenyum ke arahnya.

“Terbangun dari mimpi?”

Wanita berambut panjang itu mengambil gelas lalu berjalan mendekati lemari pendingin.

“Ya, dari mimpi buruk. Sekarang, aku kehausan.”

Kate menelan ludahnya dengan susah payah saat semakin mendekati tubuh atletis di depannya itu. Gelombang besar berdesir di hatinya saat menuangkan air ke gelas. Pria itu mengamatinya dari jarak sangat dekat.

“Kau pulang jam berapa?”

“Dua jam lalu, aku juga baru saja terbangun. Apa kau bisa tidur?”

“Ya, aku tertidur setelah kau pergi.”

Kate duduk di kursi yang tinggi itu. Ia tak terbiasa menggunakan kursi tinggi seperti yang ada di bar ketika di rumah. Sesekali ia takut terjatuh karena kakinya tak bisa menyentuh lantai. Carl terkekeh saat melihat Kate yang terus menatap ke lantai.

“Kursinya aman, tak perlu takut terjatuh.”

Satu tangan Carl memegangi pinggiran kursi itu, membuat Kate bernapas lega. Pria itu berdiri di samping kursi seraya tersenyum mengamati Kate.

“Aku takjub begitu melihat ada banyak baju wanita di apartemenmu. Kebetulan ukurannya sama denganku, apa ini milik kekasihmu?”

“Seingatku, aku pernah meminta seorang wanita untuk menjadi kekasihku, sayang, aku ditolak.”

Wanita berhidung mancung itu membeku di tempatnya, lalu segera mengalihkan pandangan. Bukannya ia tak tahu, Carl beberapa kali menyatakan keinginannya untuk menjadi kekasihnya. Tapi, ia terlalu nyaman menjadikan Carl sahabatnya. Mana mungkin ia memiliki hubungan spesial dengan bodyguardnya? Itu akan terlihat tidak ... profesional.

“Ingat saat aku mengajakmu tinggal di sini karena lebih aman? Aku sudah menyiapkan baju untukmu di kamar itu. Jangan heran kalau ukurannya cocok untukmu.”

“Kukira kita sepakat untuk bersahabat, Carl.”

“Kau yang meminta, Kate. Saat ini, aku tak peduli lagi, entah kau menganggapku apa. Tapi, aku akan terus menjagamu, sampai kapan pun.”

“Aku bahkan tidak tahu kehidupanmu seperti apa. Apartemen mewah ini, panggilan dari rumah yang selalu membuatmu tegang, dan entah apa lagi. Aku merasa tak benar-benar mengenal kau yang sudah kuanggap sahabatku.”

“Pernahkah kau merasa tertarik dengan pria misterius sepertiku?”

“Entahlah. Aku hanya berharap, kau tak sekongkol dengan siapa pun lalu menculikku.”

Kate tertawa membayangkan kemungkinan itu. Carl perlahan mendekatinya. Tangannya terulur mengusap lembut bibir Kate yang basah karena air minum.

“Menculikmu? Ide bagus. Maafkan aku, Kate.”

“Untuk?”

“Karena tak menjagamu dengan benar. Tadi malam aku hanya mengantarmu pulang lalu langsung pergi, tak tahu jika preman suruhan Alfred ke tempatmu.”

Getaran suara itu, Kate tahu, pria itu merutuki kesalahannya.

“Yang penting kau kembali tepat waktu. Kita berhasil kabur dan baik-baik saja. Jangan salahkan dirimu.”

“Saat di kantor polisi tadi aku menyadari sesuatu. Meski, Alfred sudah dalam proses pengadilan dan orang suruhannya sudah ditahan, aku ... bisa saja kehilanganmu dalam sekejap. Aku sangat menyesal meninggalkanmu pergi usai mengantar pulang. Setidaknya di tinggal di sini, kau aman.”

Mata berkaca-kaca pria itu sukses membuat Kate tersentuh. Jari lentiknya mengusap lembut pipi pria itu.

“Terima kasih sudah menyelamatkanku tadi. Aku ... tidak ingin membayangkan, apa jadinya kalau kau tak kembali.”

Carl melihat wajah sendu Kate yang semakin jelas. Ia ingat saat memutar mobilnya kembali ke apartemen Kate, usai diberitahu situasi buruk oleh Drake, jantungnya hampir lepas. Ia tak ingin kehilangan wanita itu barang sedetik pun. Jika hal buruk terjadi pada Kate, Carl tak tahu lagu bagaimana caranya bangkit.

“Aku tak kehilanganmu, Kate. Sedetik pun aku tak rela membuang waktu. Kejadian tadi membuatku sadar, tak peduli apa yang kau katakan dan lakukan, mau membuangku sejauh mungkin, aku hanya akan terus di sisimu.”

Carl memegangi tangan Kate yang menyentuh pipinya. Pria itu tak ingin melepaskan jari lentik itu dari wajahnya. Carl memberanikan diri, mendekati Kate lebih dan lebih lagi. Tak berpikir panjang lagi, ia mencium bibir merah Kate dengan lembut. Menunggu reaksi penolakan dari wanita itu.

Entah mantra apa yang Carl ucapkan, Kate merasa dirinya takut pria itu pergi darinya jika ia menarik diri saat ini. Dada yang atletis, kulit cokelat tan, dan suara lembut Carl membuatnya tak mampu menjauh. Aroma campuran woody dan bergamot dari dada Carl membaut Kate semakin larut dalam fantasinya.

