Share

Chapter 3 Pertemuan Kembali

“Sayang sekali, proyek kerja sama dengan Spentwood Company hari ini akan menjadi proyek terakhirmu di kantor ini, Kate. Aku akan merindukanmu.”

Wanita berambut pirang dengan muram menatap sahabat sekaligus sekretaris terbaiknya hingga detik ini. Sementara wanita berkaca mata tebal dengan rambut di ikat rapi tersenyum lembut.

“Aku juga akan merindukanmu, jangan jadikan hari terakhirku masuk kerja sebagai hari yang sedih, Elena.”

Mereka saling membalas senyum diiringi tatapan sendu. Sebelum sebuah suara dari salah seorang staf kantor menginterupsi.

“Perwakilan dari Spentwood company, presdir baru mereka telah sampai.”

Kate dan Elena mengangguk tanda mengerti dan segera berdiri untuk menyambut. Sekilas, kening Kate berkerut kala mengingat perkataan staf yang baru saja keluar ruangan.

“Presdir baru? Aku baru dengar.”

“Aku juga, Kate.”

Detik berikutnya, seorang pria dengan tampilan jas rapi diikuti beberapa pria di belakangnya masuk. Kate berdiri di samping Elena telah menyiapkan senyum hangatnya. Satu, dua, tiga. Detik ketiga ia menyadari pria yang berdiri di depannya itu adalah orang yang selama ini pergi.

“Selamat pagi, Kate.”

Wajah wanita berambut cokelat itu menjadi kaku. Tangannya menyambut jabat tangan sambil lalu, seolah pikirannya berada di tempat lain. Pria itu lalu diarahkan duduk di tempat yang telah di siapkan.

“Apa yang dilakukannya di sini?” bisik Elena sama terkejutnya dengan Kate.

Kedua wanita itu hanya bisa menahan keterkejutannya saat pria yang mereka kenal sebagai bodyguard, Carl Rionard, saat ini memperkenalkan diri sebagai presdir baru Spentwood company setelah sebulan menghilang tanpa kabar.

Setiap menit yang berlalu, keringat dingin yang muncul semakin parah dirasakan oleh Kate. Kepalanya semakin pusing, sesekali ia mengusap perutnya untuk meredakan ketegangan. Bukannya semakin membaik, kondisinya semakin parah. Ia tahu akan segera pingsan jika memaksa diri tetap di ruangan.

Beruntung, atas saran Elena, pembicaraan mereka tentang proyek berlangsung cepat dan akan dilanjutkan di pertemuan selanjutnya. Begitu rapat selesai, Kate bergegas keluar dari ruangan. Menahan segala dorongan diri untuk menjatuhkan tubuhnya begitu saja, Kate berjalan cepat menuju toilet terdekat.

Hoeek, hooek. Beberapa kali terdengar suara muntahan di toilet yang sepi. Kate sudah berdiri di depan wastafel dengan langkah sempoyongan, harus kembali masuk ke bilik untuk memuntahkan isi perutnya yang tentu hampir habis.

Setelah yakin, tak ada lagi yang bisa ia muntahkan, Kate langsung menggosok giginya. Hal yang empat hari ini selalu ia lakukan usai muntah. Setelah menyeka air mata yang leleh di sudut matanya, Kate memastikan penampilannya sudah bersih dan rapi. Keringat dinginnya masih muncul, belum lagi matanya yang semu merah. Tapi, Kate menatap dirinya di depan cermin dan tersenyum sekilas.

Keluar dari area toilet wanita, mendadak lengan Kate tertahan oleh tangan besar. Sedikit tarikan membuat tubuh lemahnya langsung terhuyung.

“Apa kau sakit, Kate?”

Iris mata berwarna gelap itu terlihat jelas. Sesaat, Kate hanya terdiam dan tak bergerak. Ia menarik napas panjang dan menegakkan dirinya sebaik mungkin.

“Lepas! Aku tidak mengenalmu!”

“Tolong, dengarkan aku.”

Kate menghempaskan lengan pria itu sekuat tenaga. Matanya menyorot tajam ke bola mata warna abu gelap itu. Bola mata yang pernah membuatnya tenggelam dalam kegelapan sampai ia terjebak di dalamnya.