Ia membiarkan Carl mencium bibirnya dan berlama-lama di sana. Tangannya terulur ke leher Carl, seolah meminta pria itu tak menjauh atau menghentikan semuanya. Saat kemudian pria berambut hitam itu berhenti, Kate terkejut.

“Carl, aku ....”

“Jangan katakan apa pun, jangan pikirkan apa pun. Turuti kata hatimu, Kate.”

Pria itu kembali mencumbu Kate dengan lebih lembut. Tak memberi ruang bagi Kate untuk mundur sedikit pun. Menit demi menit berlalu dan semakin panas. Saat Kate sadar, mereka sudah berada di sebuah kamar yang jauh lebih besar lagi dari yang Kate tempati. Tentu itu adalah kamar Carl. Sekali saja, untuk malam ini, Kate ingin menuruti hatinya.

“Jangan bilang kau ingin berhenti.”

“Carl, kalau pun aku bilang begitu, apa kau akan berhenti?”

“Tentu tidak.”

Pria itu tak memberi kesempatan Kate untuk tersenyum lebih lama sebagai respons. Keduanya memutuskan larut dalam fantasi hati dan hasrat yang terpendam. Berharap malam itu berlalu lebih lama dari biasanya.

***

Hal pertama yang dirasakan hingga membuat Kate terbangun adalah rasa geli di tengkuk dan lehernya. Samar-samar, ia melihat sinar matahari masuk ke sela jendela kamar itu. Kate menoleh ke belakang, mendapati Carl mengecup tengkuk dan lehernya. Tak sadar Kate yang telah terbangun, pria itu mulai bergerak turun ke arah punggung Kate. Semakin membuat wanita itu merinding dengan kecupannya.

“Carl, apa yang kau lakukan?”

Mendongak ke sumber suara yang ternyata telah terbangun, pria itu hanya tersenyum singkat. Dengan satu gerakan cepat mencuri ciuman di bibir Kate.

“Mengagumimu, tentu saja,” jawab Carl terlambat.

Kate kembali menatap ke arah jendela, terlalu malu untuk menatap pria yang kini mengamatinya dengan intens.

“Bagaimana semalam?”

“Jangan tanyakan itu. Cukup, cukup sekali saja. Aku ... berterima kasih padamu atas kejadian kemarin.”

“Aku tak peduli kau mau beralasan atau memanggilku apa, tapi, mulai hari ini, kau tidur di sini, Kate.”

Wanita itu hanya diam. Ia perlu segera bersiap pergi ke kantor polisi, tapi, tubuhnya enggan beranjak dari ranjang besar itu. Terlalu nyaman dan hangat dalam pelukan bodyguardnya.

“Rasanya ingin seharian di sini denganmu,” ucap Carl dengan santai.

“Tidak bisa, aku harus berangkat kerja dan ke kantor polisi hari ini.”

“Nona Elena tadi sempat menelepon dan meliburkanmu hari ini. Ia pasti sangat khawatir padamu.”

“Oh, tidak, aku lupa mengabarinya. Jadi, kau tadi yang menerima telepon darinya?”

“Tentu saja, tak ada yang aneh, mengingat dia tahu kita tinggal bersama.”

“Tapi, tidak dengan ....”

“Dengan kita yang tidur bersama semalam?”

Wajah Kate memerah. Ia menarik selimut menutupi tubuhnya dan bersiap bangkit.

“Bagaimana tentang Alfred?”

“Alfred memang menyuruh preman itu meski sudah 3 bulan ditahan. Ayahnya yang membantu, sekarang mereka semua sudah ditahan dan diadili. Kita bisa tenang, Alfred sudah tamat.”

“Syukurlah, sejak awal aku membencinya.”

“Biar kuantar ke kantor polisi.”

“Tidak perlu, aku bisa sendiri.”

“Aku masih khawatir karena kejadian semalam.”

“Baiklah.”

***

Wanita berkaca mata itu tak bisa mengakui jika situasi malam itu adalah yang terakhir. Tak sesuai dengan dugaannya, ia justru semakin larut terjerat pesona seorang Carl Rionard, bodyguardnya sendiri. Meski jelas tak menganggap pria itu sebagai kekasihnya, Kate tahu jika Carl tak masalah dengan status. Mereka hanya berjalan mengikuti naluri.

Malam-malam panas masih berlanjut dan entah sampai kapan. Setiap kali ingin menolak, Kate justru kembali jatuh ke pelukan pria itu tiap malam. Berbeda dengan mantan kekasihnya dulu yang sangat kasar, Carl, justru memperlakukannya dengan begitu lembut.

Dua minggu berlalu, Kate yang tak bisa jauh dari Carl, hari itu merasa janggal. Bodyguardnya itu terburu-buru pergi dengan izin keluar sebentar usai pulang kerja. Sampai lewat tengah malam, Carl tak pulang. Kate menghubunginya terus menerus tapi gagal mendapat respons.

Sejak menghilang dua hari lalu, Kate ingin melapor ke polisi, tapi, ia menemukan secarik kertas di meja kerja Carl yang ada di dalam kamar besarnya.

“Tunggu aku, bersabarlah.”

“Ke mana kau pergi, Carl?”

Wanita berambut cokelat madu itu mengepalkan tangannya dengan kuat. Menggigit bibirnya dan menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan frustrasi. Dua hari tak melihat bodyguardnya itu terasa seperti dua tahun tak bertemu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status