“Hentikan, Carl! Aku tak mau melihatmu lagi!”

Kate baru saja berbalik, memunggungi Carl dan hendak melangkah. Perutnya mendadak kram, keringat dingin membuat tubuhnya merasa semakin berat. Ia hanya ingat teriakan pria di belakangnya itu sebelum semua penglihatannya menggelap.

***

Matanya terasa ringan, hingga Kate bisa membuka matanya perlahan. Yang pertama ia lihat adalah semua ruangan di dominasi serba putih dan aroma khas semacam obat menguar di seluruh ruangan. Ia sadar, tak memakai kaca matanya lagi sehingga pandangannya sedikit mengabur.

Pandangannya terhenti di sisi kiri tangannya yang digenggam erat. Seorang pria berambut hitam senada dengan warna mata itu menatapnya lurus. Ia tak bisa menjelaskan, ekspresi macam apa yang dimiliki pria itu saat ini.

“Aku harus pergi.”

Menyadari ia sedang berada di rumah sakit dan pria yang menunggunya ini adalah Carl, Kate ingin segera pergi dari sini. Sayang, tubuhnya masih terasa berat saat ia memaksa diri untuk bangkit lalu, gagal.

“Istirahatlah.”

“Tidak mau. Aku tak bisa istirahat dengan nyaman selama melihat wajahmu.”

Kate berhasil duduk dengan usahanya sendiri. Ia mengumpulkan tenaganya untuk perlahan menggerakkan kakinya turun dari brankar.

“Bayi itu milikku, Kate Hepburn.”

Kate langsung menghentikan gerakannya. Perlahan, memutar pandangannya ke arah pria yang kini tengah berdiri dan menatap balik padanya.

“Bayi apa?”

“Hentikan, aku tahu kau pura-pura tak tahu. Dokter memberitahuku kau sedang hamil.”

Kate menggigit bibir bagian dalamnya lebih keras. Napasnya tercekat saat melihat tatapan intens Carl ke arahnya. Seolah ia dikuliti hidup-hidup.

“Ini bayiku, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali aku sendiri.”

Kalimatnya tegas dan tak gentar, ia sedang tak ingin berdebat. Tapi, ekspresi tegang yang ia lihat dari Carl saat ini terlihat berbeda dengan biasanya. Garis – garis kemarahan yang tersimpan bisa Kate rasakan. Ia memilih membuang muka ke arah lain.

“Tidak mungkin bayi itu tiba-tiba ada begitu saja. Aku juga berhak atasnya.”

“Siapa tahu aku hamil karena berhubungan dengan pria lain.”

“Berhenti menyangkal. Usia kandunganmu 5 minggu dan kau tak mungkin lupa dengan siapa kau tidur sejak dua bulan lalu.”

“Bisa saja, tanpa sepengetahuanmu ....”

“Enam bulan, sejak enam bulan lalu kita tinggal bersama dan aku tahu persis ke mana saja kau pergi. Aku bahkan bisa memberitahumu bagaimana posisi tidurmu setiap hari.”

Bibir Kate seolah terkunci usai mendengar kalimat Carl. Jelas, argumen pria itu masuk akal dan sulit untuk disangkal lagi. Satu-satunya cara adalah mengakui dan menawarkan kemudahan.

“Baiklah, tak ada gunanya aku menyangkal lagi. Tapi, tak ada yang berubah setelah ini. Aku akan merawatnya sendiri, kau tak perlu khawatir. Aku tak akan menuntut apa pun darimu, jadi, pergi sejauh mungkin dariku. Seperti yang kau lakukan sebulan terakhir.”

Carl menarik napas panjang. Semua yang terjadi di depannya saat ini mengejutkannya. Ada hal-hal yang saat itu tak bisa ia ceritakan pada Kate hingga kepergian mendadaknya sebulan lalu. Semua di luar dugaan, ia meninggalkan Kate tanpa kabar di saat ternyata wanita itu mengandung bayinya.

“Melihat semua yang terjadi saat ini. Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi begitu saja. Aku adalah ayah dari bayi yang kau kandung, ingat itu, Kate.”

“Melihat semua yang terjadi, aku tak sudi melihatmu terus di dekatku. Aku yang membiarkanmu pergi. Untuk apa menahan pria yang sudah memilih pergi dari hidupku tanpa kabar sekalipun.”

“Kate, ini semua rumit, tapi, aku bisa menjelaskan situasinya.”

“Dan aku tak perlu mendengarnya.”

“Kau harus tahu kebenarannya.”

“Apa? Kebenaran macam apa? Setahun terakhir aku mempercayaimu dan menjadikanmu sahabat seperti halnya Elena dalam hidupku. Sekalipun kau ditugaskan untuk menjagaku, menjadi bodyguardku, aku selalu menganggapmu sahabat yang baik. Enam bulan terakhir bahkan saat kita tinggal bersama, aku masih berpikir kau bisa menjadi sahabat terbaikku, selain Elena tentunya. Tapi, semua berubah.”

“Kau benar, semua berubah saat kau mulai membiarkanku masuk ke kehidupanmu lebih dalam, Kate.”

Carl mencondongkan tubuhnya ke arah Kate, tangan kanannya meraih sejumput rambut panjang di depannya itu dan menghirup aromanya sepelan mungkin.

“Dua minggu terakhir sebelum aku pergi adalah malam-malam yang tak pernah kulupakan hingga kini,” lanjut Carl.

Kate mencibir, bukannya tersentuh dengan kalimat bernada rayuan itu. Ia tahu, Carl tak pernah pandai mengucapkan kata manis atau rayuan padanya, kecuali saat ... mereka menghabiskan malam manis bersama. Mendadak, tubuhnya menghangat saat mengingat malam-malam itu. Kate menelan ludah dengan susah payah. Saat suasana canggung, seorang dokter bersama seorang perawat datang memeriksa.

“Anda harus beristirahat dan tinggal semalam di RS. Tak ada masalah dengan kandungan Anda, saran saya jangan terlalu stress atau melakukan kegiatan berat. Dan Anda ...”

Dokter tersebut mengalihkan pandangan kepada Carl.

“Saya suaminya, Dok.”

Mata Kate langsung membelalak. Memberi tatapan tajam pada pria yang saat ini tengah fokus menatap dokter.

“Tolong jaga kondisi istrinya, Pak. Jangan sampai stress berkepanjangan. Kondisi mental ibu akan berpengaruh besar pada bayi yang dikandungnya.”

“Sebelum pingsan, istri saya berkeringat dingin dan kesakitan di perutnya. Apa yang terjadi, Dok?”

“Kram perut, karena kondisi mentalnya yang tak stabil. Bisa karena tegang dan stress.”

“Baik, Dok, saya akan menjaganya dengan baik. Terima kasih.”

Usai kepergian dokter dan perawat, Kate tak mengalihkan tatapannya dari pria dengan tinggi 188 cm itu. Dengan santai, Carl menaikkan satu alisnya dan bertanya.

“Ada apa?”

“Kenapa kau mengaku sebagai suamiku? Aku tidak punya suami.”

“Aku akan menjadi suamimu sebentar lagi, mengingat bayi itu adalah anakku.”

“Atas dasar apa kau mengatakan ini? Sudah kubilang aku tak menuntut apa pun darimu. Aku ingin hidup sendiri dengan bayiku.”

“Kau dengar apa yang dikatakan dokter tadi? Aku perlu menjagamu dan bayi kita.”

“Seharusnya kau sadar, aku stress dan kram perutku terasa kalau melihatmu. Meskipun kau ayahnya, tapi, kau juga alasan kondisiku menjadi semakin buruk.”

“Kate, maafkan aku karena membuatmu menungguku tanpa kabar. Tolong, jangan marah lagi. Pikirkan kondisi kandunganmu.”

Carl sama sekali tak menggunakan nada tinggi. Perasaan bersalah dan menyesal menguasainya.

“Kau yang membuatku kesakitan dan ....”

Kalimat Kate terhenti. Rasa nyeri yang menusuk mendadak terasa, seolah mencengkeram perutnya. Ia langsung memejamkan mata dan mengusap lembut perutnya. Tapi, rasa sakitnya tak kunjung berkurang.

“Kate.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status